[5]

1.3K 155 4
                                    

Waktu tujuh hari untuk mempertimbangan resumeku nyaris berakhir, dan belum ada yang menghubungiku. Perasaan putus asa mulai menyergap.

"Kayaknya, harus bertahan di sini lebih lama. Duh, mampus deh kalo beneran kejadian. Gue geret siapa buat jadi Tunangan palsu?" gumamku sambil menenggelamkan wajah dalam lipatan tangan di atas meja kerja.

"Saki! Jadi nggak kita double date?"

Suara cempreng yang dilapisi irama manja, membuyarkan lamunanku. Pura-pura mati aja, Saki! Batinku.

"Saki! Iiih, ngga dengerin gue ngomong. Jadiin aja ya! Laki gue deh yang suruh bayarin, dia baru dapet bonus tuh."

Hadeh, nih Kunti ngga peka amat ya? Aku Lupa! Dia emang udah mati rasa. Dia pikir aku nggak kenal siapa lakinya?

"Saki! Lo sakit? Heh, Mara! Lo ngapain Saki?" kata Kezia ketus.

Save by the bell! Thanx to you, Key. Pekikku girang dalam hati.

"Iiih, Kezia apaan sih? Orang gue cuma ngajakin Saki double date, weekend ini. Tanya aja!" sanggah Amara.

"Double date? Heh, Mara! Lo kebangetan amat sih jadi cewek. Udah ngambil cowok temen sendiri, sekarang ngajakin ketemuan. Lo udah gila, ya? Ngga punya perasaan amat sih, lo?" ujar Kezia tertahan, tapi aku bisa mendengar ucapannya dengan jelas.

"Eh, Key, Bayu ya yang deketin gue terus. Lagian pas gue jadian, kan Saki udah nggak sama Bayu. Salah gue apa" timpal Amara.

"Salah lo apa? Masih nggak sadar lo? Bayu begitu karena lo yang ngelendotin dia mulu. Bayu sama Saki belom putus, tapi lo kegatelan, nyerobot cowok orang. Lagian, mana ada kucing yang nolak dikasih ikan? Walaupun itu ikan asin."

Telingaku makin panas saat mendengar Saki dan Amara berdebat. Amara terus membela diri dengan mengatakan dia nggak bersalah. Jika ada yang harus disalahkan, mungkin aku orangnya. Bayu emang lebih cocok sama Amara dibanding aku. Kalau sampai mereka tunangan, berarti Bayu serius dan sudah dapat izin dari orang tuanya. Bayu memang mau menikah cepat, hal itulah yang nggak dia peroleh dariku, kepastian. Lagi pula, orang tua Bayu tak pernah setuju denganku.

Tom and Jerry, masih belum selesai berantem. "Aduh!  Berisik banget sih! Ganggu deh," sunggutku.

Kezia menyikut lengan Amara sambil melotot. Bibirnya mengerucut. Komat-kamit.

"Napa sih, Ra, pengen banget jalan bareng? Mau pamer cincin berlian?" tembakku langsung.

"Iiih, Saki, kok ngomong gitu sih. Betewe, lo liat status gue ya? Kerenkan cincinnya. Berlian asli lho. Emas putih 18k. 13 jutaan lah," ucap Amara bangga.

"Lo mau kapan? Jangan minggu ini, ngga ada jadwal kosong. Minggu depan aja. Jum'at gimana? Kalau ngga mau, batal," tantangku.

"Kok Jum'at, sih? Kalau Bayu kerja, gimana?" tanya Amara lesu. "Okelah. Laki gue pasti bisa. Dia bakalan seneng kalo mantannya udah move on."

"Dasar mulut ember. Saki udah lama kali move on-nya. Si Kutu Kupret aja yang ke-GR-an. Oiya, karena gue denger, gue ikut. Jadi triple date, bukan double date," timpal Kezia.

Aduh, masalah tambah runyam nih. Ya Tuhan, tunjukkan mukjizatmu pada hamba-Mu ini. Doaku dalam hati.

"Deal, ya, Jum'at depan?" kata Amara sambil menyodorkan tangan ke arahku.

"Deal!" Seru Kezia, lalu menjabat tangan Amara.

***

Jam kerja di hari Kamis, masih tersisa tiga puluh menit, saat ponselku berdering. Nomor lokal tanpa nama, tertera di layar. Awalnya aku malas untuk menjawabnya, biasanya sales asuransi atau kartu kredit yang menghubungi jam segini. Ternyata aku salah. Itu adalah telepon dari kantor yang aku diundang wawancara tempo hari. Kali ini manajer HRDnya sendiri yang menghubungiku. Dia memintaku datang besok pagi untuk nego gaji. Wohoo! Aku diterima kerja. Bye-bye, kantor lama, bye Amara. Aku mengiakan, untuk pertemuan besok pagi.

