7. Flame

1.3K 110 46
                                    

/flame/

nyala api; dapat berarti perasaan yang menggebu-gebu dan penuh intensitas

.

.

.

Tiba-tiba pintu ruanganku terbuka. Aku buru-buru meremas kertas tulisanku agar tidak ada yang membacanya, lalu melirik ke cermin untuk melihat siapa yang masuk.

Ternyata suamiku.

"Eh, Sayang, kenapa masuk kemari?" tanyaku gugup, berusaha memasang senyum di wajahku agar ia tidak mencurigai apa yang kutulis. Kurutuki lidahku yang spontan memanggilnya 'Sayang', padahal aku sedang tidak sayang-sayang amat.

"Mau melihatmu," sahut Surya sambil mengangkat daguku untuk menatap matanya. "You're so gorgeous, darling."

Jantungku mendadak berdebar keras. Sial, tujuh tahun menikah dan ia masih punya kekuatan ini terhadapku.

Kuatkan dirimu, Nel. Jangan larut dalam permainannya. Dia memanipulasi perasaanmu agar terlihat mesra di depan publik nanti.

Tapi lagi-lagi aku kalah.

"Surya, apa yang kamu lakukan? Nanti lipstikku rusak ...."

Ia merengkuhku ke dalam pelukannya dan melumat bibirku rakus. Dalam hati aku bersyukur aku belum mengenakan gaun Elie Saab-ku, atau dia akan menghancurkannya. Surya mendorongku ke pintu, kuat namun lembut, tepat sebagaimana aku menyukainya. Tanpa bibirnya terlepas dari bibirku, tangan kanannya mengunci pintu agar tidak ada yang melihat pergulatan kami. Sementara itu tangan kirinya dengan piawai menarik sleting gaun Versace-ku dan menariknya ke bawah hingga tubuhku hanya berbalut lingerie putih berenda Agent Provocateur-ku. Lalu ia meletakkanku ke meja rias, mengabaikan perlengkapan make up yang terjatuh di lantai -- untung tak ada yang pecah.

"Surya," desahku di sela-sela napasku, "kumohon hentikan ini. Kita harus tampil setengah jam lagi, dan riasanku rusak."

"Istriku tak perlu apapun untuk terlihat cantik," bisik Surya rendah, tangannya bertumpu pada kaca, mengurungku di antara kedua lengannya. Lipstik merahku terlihat belepotan di bibirnya. Rambutnya yang tadinya diberi gel rapi kini sedikit berantakan, namun ia terlihat semakin memesona.

Kenapa jantungku masih berpacu menginginkannya? Di saat otakku jelas-jelas mengingatkanku untuk menegurnya?

Tak puas dengan bibirku, ia menyerang leherku. Aku benar-benar harus menghentikannya -- gaun yang akan kukenakan nanti terbuka hingga ke bahu dan aku tidak mau penonton melihat bekas merah di leherku.

"Surya! Please stop!" ujarku sambil mendorongnya.

Suamiku menatapku bagaikan binatang buas yang kehilangan mangsanya. Aku baru ingat, tidak ada seorang pun yang dapat mengatur Surya Jati.

"Kumohon," lanjutku dengan mata memelas. Selama ini dia tak pernah memukulku, dan kuharap ini bukan yang pertama.

Surya menurunkanku dari meja rias secara perlahan. Sentuhannya sangat lembut -- aku merasa lebih hidup dalam beberapa menit ini dibandingkan beberapa bulan terakhir. Ia merapikan rambutku dan mencium keningku, lalu jempolnya mengusap lipstik yang berantakan di bibirku.

"Okay, darling, see you at the party. Happy anniversary," bisiknya.

Sial! Sial! Sial! Kenapa dia masih bisa mengacaukan perasaanku seperti ini?

***

Semua itu manipulasi. Aku yakin sekali. Ia hanya melakukannya supaya aku terlihat bersemangat di acaranya nanti. Orang-orang penting akan hadir, mulai dari rekan-rekan pebisnisnya hingga pejabat dan menteri. Bahkan presiden pun akan mampir sebentar di acara kami untuk memberi dukungannya pada bisnis baru yang dikembangkan Surya. Tentu suamiku yang penuh siasat itu ingin menampilkan kami sebagai keluarga harmonis di mata publik.

Disillusioned ◇Where stories live. Discover now