[11]

1K 147 4
                                    

Ponselku terus berdering sedari tadi. Sejak sejam yang lalu, telepon itu tidak pernah diam. Nama Bayu terus muncul di layar. Aku membanting tubuh di atas ranjang yang empuk. Mataku menerawang menembus plafond. Ada perasaan aneh yang merasuk ke dalam dadaku. Omongan Bayu kembali melintas dalam ingatan, rasanya seperti memutar ulang adegan film. Jantungku kembali berdetak tak keruan.

Ponselku tak lagi bersuara. Kuraih benda itu dan mengusap layarnya. Puluhan missed call dan notif WA terpampang. Semuanya didominasi nama Bayu. Ada juga chat dari Kezia yang marah-marah, karena ditinggal. Di bubble chat pertama Kezia bilang aku tega, jahat, dan sejenisnya. Di bubble chat kedua, dia cuma ngasih ikon nangis yang banyak. Tapi pada chat berikutnya, Key ngirimin foto makanan yang dia bawa pulang. Satu pan pizza ukuran besar, satu porsi chicken wings, juga seporsi salad. Aku hanya terkekeh melihatnya, lalu membalas pesannya dengan singkat dan padat, Sorry, Key.

Aku langsung membersihkan layar chat pada bagian yang bertuliskan Bayu. aku sengaja tidak ingin tahu apa yang dituliskan. Sudah cukup kekacauan karena dia, dan hari ini adalah puncaknya. Aku nggak pernah dipermalukan kayak gini. Persetan dia betulan tunangan atau nggak sama Amara, yang jelas aku nggak mau ketemu dia lagi.

"Yakin nggak mau ketemu lagi? Tadi deg-degan pas tangannya dipegang Bayu." Suara yang entah datang dari mana, berbisik di dalam kepalaku.

Aku memegang dada sebelah kiri untuk memastikan detaknya masih normal.

Ketukan keras pada pintu kamar, membuyarkan lamunanku. Aku memasang kuping untuk memastikan, pintukulah yang diketuk. Ponselku kembali bordering. Lagi-lagi nama Bayu terpampang di layar.

"Saki! Aku tahu kamu di dalam dan belum tidur. Aku nggak akan pergi dari sini, kalau kamu nggak mau ngomong sama aku sekarang."

Aku menelan ludah. Baru saja dia memikirkan kata-kata Bayu di mall, sekarang dia sudah ada di depan kamarnya.

"Saki, aku serius!" ucap Bayu dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.

Aku mendengar beberapa pintu berdecit karena dibuka dengan tiba-tiba. SHIT! Cowok sarap itu mulai bikin onar di sini. besok gue akan jadi bahan gosip, Gerutuku. Sebelum Bayu selesai meneriakkan namaku lagi, aku langsung membuka pintu kamar dan menariknya masuk. Tanpa mempedulikan beberapa kepala yang masih menyembul, kututup setengah pintunya. Jika kurapatkan seluruhnya, akan lebih banyak suara sumbang yang akan terdengar besok.

Dream catcher yang kugantung di daun pintu, masih bergoyang karena tindakanku yang tiba-tiba.

Baru saja aku akan mengeluarkan makian, Bayu merapatkan tubuhnya. Dia membungkus tubuhku dengan sempurna. Tangannya yang besar melingkariku. Dia membenamkan kepalanya di bahuku. Aku sesak tapi nggak bereaksi dengan perlakuan Bayu, baik itu membalas pelukannya atau menepisnya. Otakku rasanya beku, seperti habis menyedot air dan parutan es dengan cepat.

Entah sudah berapa lama adegan ini berlangsung. Aku menyelipkan tangan dan mendorong tubuhnya menjauh. Nggak. Nggak boleh begini. Makiku pada diri sendiri.

"Mau ngapain lagi? Nggak cukup mempermalukanku di mall tadi, sekarang kamu ngelakuin itu di sini?"

Bayu menunduk sebentar, lalu menatapku. Sebelum dia menyangkal, aku kembali membuka mulut, sayang kata-kataku tak bisa keluar karena Bayu merapatkan bibirnya pada bibirku. Aku membelalak, terlebih saat dia kembali mendekapku. Entah apa yang mendorongku, tapi aku membalas ciumannya.

Ya! Aku membalasnya sebentar, lalu kembali melepaskan dan menjauh. Aku mengulum senyum, dan aku melihat Bayu pun tersenyum. Dia sepertinya sudah salah mengartikan tindakanku.

"Jadi, kita,..." Bayu tidak melanjutkan kalimatnya.

Aku tahu dia menungguku untuk menyelesaikannya. Aku menggeleng dan itu membuat Bayu terbengong.

"Arti ciuman tadi?"

"Aku cuma mau mastiin, apa aku masih ada perasaan ke kamu apa nggak, dan ternyata perasaan itu sudah nggak ada. Ciuman tadi buktinya. Aku nggak merasakan apa-apa."

"Nggak. Nggak mungkin. Kamu cuma mau bales aku aja kan? Aku tahu kamu masih punya perasaan yang sama ke aku, kayak dulu."

"Perasaan kayak dulu? Ngimpi kamu, Bay," ujarku ketus. "Gimana kamu masih bisa berpikiran begitu, setelah apa yang kamu lakuin ke aku?"

"Aku, aku minta maaf. Dulu aku gampang tersulut emosi dan terlalu lemah buat mempertahankan kamu dan ngebela kamu di depan orang tuaku. Tapi sekarang aku udah berubah. Satu hal yang belum berubah, perasaanku ke kamu."

Bayu melangkah mendekat dan berusaha menggapai pipiku. Aku mengangkat tangan untuk menghalaunya dan itu berhasil. Aku hanya menyeringai untuk merespon ucapannya.

"Telat, Bay, telat. Sekarang perasaan itu udah lenyap. Kamu ada Amara sekarang. Bahagiain dia. Keluargamu pun welcome kan, nggak seperti sikap mereka ke aku."

Hening.

Bayu akan membuka mulutnya, tapi kucegah dengan mengatakan sudah malam dan dia harus pulang. Biasanya Bayu akan berkeras untuk tinggal sampai dia mendapatkan apa yang dimaunya, tapi kali ini dia menurut. Aku memastikan Bayu benar-benar meninggalkan halaman kosku, saat mataku terpatri pada rangkaian bunga yang teronggok di dinding dekat pintu.

Dari siapa nih? Bayu? ah nggak mungkin kayaknya. Kalau dari Bayu, dia pasti udah ngasihin dari tadi. Siapa ya? Aku terus menduga-duga. Lalu tubuhku lemas seketika.

***

Sudah seminggu dan belum ada kabar tentang hasil interviewnya, juga dari Dulman. Sejak malam itu, aku belum mendapatkan satu pun balasan dari Dulman, padahal aku tahu dia online. Telepon pun sama, nggak pernah di jawabnya. Aku berusaha cuek, karena nggak ada hubungan apa-apa antara aku dan Dulman, tapi aku nggak tenang.

Triple date yang membawa petaka. Bayu yang tiba-tiba menyatakan lagi perasaannya, Amara yang histeris dan sekarang jadi super jutek di kantor, parahnya lagi Dulman menjauh. AARGGH! Bisa gila kalau begini terus.
Aku menjalin jari di belakang kepala dan menekannya dengan kuat.

Aku duduk di tempat favorit, sofa malasku. Melamunkan diri ini kembali ke saat itu, di mana aku langsung mengusir Bayu saat dia memelukku di sini, di dekat pintu itu. Jadi, Bayu nggak akan menciumku dan parahnya lagi aku membalas ciumannya, hanya untuk memastikan hal konyol. Kenyataannya, aku nggak bisa balik ke masa itu, dan aku nggak bisa membuang kemungkinan Dulman melihat apa yang Bayu dan aku lakukan.

Sumpah! Memikirkannya saja membuatku semakin merasa bersalah. Nyaris dua minggu ini aku mati-matian berusaha lupain Dulman dan menganggapnya nggak pernah ada, tapi sia-sia. Semakin aku berusaha, semakin sakit rasanya.

SAKI! How can you be so stupid? Makiku pada diri sendiri.

"Lo aja yang kepedean. Belum tentu bunga itu dari Dulman, karena belum tentu dia datang malam itu." Suara sember itu tiba-tiba datang membawa angin surga tapi terasa panas.

"Kalau dia nggak datang, dan nggak ngeliat adegan itu, kenapa dia nggak mau balas chat dan angkat telepon?" Suara lainnya berteriak di kepalaku.

"Bisa aja dia lagi sibuk. Banyak kerjaan gitu." Udara panas makin santer terasa.

"Ya kali, kerja 24 jam. Kalah McD."

Pertengkaran dua kubu dalam kepalaku membuatnya semakin sakit. Aku tahu saraf-sarafku menyembul dari pelipis dan berdenyut, karena aku merasa kedutan di kepala. Aku menenggak dua gelas air putih langsung sebelum merebahkan diri di tempat tidur.

================================

Enough for today yaaak.

Siyaaa!!

Another World [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang