[12]

1K 142 4
                                    

Kemarin dunia terlihat sangat indah
Dan denganmu merasakan semua ini
Melewati hitam-putih hidup ini
Bersamamu
Bersamamu

Sudah seminggu sejak petaka malam itu, yang artinya tiga pekan berlalu tanpa kabar dari Samudera Jaya Abadi (SJA). Anggap saja semua itu nggak pernah terjadi. Lupakan pertemuan tentang Dulman. Jangan lagi berandai bisa kerja di tempat keren dengan interior bangunan bak lobi hotel.

Sial. Sial. Sial. Siapa yang sedang kubohongi sekarang? Nyatanya, semua nggak pernah sama lagi. Nggak akan adalagi protes tentang Dulman yang suka jujur kebangetan. Sikap Amara pun jelas-jelas beda. Walau aku kesal dan jengah sama sikapnya yang suka pamer kedekatan sama Bayu, tapi kita tetap berteman. Kita? Mungkin aku saja yang masih beranggapan begitu. Amara bahkan nggak mau bertegur sapa saat melihatku.

"Kenapa juga lo masih mau anggap orang kayak gitu teman?" Si sinis masuk ke kepalaku.
Aku berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya. Tapi, informasi tentang itu sepertinya sudah kumusnahkan. Aku diam.

"Nggak ingat apa saja yang sudah lo lakukan buat dia, dan apa balasannya? Lo mau mengulang kejadian masa kecil dulu? Apa lo sudah lupa? Perlu gue ingatkan, pahitnya membeli pertemanan?" sisi lain diriku berontak. Dia nggak bisa lagi menampung rasa sakit, juga nggak mau menelan pil pahit.

Saki! Lo nggak bisa jadi peri yang bikin semua orang bahagia. Nggak akan pernah bisa. Yang ada, lo cuma nyakitin diri sendiri.

Tunggu, sejak kapan pikiranku bisa memproduksi rentetan kalimat kayak gitu? Membeli pertemanan? Cih! aku ingat itu. Mana bisa kulupakan. Aku rela melakukan apa saja, asal mereka yang kuanggap teman, mau bermain bersamaku, juga membagi cerita denganku. Oh, aku nggak sedang mendramatisir. Saat kukatakan melakukan apa saja, aku benar-benar melakukannya.

Aku pernah memakan sesendok penuh lumpur. Saat itu aku berpura-pura disuapi makan. Aku nggak ingat alasan pastinya, kenapa aku mau menelan benda menjijikan itu. Bukan itu saja. Aku juga ingat saat aku harus menahan sakit yang luar biasa, karena berusaha mengeluarkan batu kerikil saat buang air besar. Lagi-lagi aku melakukan apa yang mereka perintahkan padaku. Aku memakannya bulat-bulat. Sekarang, aku baru sadar betapa beruntungnya diri ini, karena batu itu bisa keluar. Dulu, tak pernah terlintas, jika benda itu mendiam terus di perutku, pasti dokter akan membedah dan mengacak-acak ususku untuk mengeluarkannya.

"Saki! Dih malah bengong! Hape lo berisik dari tadi," tukas Kezia sewot. Dia sedang sibuk menghitung uang dan mencocokan dengan data yang dipegangnya.

Butuh waktu beberapa detik untuk otakku berfungsi normal, sebelum kucerna omongan Kezia. Aku menatap layar ponsel. Sebuah nomor tanpa nama bertengger. Suara Saki yang mengomel sangat mengganggu. Aku pun pindah tempat untuk menerima telepon itu. Hanya di dekat meja Amara yang cukup hening.

Aku masih mendengarkan dengan enggan saat suara perempuan yang ramah, memperkenalkan diri di ujung telepon. Ketika dia menyebutkan nama Pak Erick, rasanya aliran darahku berhenti seketika, demi memusatkan perhatian pada kata-kata berikutnya. Aku yakin sejuta persen, kalau pupil mataku membesar sekarang.

"Serius nih, Mbak, saya diterima? Tapi bagaimana dengan permintaan saya, tentang tenggat waktu sebulan itu, apa Pak Erick bersedia?" tanyaku sedikit khawatir.

Semenit kemudian, kekhawatiran itu lenyap sepenuhnya. Tak henti-hentinya aku mengucapkan terima kasih. Telepon terputus dan aku membuang napas lega. "Tinggal kirim surat resign resmi ke Pak Andy," gumamku.

Aku celingukan menelusuri kubikel. Nggak ada seorang pun di sana, tapi tadi aku merasa ada yang memperhatikanku. Ah, sudahlah, nggak penting. Sekarang tinggal bilang sama si Bos.

***

"Saya tahu, nggak mungkin bisa nahan kamu selamanya di sini. Tapi apa kamu sudah pertimbangkan lagi?" tanya Pak Andy.

Aku mengangguk mantap, "Sudah, Pak."

Pak Andy ikut mengangguk, lalu dia diam. Aku pun diam. Ini bagian yang paling menyebalkan dari proses pengunduran diri. Selalu ada bagian yang didramatisir. Entah apa itu bagian prosedural yang disepakati para pimpinan perusahaan atau bukan, tapi hal itu nyaris selalu ada.

"Saki, kamu masih ingat, kan, peraturan tentang resign? Kamu nggak bisa mengajukan surat hari ini, dan langsung pergi besok," tanyanya datar.

"Iya, Pak. Saya tahu itu. Di surat yang Bapak pegang, saya sudah cantumkan tanggal efektifnya, tepat satu bulan dari sekarang. Dalam dua hari ini, saya akan rekap seluruh pekerjaan yang saya handle, beserta progressnya.”

Good. Saya minta kamu selesaikan proyek dengan Bu Evy sebelum kamu resign. Kamu tahu kan, susahnya dapat pesanan dari dia. Yang saya dengar, bulan depan, dia akan berkeliling Asia dan Eropa untuk kunjungan bisnis. Jadi, saya harap, kamu bisa mendapatkan approval atas mock-up yang sudah kita buat. Bisa, kan?"

Di telingaku itu bukan pertanyaan, tapi perintah. Ini nih, salah satu alasan yang bikin aku mau cepat-cepat hengkang dari sini. nge-push approval itu jelas bukan bagian dari jobdesc-ku, tapi tanggung jawab ini dibebanin ke pundakku. Bukan kali ini saja, sudah nggak kehitung dengan jari, berapa proyek yang mengharuskanku turun tangan. Jika goal apa yang kudapat? Saki! Thanks ya. Karena lo, proyeknya jebol. Udah gitu doang. Kalau komisi cair, apa ada yang ingat? BIG NO. Bahkan mereka dengan cueknya melenggang dan membawa berbagai tentengan.

"Saki, kamu bisa, kan?" Pak Andy mengulang pertanyaannya.

"Eh? Ng, iya, Pak. Siap!" lamunanku buyar seketika dan aku tampak idiot. "Saya permisi, Pak."

Pak Andy lagi-lagi hanya mengangguk sebagai responnya.

Belum juga bokongku mendarat sempurna pada kursi, Kezia langsung memelukku dan nangis.

"Saki, lo jahat banget! Kok resign nggak bilang-bilang?" ucap Kezia sesegukan.

"Key, nggak malu?"

"Nggak ada yang liat!"

"Kan ada CCTV."

Kezia buru-buru menyeka air matanya. Aku bingung dia tahu dari mana? Padahal aku baru saja keluar dari ruangan Bos, dan sekarang aku harus menjelaskan dengan susah payah. Akhirnya Kezia bisa terima alasanku untuk pindah kerja. Itupun dengan berbagai syarat, harus tetap keep in touch, hangout bareng, paling nggak sebulan sekali. Nggak cukup kata Iya kalau janji sama cewek satu itu. Wajib janji jari kelingking. Itu lho, macam anak kecil janjian, yang saling mengaitkan jari kelingking. Bocah banget kan dia.

Setelah tiga tahun kerja, perasaan baru kali ini, aku lembur suka rela. Meski udah hampir jam Sembilan,  aku mau mandi,  lengket rasanya.  Andaikan ada bathtub atau ember besar juga gak pa-pa, aku pasti pakai buat berendam air hangat. Nih badan rasanya mau remuk. Aku sudah merebahkan badan di kasur, saat ponselku berdering.

Lagi-lagi nomor tak bernama yang muncul di layar. Pikiranku langsung menuju ke Dulman. Lelahku nguap begitu saja.

"Hai, Man. Akhirnya kamu telepon juga. Kamu pakai nomor baru, pantesan chatku nggak pernah dibalas. Oiya, aku diterima lho, di perusahaan yang waktu itu kamu anterin aku," cerocosku tanpa jeda, tanpa memastikan orang yang menghubungi.

"Kamu pindah kerja? Ke mana? Kok nggak ngasih tahu aku sih?"

Aku mematung. Diam tak bersuara, seperti baru saja tersiram semen cepat kering. Kenapa saat begini, otakku menampakan sisi idiotnya. Aku membutuhkan waktu setengah menit, untuk mengidentifikasi suara siapa yang baru kudengar.

"BAYU!"

Another World [Completed]Where stories live. Discover now