Bab 3

199 28 0
                                    


Pagi ini, hujan baru saja mengguyur daerah tempat tinggalku. Langit masih mendung, jelas terlihat dengan warna abunya yang pekat. Bisa saja, sebentar lagi rintik airnya jatuh lagi.

"Bu, Fara berangkat ya. Assalamualaikum" aku meraih tangan ibu dan menyalaminya. Tangan kiriku sibuk menumpuk roti dan memasukannya kedalam kotak bekal.

"Waalaikumussalam, hati-hati bawa motornya"

Aku tak sempat sarapan, ini sudah terlalu siang untuk berangkat ke sekolah. Jarum jam hampir menunjukkan pukul tujuh, lima belas menit lagi.

Aku memakai helm, dan mengendarai motor maticku keluar gerbang. Melintasi jalanan yang licin setelah hujan.  Mulutku asyik menyenandungkan lagu-lagu dari avril lavigne yang menjadi favoritku.

Setengah perjalanan, ternyata dugaanku benar. Rintik air hujan kembali menjatuhkan dirinya ke bumi. Membuat para pengendara motor dan pejalan kaki mencari tempat berteduh. Aku pun sama. Aku memilih halte sebagai tempat berteduh.

Ada beberapa pejalan kaki yang juga berteduh disini.

"Aku pasti akan telat" gumamku dalam hati.

Ting....

Notifikasi dari ponselku, aku mengambil benda pipih berbentuk kotak itu di saku jaket yang ku kenakan.

Tertera nama Sindi disana,

_Kamu dimana ? Kok belum berangkat ?

Aku menghela nafas pelan, sembari mengetik beberapa kata di ponselku.

_Lagi neduh di halte.

Terkirim.

1 detik.
2 detik.
3 detik.

Sindi tak membalas lagi, sudah bisa dipastikan kalau kelas sudah di mulai. Satu persatu orang meninggalkan halte, mereka memilih untuk menerobos hujan. Barangkali ada hal yang lebih penting, ketimbang duduk disini menikmati hujan.

Sadar atau tidak, air mataku ikut menetes layaknya air hujan yang menjatuhkan dirinya ke bumi. Tak bisa ku bendung, tiba-tiba mataku terasa sangat perih.

"Itu ayahmu?" Suara lelaki itu terdengar jelas di sebelahku, bukannya kepedean tapi aku rasa dia sedang bertanya padaku.

Aku mengusap air mataku yang tadi sempat jatuh, kini aku mendongak dan menemukan sosok pria berparas tampan mengenakan seragam SMA yang sama denganku. Tatapannya hangat, senyumnya sangat tulus.

"Iya" aku kembali memasukkan ponselku ke saku jaket.

Pria itu tersenyum tipis, lalu ia duduk di sebelahku. Kali ini, aku menatapnya heran. Raut wajahnya berubah menjadi sedih, setelah tadi menunjukkan senyum termanis yang pernah ku lihat.

"Kenapa kamu sedih ketika melihat foto ayahmu itu ?" Tanyanya memecah keheningan, aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya. Padahal aku sendiri juga sedang ingin menanyakan, mengapa raut wajahnya berubah.

"Bukan urusanmu" aku menjawab malas. Aku tau pertanyaannya mungkin tulus, tapi dia siapa. Aku tak mengenalinya.

Ia kembali menatapku, dan senyumnya kembali melebar.

"Kenapa jadi sinis gitu? Apa ada yang salah dengan pertanyaanku tadi? Mengganggu privasimu ya ?" Kini ia merubah posisi duduknya, menjadi menghadapku.

"Kenalin, namaku Dino. Anak XI IPA 1. Kita satu SMA kan ?" Ia mengulurkan tangannya ke arahku.

Sepertinya aku harus merubah persepsiku tentangnya, dia berbeda. Dari senyumnya saja, dia sudah sangat berbeda. Dari tatapannya, dia sama sekali tak nampak seperti pria yang ku bayangkan, dia hangat, ramah, dan murah senyum.

BANDANA Where stories live. Discover now