2. Central Park

1.9K 140 36
                                    

/central park/

taman kota yang sangat terkenal di Manhattan, New York

taman kota yang sangat terkenal di Manhattan, New York

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

.

.

.

Pagi berikutnya, aku menemukan diriku terbangun di atas tempat tidur, tubuhku terbalut kimono tidurku. Kepalaku sangat pusing, pasti karena aku terlalu banyak minum semalam. Aku tidak ingat apakah aku sendiri yang keluar dari bak mandi dan kembali ke tempat tidur, atau suamiku yang melakukannya.

Aku melirik ke jam kecil di nakas di sebelah tempat tidur. Pukul setengah delapan. Astaga, aku kesiangan! Biasanya aku bangun pukul tujuh agar aku dapat menyiapkan sarapan untuk suamiku sebelum ia berangkat kerja pukul delapan. Sebenarnya ia tak peduli apakah aku yang memasak atau chef. Yang penting makan. Namun aku bersikeras untuk melakukannya. Setidaknya, aku dapat berbuat sesuatu daripada hanya menganggur sepanjang hari.

Kucoba mengangkat tubuhku, rasanya berat sekali. Sambil mengerang perlahan, kupaksa diriku bangun. Aku berjalan ke kamar mandi untuk mencuci wajahku. Kasur Tiara sudah kosong. Pasti dia sudah bangun dan mencari Diandra -- pengasuhnya -- untuk bersiap berangkat ke sekolah.

Aku menatap bayangan wajahku di cermin di depan wastafel marmer. Mataku merah sekali. Setelah menyisir rambutku dan mengganti kimonoku dengan terusan berbahan katun yang biasa kukenakan di rumah, aku bergegas ke counter di dapur dan melihat suamiku sedang duduk di atas bangku tinggi, menyantap sarapan dan membaca koran New York Times.

"Good morning, Nel," ujarnya sambil meneguk kopinya, seakan-akan tak ada apa-apa semalam.

"Semalam ... siapa yang ..."

"Oh, kamu tertidur di dalam bak mandi yang airnya sudah dingin. Aku mengeringkanmu dan memindahkanmu ke tempat tidur. Kamu sedang apa, sih, Nel? Kalau ngambek nggak perlu bikin diri sakit." Suamiku menggelengkan kepalanya. "Dan kamu malah minta punya anak lagi. Mengurus diri saja ...."

Aku mengatupkan mulutku dan mengambil tempat di sebelahnya. Surya mendorong piring berisi sarapan yang masih utuh ke hadapanku.

"Makanlah."

"Aku bukan sengaja -- aku tertidur," protesku.

Ia hanya mengangguk kecil. Matanya kembali tertuju ke berita harga saham di surat kabar yang masih dipegangnya.

Aku mengunyah dalam diam, namun hatiku berontak. Apa yang kuinginkan? Jika dibilang Surya tidak peduli padaku, itu tidak benar. Buktinya ia mengeluarkanku dari bak mandi. Sudahlah. Tak perlu memikirkan suamiku. Aku melirik ke jam dinding yang menunjukkan pukul setengah delapan lebih.

"Kamu belum berangkat?" tanyaku.

Surya melirikku. "Kukira kamu mau ditemani."

"Aku mau -- cuma biasa kamu udah berangkat dari jam tujuh."

Disillusioned ◇Where stories live. Discover now