Macam punya sensor, si Pak Andy tahu saja, kalau ada stafnya yang mau melarikan diri, eh mengundurkan diri. Tiba-tiba dia menelpon dari sambungan internal dan memintaku ke ruangannya. Nggak ada angin, nggak ada hujan, dia mengatakan akan mempromosikanku. Kenaikan jabatan dan fasilitas lainnya sudah menunggu, jika aku bersedia membantunya dalam proyek baru, yang sample-nya sedang kutangani. Angin surga tapi hawa neraka, pikirku. Aku tak memberi respon atas tawarannya, karena pikiranku menerawang jauh hingga menembus waktu.

Tapi, aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini, untuk meminta izin terlambat masuk kantor besok. Suasana hatinya sedang bagus, dan dia mengizinkanku tanpa syarat. Biasanya aku harus kerja lembur untuk menggantikan jam kerja yang kutinggalkan. Untuk soal waktu, pak Andy memang tak ada duanya. Bayangkan, dia sampai menghitung waktu yang terbuang, jika karyawannya pergi ke toilet bersama-sama, dibanding sendirian. Waktu tunggu di depan pintu kamar mandi, dia konversi ke dalam rupiah. Sumpah! Ini serius!

Lupakan Pak Andy, yang isi kepalanya bagaimana menghasilkan uang banyak tapi mengeluarkan uang sedikit. Aku sudah nggak sabar nunggu besok. Saking semangatnya kerja, aku sampai lupa jam pulang. Ini sudah telat setengah jam dari seharusnya. Maklum, aku karyawan 'Tenggo'.  Jam lima 'Teng',  aku langsung 'Go'. Gak apalah, anggap saja bonus dan bagian loyalitas pada perusahaan, disaat-saat terakhir.

***

Sinar matahari tajam menelisip dari sela kabut dan menembus pepohonan. "Kalau musim hujan gini, Jakarta rasa puncak, bawaannya mau selimutan aja. Kalau ngga ingat hari ini nego gaji, lanjut molor nih," pikirku.

Mataku membelalak seketika dan mencari ponsel untuk melihat jam. Maklum saja, kalau sedang panik, segalanya tak terlihat. Jam dinding besar di atas pintu saja, tak terlihat olehku. Aku mandi secepat yang kubisa. Saat genting begini, aku selalu bersyukur karen terbiasa mandi koboi. Lumayan menghemat waktu. Apalagi aku tak perlu berdandan lengkap, cukup pelembab, eye liner dan lipstik warna pastel biar mukaku terlihat segar.

"Pesen ojol aja deh, biar cepet sampe, " gumamku.

Memang benar ya, kata orang. Kalau kita bahagia, waktu berlalu cepat. Perasaan baru tadi pagi, aku buru-buru sampai naik ojek ke kantor itu, masih sempat mengagumi dekorasi lobinya yang aduhai, dan aku masih ingat kejadian salah ruangan. Untung saja nggak ketemu mereka lagi. Aku juga lupa sih mukanya. Keuntungan lainnya, hari ini nggak pakai nabrak pintu.

Aku masih berdiri di halaman depan kantor baruku, sambil menatap bangunan tinggi itu. Walau masih sebulan ke depan, tapi sudah sah lah, tempat ini jadi kantorku.

Ingatan tentang janji dengan Amara melintas begitu saja, dan membuyarkan kesenanganku. Seketika itu, nama Dulman juga hadir di ingatanku.

"Masa ngajak dia sih?" pikirku bimbang.

"Emang kenapa? Dia keren kok sekarang, nggak bakal malu-maluin kalo diajak ketemuan sama Amara dan Bayu," jawab pikiranku yang lain.
"Alasan ngomong ke Dulman apa? Masa ujug-ujug, minta tolong pura-pura jadi Tunangan? Plis deh!"

"Ah, ajak ketemuan dulu aja. Bilang mau traktir sebagai ucapan terima kasih, karena waktu itu dianterin buat wawancara dan sekarang sudah diterima."

"Ya ampun, Saki. Otak lo encer banget urusan begituan," pujiku pada diri sendiri.

Tanpa basa-basi, aku langsung mengirim pesan pada Dulman.

Saki
Dulman, ini Saki, ada waktu kosong ngga, sore ini? Atau besok?

Dulman
Ada apa? Tumben?

Saki
Bisa ngga?

Dulman
Bisa. Ketemu di mana?

Saki
Tar, dikabarin lagi deh. Besok sore ya!

Dulman
OK! 😊

"Dih, pake emot segala. Kayak cewe aja," gumamku sambil menatap layar.

Tanpa kusadari, bibir ini tersenyum.

Another World [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang