[4]

1.3K 177 9
                                    

Aku mengeluarkan Pizza yang tadi dihangatkan. Lumayan untuk teman secangkir kopi untuk menemani malam. Sudah bertahun-tahun aku tinggal seorang sendiri dan tak pernah merasa kesepian. Justru aku merasa bebas untuk menjadi diriku dan senang dengan duniaku. Tapi hari ini terasa lain. Apa karena perjumpaan dengan Dulman tadi siang? Entahlah.

Aku memang sengaja tidak ingin banyak cerita ke Dulman, karena tak mau membuka luka lama yang ingin kulupakan. Aku senang sekaligus khawatir dengan pertemuan hari ini. Aku bebas untuk menjadi diriku seutuhnya saat bersama Dulman tadi, nggak perlu jaim dengan citra yang kuciptakan belakangan ini. Ya, aku menciptakan duniaku sendiri. Dunia tempatku membentuk citra diri baru, di mana orang tidak tahu masa laluku.

Untuk mengusir sepi, kusetel MP3 player dari ponselku. Lagu Bintang Hidupku dari BIP, mengawali rangkaian musik. Jariku menari di atas layar sentuh, dari pemutar lagu, kini beralih ke aplikasi pesan. Kusentuh nama Dulman. Ketik-hapus-ketik-hapus, hanya itu yang kulakukan.

Aku melempar ponsel sembarangan ke meja, lalu menyesap kopi susu yang masih mengepulkan sedikit asap. Aku memutar pandangan ke sekeliling ruangan. Kamar kos berukuran 4x5 meter, adalah duniaku. Aku tidak membutuhkan banyak barang. Cukup ranjang empuk, sebuah lemari dengan kaca besar yang menpel di pintunya, meja dan kursi, juga satu buah sofa malas yang sedang kududuki. Sofa inilah yang sering kupakai untuk menciptakan keluarga, teman, juga pasangan, yang belum kudapatkan di dunia nyata.

Di dunia ini, tidak ada yang mengkhianatiku, tidak ada yang menikam dari belakang, apalagi yang bermuka dua, baik di depan tapi busuk di belakang. Miris? Biar saja, yang penting aku bahagia. Ini salah satu caraku untuk menjaga diri tetap waras. Karena dunia nyata itu tak seindah cerita novel atau komik serial cantik yang sering kubaca.

Pikiranku memutar kembali kata-kata Dulman yang mengatakan aku berubah. Ya, aku akui, aku berubah. Untuk menutup sakit hati yang tak terobati. Tanpa terasa, mataku memanas dan menghasilkan cairan. Kuseka ujung mata, agar tidak semakin menusuk dadaku.

Aku berbaring di ranjang dan meletakkan kedua tangan untuk menopang kepala dan menjadikannya bantalan, sementara pandanganku tertuju pada langit-langit. Tidak ada yang menjadi fokus saat itu, karena pikiranku bercabang ke berbagai arah.

Kegiatanku terhenti saat ponselku berdering. Rasa malas masih mendekapku, hingga aku harus menyeret kaki mendekati meja. Nama Kezia terpampang di layar. Ngapain lagi sih nih orang? Pikirku.

"Napa, Key?" Tanyaku.

"Lo besok ngantor, kan?"

"Yeee, bukannya jawab malah balik nanya. Masuklah, ada apaan sih?"

"Ribet, Cin, nyeritainnya di telpon. Besok deh gue ceritain selengkapnya di kantor."

"Terus, lo telpon malem-malem ada apaan?" aku mulai sewot.

"Gue kesel sama si Andy. Yang salah siapa, yang disemprot siapa. Bete gue seharian ngga ada lo, Cyin. Lo besok beneran masuk, kan? Lo cuti ngapain sih? Emang bener lagi lamaran? Kok nggak ngundang gue? Jahara deh lo!"

Lamaran? Yang bener aja! Duh, gosipnya parah bener. Bukannya nggak seneng didoain, ya tapi siapa juga yang bakal ngelamar gue? Cowok aja nggak punya. Pikirku.

"Saki! Lo dengerin gue nggak sih?"

"Eh. Iya, iya, gue denger. Trus ada berita apa lagi?"

"Itu, kemarin Bu Deti nanyain nomor hape lo terus tau,"

"Lo nggak kasih, kan?" selaku.

"Yeeeeh, dengerin dulu napa! Ya gue nggak kasih lah, tar lo ngambek. Si Amara, tadinya mau ngasih nomor lo sama dia. Gue kode-kodein masih ngga mudeng juga masa."

"Terus? Udah dikasih?" aku mulai penasaran.

"Nggaklah. Gue tulisin aja di kertas, nanti Saki bakalan marah. Terus gue gambar matalo yang serem itu, klo lagi ngambek," kata Kezia dengan nada datar, "pinter, kan gue?"

Kutu kupret tuh anak. Dia bilang mata gue serem? Emang gue Kuntilanak apa? Sungutku tertahan.

"Udah dulu ya, Cyin. Besok jangan lupa ngantor. Tar gue bawain lontong sayur kesukaan lo deh. Oiya, besok kita rumpi yaa, pas maksi. Bye, Saki."

Tut.. Tut.. Tut.. Sambungan telpon langsung putus, tanpa menunggu kata-kata penutup dariku. Dasar Kezia! Tuh bocah rumpi banget deh. Kulahap sisa pizza dan kopi susu yang masih tersisa, lalu aku beringsut di kasur, hingga terlelap.

***

Ya, ampun! Baru juga cuti sehari, gosip yang beredar sungguh mengezutkan. Saking hebohnya, pake huruf Z, paling pas untuk menunjukkan keterkejutanku. Mulai dari satpam, OB, sampai driver, nyalamin sepanjang jalan menuju ruanganku.

Bukannya nggak suka diperhatiin, ya tapi gimana? Emang ngga ada acara lamaran atau sejenisnya. Fyuuuh! Siapa juga bigosnya ini? Ya sudahlah, tar juga lenyap dengan sendirinya. Palingan bertahan 2-3 hari aja, setelahnya akan kembali seperti semula.

Ternyata dugaanku salah. Berita error yang beredar, ternyata lebih luas dengan durasi yang lebih lama dari yang kukira. Bahkan beberapa klien juga memberi ucapan selamat. Sampai ada yang berkata, "Selamat ya, Mbak Saki. Akhirnya ketemu jodoh juga. Nggak enak tau lama-lama sendiri, nanti keburu karatan." Dikira aku apaan, pake karatan.

Kalau begini ceritanya, aku berharap bisa Diterima di perusahaan itu secepatnya. Aku tahu, mereka seperti itu karena perhatian, dan pasti aku akan merindukan suasana di sini, jika aku pindah suatu hati. Tapi, aku nggak mungkin untuk bertahan selamanya di sini. Makin lama, suasana kerjanya makin tidak kondusif bagiku. Aroma persaingan tidak sehat mulai membusuk dan aku benci.

Seseorang mengangkat tangan kiriku dan membuatku terkesiap. Dengan refleks aku menariknya lagi dan menoleh. Ternyata Amara. Melihat wajah siap perangku, dia langsung angkat bicara.

"Kok cincin tunangannya nggak dipake? Malu ya? Karena cincinnya biasa aja, nggak ada berliannya gitu," katanya dengan nada manja sambil memperhatikan kukunya yang baru saja diwarnai.

Sabar Saki, sabar. Jangan terpancing emosi sama si Kodok Budug itu, batinku.

"Suka-suka gue lah. Mau gue pake atau nggak, bukan urusan lo!" aku terpancing juga.

"Jadi, lo beneran tunangan? Sama siapa? Gue kira cuma gosip doang tau. Ternyata beneran. Waaah, selamat yaa. Kali ini gue ngucapinnya tulus dari hati yang paling dalam," katanya sambil menempelkan pipinya ke pipiku, bergantian kiri dan kanan.

Mampus gue. Nih mulut kalau berurusan sama nenek sihir itu, susah buat dikerangkeng. Kena batunya sendiri kan. Bentar lagi, pasti dia minta dikenalin deh, sama 'Tunangan' gue.

"Eh, Saki, kenalin dong calonnya! Kita double date, yuks. Ke PIM aja yang deket. Lo mau makan aja boleh, mau nonton sekalian oke. Gimana? Mau ya.. Mau ya!" rengeknya dengan suara yang makin dibuat manja.

"Nggak tau lah, Mara. Kapan-kapan aja. Dia sibuk sama kerjaannya," dustaku.

"Ah, Saki nggak seru. Udah ah, gue balik aja, klo gitu."

Amara balik kanan tanpa aba-aba. Kepergiannya mirip Jelangkung, datang tak dijemput, pulang tak diantar. Aku pun kembali tenggelam dalam rutinitasku, dan berharap akan segera berganti.

Another World [Completed]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon