[14]

1K 156 5
                                    

"Gue yang nanyain samplenya. Gue mau pesen bahan, karena di gudang kosong. Karena lo belum sampai, gue minta tolong Kezia untuk ambil samplenya, tapi katanya hilang. Jadi gue bantuin cari," sambung Amara.

Aku melihat lagi ke Kezia. Lagi-lagi dia mengangguk. Kepalaku jadi tambah sakit. Entah karena suhu badan atau karena mikirin yang hilang, dan sekarang aku pun menghembuskan udara panas.

"Key, bantuin ya? Kalau bisa, jangan sampai si Bos tahu dulu. Bisa-bisa dia mempersulit urusan gue," pintaku lirih.

"Gue juga bakal bantuin kok," sambar Amara, "lagian urusan apaan sih? Nggak mungkin Pak Andy persulit lo, dia kan baik banget sama lo."

Aku meneleng ke Amara. Memandangnya dengan penuh selidik. Jangan tanya kenapa, karena aku pun nggak tahu. Apa ya bahasa kerennya? Ah, insting. Aku tahu Amara mengerti arti tatapanku. Dia bangkit dari posisinya dan mendekat.

"Lo nggak percaya sama gue?" ucapnya datar, "lagian, apa sih untungnya buat gue kalau barang itu hilang? Yang ada, gue ikutan susah. Kerjaan gue stuck di sini, kan?"

Aku masih memandangnya. Kalau dipikir lagi, benar juga apa yang dibilang Amara. Tapi sesuatu dalam diriku mendadak bereaksi. Kalimat 'Lo nggak percaya sama gue?' membuat pikiranku membentuk benteng.

Saki, jangan pernah percaya sama orang yang ngomong, 'Lo nggak percaya sama gue?', aku memperingatkan diri sendiri. Tapi sisi lainnya berkata, itu hanya berlaku untuk orang asing. Amara itu bukan orang asing. Kali ini aku mengabaikan warning itu dan memutuskan percaya sama Amara.

***

Sudah lewat tiga hari tapi sample itu masih belum ketemu. Suhu tubuhku juga naik turun. Sore hingga tengah malam, aku serasa lagi sauna. Jika sudah pagi, suhunya mendekati normal, bahkan aku bisa beraktivitas seperti biasa. Kezia sudah menyarankan untuk ke dokter, tapi aku rasa belum perlu. Emangnya aku anak bayi, yang panas tiga hari langsung pada panik. Minum paracetamol juga bisa.

"Key, gimana nih? Sampai sekarang belum ketemu juga. Mampus gue."

Aku membenamkan muka di tangan yang terlipat di atas meja. Semakin lama kepalaku semakin berat, dan rasanya aku nggak punya tenaga lagi. Napasku kian memburu. Kezia mengusap punggungku.

"Lo kayaknya harus pulang dan periksa ke dokter deh. Badan lo panas banget. Takut DB. Kan lagi musim nih," ucap Kezia khawatir.

"Nggak. Percuma gue pulang kalo pikiran gue ada di sini. Key, bagi Bodrex dong."

"Emang lo udah makan?"

"Boleh kok walau belom makan. Iklannya aja gitu."

"Aduh, Saki! Tetep aja. Yang namanya obat, paling bagus diminum abis makan. Sayang kenapa sih sama perut lo!"

"Iya. Iya. Gue udah sarapan tadi."

"Bener?"

"Bener. Key, cepetan napa. Pala gue puyeng banget nih," pintaku lirih.

Kalau untuk urusan duit sama obat, Kezia itu pawangnya. Buktinya, nggak sampai semenit, dia sudah balik lagi dengan obat dan air putih. Nggak nyangka, Saki yang jarang sakit, bisa tepar begini? Bahkan untuk angkat kepala dan duduk tegak saja, butuh usaha ekstra. Dengan susah payah kutelan obat itu, yang menyisakan rasa pahit di tenggorokan.

"Lo istirahat dulu aja, ya. Mau di sini apa mau di mess supir? Biar lo bisa tiduran," saran Kezia.

Aku menggeleng lemah. Aku merasa suasana jadi hening. Sepi tanpa kebisingan apa-apa. Nggak terdengar deru mesin produksi, bahkan suara tuts keyboard pun lenyap. Kepalaku semakin ringan. Obatnya mulai bereaksi.

Another World [Completed]Where stories live. Discover now