[9]

1K 152 1
                                    

"Njir, jam segini belom ada yang muncul batang hidungnya? Parah. Padahal udah ngaret setengah jam, masa masih juga duluan gue?" dengusku sambil menatap jam di pergelangan tangan kanan. "Ke Gramed aja ah, lihat-lihat buku. Kali aja nemu yang oke."

Aku berjalan santai menuju Gramedia. Sesekali melihat pantulan diri di kaca-kaca besar toko. Aku mengulum senyum dan merasa geli sendiri. Kenapa aku mau aja memakai baju pemberian Dulman. Bukan cuma karena orang memberinya, tetapi jenis bajunya yang, hm, bukan gue bangetlah. Aku yang selama ini sangat nyaman dengan celana selutut atau celana panjang, kini memakai dress. Walau baju ini belum bisa mengubahku, tapi berani taruhan, Kezia bakal mangap saat bertemu nanti.

Saat sedang membolak-balik buku di tangan, aku mendengar suara seseorang yang begitu kukenal.

"Nggak nyangka, bakal dipake. Tadinya udah pesimis. Sekarang jadi terkejut. Kejutan ganda malah."

Aku refleks menoleh ke sumber suara. "Bener kan itu Dulman", kataku dalam hati saat beradapan dengannya. Aku memonyongkan bibir. Pura-pura merajuk, padahal hatiku berbunga-bunga.

"Sejak kapan ngaret?" kataku ketus.

"Yang ngaret siapa, yang dimarahin siapa? Aku udah disini dari sejam yang lalu tau."

"Bokis banget. Buktinya apa? Trus, kenapa nggak nelpon?"

"Emangnya kamu tau, aku nggak nelpon? Udah ngecek HP emangnya? Aku juga lihat pas kamu ngaca di depan etalase toko."

Ya ampun! Rasanya aku berhenti napas mendadak. Aku pura-pura lanjutin ngeliat buku yang tadi aku pegang. Sumpah! Nih muka pasti udah kayak kepiting rebus. Dari pada tambah malu.

"Kamu kalo lagi gitu lucu deh," kata Dulman sambil menahan tawa, "hebat ih! Bisa baca terbalik. Ajarin dong!" Dulman berbisik di telingaku sambil lalu.

Saki bego! Kok nggak nyadar bukunya terbalik? Aku makin gemes sama diri sendiri. Kenapa jadi kikuk gini di dekat Dulman. Aku mengetuk-ngetuk sisi kepala dengan mata terpejam, sambil memaki diri sendiri. Ternyata, Dulman masih memperhatikan.

"Kamu kenapa? Kok salting gitu? Apa emang itu kebiasaan kamu?"

Ih nih cowo, kalo ngomong suka bener. Aku mengeraskan wajah dan menatap Dulman. Aku mengirim serangan 100.000 volt dengan tatapan mata, dan sukses bikin dia terkekeh. Dulman mencubit gemas kedua pipiku, "Lucu banget sih kamu."

Entah aku kerasukan setan apa? Tapi aku harap waktu berhenti saat ini. Iya sekarang. Tapi harapan tinggal harapan, saat ada yang mengacaukan suasana.

"SAKI!" teriaknya, sampai-sampai nyaris semua kepala menoleh ke arahku. "Gue tau, lo bakalan ada di sini. lo marah ya? Gue telpon nggak diangkat-angkat? sorry banget ya! Ini nih, si Daniel lama, celotehnya tanpa jeda. Cieee, tumben pake dress? pasti dari tunangan lo kan? Mana dia? Kenalin dong!" Kezia terus nyerocos.

Aku melirik ke arah Dulman. Pandangan kami berserobok, karena dia pun sedang melihatku.

"Ya ampun! Pasti elo Tunangannya Saki, kan? Kenalin, gue Kezia, temennya Saki, temen kerja juga. Ini cowok gue, Daniel," ucap Kezia dengan pede lalu menyalami Dulman bergantian dengan Daniel.

"Pede banget sih lo? Sotoy!" seruku sedikit sewot.

"Saki, orang buta juga bisa liat kalo cowo itu, pasangan lo. Liat aja, gayanya serasi gitu," jelas Kezia.

Aku yang sebelumnya tidak memperhatikan penampilan Dulman, sekarang jadi melihatnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambut klimis rapi, kemeja lengan pendek dengan warna senada dengan bajuku, celana denim, dan sepatu kets putih yang sewarna dengan sepatuku. Dia juga pakai jam di tangan kanan, kok bisa? Pikirku.

Senggolan Kezia di bahuku, menyadarkanku. Parahnya, aku jadi mirip orang amnesia, nggak tau mau ngomong apa dan mau ngapain?

"Kamu jadi mau beli buku itu nggak? Sini, biar sekalian sama punyaku."

Dulman mengambil buku yang kupegang. Dia menuju meja kasir, sedang aku masih mematung di tempat.

"Beneran cucok laki lo. Mampus si Amara. Bakalan keluar tuh matanya. Hati-hati lo, tar dia diambil sama Nenek Lampir. Eh, siapa tadi namanya?"

Aku menatap Kezia sebentar, lalu tertawa sambil memegangi perut. Nggak habis pikir sama dia, padahal dia yang dengan pedenya kenalan, tapi nggak tahu namanya. Aku menggeleng-gelengkan kepala, saat Dulman kembali.

"Udah ah. Pindah, yuk! Gue mual lama-lama di toko buku," pinta Kezia.

Tanpa menunggu persetujuan Kezia pergi menuju pintuk keluar.  Dia melingkarkan tangannya di pinggang Daniel, sedangkan Daniel merangkul bahu Kezia. Aku masih belum beranjak saat keduanya menghilang dari pandangan. Tanganku seperti ada yang menarik. Tiba-tiba saja, tangan kananku sudah berada di pinggang Dulman, dan tangan kirinya bertengger di  bahu kiriku. Aku berusaha menarik tangan dari pinggangnya, tapi malah ditahan oleh tangan satunya yang masih bebas. Begitu pun saat ingin menepis tangannya dari bahuku. Dia malah menambah erat pegangannya.

Aku menoleh hendak protes, tapi Dulman malah mendekatkan wajahnya.

"Temanmu ngintip dari luar," bisiknya.

Sontak aku menoleh ke arah yang ditunjuk Dulman dengan  matanya. Benar aja, aku melihat Kezia dan Daniel mengintip. Ngakunya teman, tapi pake ngintip segala! Protesku dalam hati. Aku berjalan dengan bertahan dalam posisi itu.

"Biasa aja mukanya. Tegang banget," bisik Dulman.

"Awas lo ya! Jangan macem-macem. Jangan cari kesempatan dalam kesempitan," ancamku.

Tapi Dulman tersenyum dan menggeleng. Aku melihat ketulusan di wajahnya.

***

Nyaris dua jam, aku menunggu Amara dan Bayu datang. Belum juga ada tanda-tandanya. Aku dan Kezia sudah mencoba menelpon berkali-kali, tapi nggak ada respon. WA pun masih ceklis dua abu-abu. Kami terus berkeliling. Keluar-masuk toko. Kezia menenteng beberapa paperbag dengan berbagai ukuran.

Aku mulai terbiasa berjalan dengan posisi yang amat dekat dengan Dulman. Jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya, semoga dia aja nggak dengar, harapku. Tangan kanan Dulman tak lagi memegangi tanganku, agar tetap di pinggangnya. Sesekali dia tersenyum memandangku. Ada rasa bersalah tapi sumpah, ini nyaman banget. Apa karena aku kelamaan jadi jomblo ya? Aduh! Kok beneran ngenes banget hidupku.

Kehangatan yang sedang kurasakan sekarang, mendadak lenyap. Di ujung koridor,  aku menangkap sosok yang amat kukenal. Bahkan dari jarak sejauh ini pun, aku berani taruhan tentang orang itu.

Kezia masih berada di dalam toko. Di etalase depannya terdapat gambar balon udara besar. Entah apa yang dicarinya dari tadi. Aku sengaja nggak ikut masuk, takut cowok di sebelahku ini membelikan barang yang aneh-aneh. Ponselku bergetar. Nama Amara terpampang di layar. Aku menggeser ikon berwarna hijau, tanpa menunggunya basa-basi, aku langsung memberitahukan tempatku sekarang.

Amara bergelayut di lengan Bayu, sambil menempelkan kepalanya. Mereka tampak serasi. Bayu, orang yang perfeksionis, posesif, mendominasi, dan suka menganggap cewek lemah. Amara cantik. Dia modis, feminin, dan manja. Mereka saling melengkapi. Tapi hati ini masih merasa aneh saat melihat kebersamaan mereka. Apa aku cemburu? Nggak. Nggak. Nggak. Aku menggelengkan kepala.
Dulman berdeham. Sesaat tadi aku lupa kehadirannya di sini. Ternyata dia mau izin ke toilet sebentar. Emangnya sekolah? Ke toilet aja pake izin, pikirku. Kenapa juga sih pake ke kamar mandi saat dua cunguk itu dateng, protesku dalam hati.

"Saki, lo sendiri?" tanya Amara saat berhadapan denganku.

Bayu melempar senyum padaku dan bertanya kabarku. Aku melihat Amara mengeratkan pegangannya, hingga Bayu kesakitan. Ekspresinya terbaca jelas. Aku jadi geli sendiri. Apa Amara takut kalau Bayu balikan lagi sama aku? Padahal Bayu Cuma bertanya kabar.
Saat genting begini, kenapa Kezia sama Dulman nggak muncul sih?

================================

Setelah bongkar pasang plot, tadaaaa jadi lah part ini. Sorry yaa lama updatenya. Tapi aku janji bakal medley hingga 2 part ke depan.

Ceritanya Saki nggak panjang kayak Nero kok. Malahan nggak sampai 20 part deh.

Siyaaaaa.

Happy reading n enjoy!
-Sani-

Another World [Completed]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin