[1]

3.3K 228 8
                                    

"Fyuuuh! Panas gila! Ini mataharinya ada Sembilan kali ya?" gerutuku sambil mengerucutkan bibir. Terik matahari membuat keningku dipenuhi titik-titik air. Entah sudah berapa lembar tisu yang kuhabiskan untuk menyekanya.

Tanpa aba-aba, pandanganku berkabut, telingaku berdengung seperti ada lebah di dalamnya, dan rasanya aliran darahku turun semua ke kaki. Tubuhku limbung. Dengan kesadaran tersisa, kucoba meraih pegangan agar tidak jatuh.

"Sial! Kenapa juga sih bisa kambuh begini? Perasaan tadi udah sarapan dan minum vitamin," aku bersungut sambil meraba-raba sesuatu yang bisa kupakai untuk bersandar.

Pandanganku semakin memutih, telingaku hanya bisa mendengar deru angin. Aku tak mau ambruk di sini. Sumpah! Itu bukan hal yang ingin aku alami sekarang. Tanganku menggapai sebuah tiang besi, entah apa. Mungkin petunjuk rute bus atau rambu lalu lintas, atau apapun itu, yang penting bisa aku pakai untuk menopang tubuh.

Suara lebah datang lagi di kepalaku. Ah, kali ini lebih berisik. Mungkin dengan duduk, aku bisa lebih berkonsentrasi dan kondisiku membaik. Masih berpegangan pada tiang besi itu, aku merendahkan tubuhku dan duduk begitu saja. Semilir angin menerpa wajahku. Kabut itu belum pergi, namun suara lebah berganti dengan suara manusia, tapi aku masih belum mengerti apa yang dikatakannya.

Aku menarik napas panjang berkali-kali, lalu suara itu terdengar jelas.

"Mbak! Mbak nggak papa? Mbaknya sakit?"

Aku memejamkan mata, berharap pandangan ini berfungsi seperti semula. Berhasil! Hatiku girang. Tiba-tiba, aku merasakan keringatku mengalir deras di seluruh tubuh, termasuk dari kening hingga meluncur ke sisi wajahku dan berakhir di ujung dagu.

"Mbak, nih minum dulu," kata suara laki-laki yang mirip dengan sebelumnya, dia menyodorkan teh botol dingin di depan wajahku.

Biasanya aku akan menolak makanan atau minuman pemberian orang yang tak dikenal, takut kayak di berita-berita. Makanan atau minumannya itu udah dicampurin obat bius, terus dibawa pergi, dirampok, diperkosa,terus dibuang. Iiih, amit-amit. Tapi kali ini langsung kusambar botol itu.

Dalam satu tarikan napas, setengah isinya pindah ke perutku dan sukses mengembalikan kondisiku. Aku habiskan lagi minuman yang tersisa dalam tiga kali sedotan.

"Mau nambah?" kata suara itu lagi.

"Eh?"

"Minumannya mah nambah?" tanyanya lagi.

Kuangkat wajah untuk melihat sosok itu. Saat pandangan kami berserobok, kami sama-sama terkejut dan jadi melotot, lalu saling tunjuk.

"Saki!"

"Dulman!"

Kami saling mengenali dan menyebutkan nama bersamaan.

"Lo kenapa? Sakit? Muka lo pucet banget. Lo sama siapa trus mau ke mana emangnya?" ucap Dulman sambil berjongkok di sampingku.

"Eh, Dulman, Lo kayak supir Metro Mini kejar setoran. Kaga pake rem. Satu-satu napa nanyanya!"

"Sue, lo. Masih zaman manggil Dulman? Saki, ini udah 2019, plis deh! Gak bakal ada yang kenal Dulman. Lagian nama bagus-bagus diganti-ganti. Tar disamperin Babeh gue nyaho."

Aku baru memperhatikan penampilan cowok di sebelahku. Dia memang beda sekarang. Oiya, nama aslinya bukan Dulman, tapi Abdul Rahman. Dulu, kami satu sekolah dari SD sampai SMA. Entah kenapa, di kelas itu banyak yang namanya pake Abdul, salah satunya dia. Nah, buat ngebedain, teman-teman bikin singkatan deh. Jadilah, Dulman.

Niat hati emang buat di sekolah aja, tapi kadang kebablasan sampe di rumah. Waktu itu pas lagi ngerjain tugas kelompok di rumahnya Dulman, salah satu temanku, Lela, keceplosan manggil Dulman. Ternyata, Babehnya dengar dan langsung keluar.

Another World [Completed]Where stories live. Discover now