[2]

1.5K 199 7
                                    

"Dunia kok sempit amat," gumamku sambil terus menatap sosok yang sepertinya familier itu. Rasanya aku kenal, tapi susah sekali menyimpulkan satu nama untuk menyebutnya.

"Permisi, Mbak," ucap lelaki yang tadi satu lift denganku, sukses membuyarkan lamunanku.

Aku meneleng, lalu bergeser dan mengangguk, saat dia melewatiku dengan sopan. "Sopan bener. Padahal kan bisa lewat. Emang badan gue segede apa sih?" umpatku sembari memandangi punggung itu menjauh.

Setelah lelaki itu menghilang, sosok yang sebelumnya kuperhatikan juga lenyap. Aku berusaha untuk memfokuskan diri, lalu keluar lift dengan langkah mantap. "Ruang Haluan. Ruang Haluan," ulangku kayak anak kecil yang pertama kali disuruh belanja sama ibunya. Maklum, kalau sedang panik, aku bisa jadi pikunan akut. Aku memutar mata untuk mencari petunjuk atau seseorang yang bisa ditanyai.

Ah, mataku menangkap seorang petugas dengan setelan yang mirip security di pintu utama tadi. Aku menghampirinya, lalu menanyakan posisi Ruang Haluan.

"Dari lift tadi, ke kanan, lurus sampai mentok, ada di sebelah kiri," ulangku memastikan. Setelah petugas itu mengiakan, aku berterima kasih dan langsung menuju ruangan itu.

Sepertinya ini perusahaan besar. Mulai dari lobi, lift, dan sekarang koridornya. Dalam jarak beberapa meter, tergantung lukisan dengan ukuran yang sama. Ukiran cantik dan elegan. Warna coklat tua piguranya, kontras dengan wall paper di belakangnya. Aku melangkah menelusuri lorong sambil mengagumi interiornya.

"Ini kantor apa galeri seni ya? Betah deh gue kalau keterima di sini. Semoga lolos wawancara hari ini."

Kata-kata penuh optimisme itu buyar seketika, saat di hadapanku ada dua pintu yang bersebrangan. Pintu sebelah kanan, ada tulisan Buritan, sedangkan sebelah kiri, ada tulisan Haluan. Mendadak isi kepalaku kosong. Buritan atau haluan?

"Saki! Saki! Kok pikunannya makin parah sih? Belum ada lima menit, udah lupa ruangannya," makiku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal, "cap cip cup aja deh!"

Jariku berhenti di pintu sebelah kanan, dan aku yakin itu ruangan yang benar. Setelah mengatur napas, aku mengetuk perlahan pintu itu. Tiga kali ketukan, tak ada tanggapan. Aku menambahkan tenaga pada ketukan berikutnya, tapi tetap tidak ada suara.

Aku menunggu sejenak, sambil celingukan, tapi tidak ada siapapun di sekitarku. Akhirnya, kuberanikan diri untuk menekan tuas itu sesenyap mungkin dan mendorongnya perlahan.

"Permisi," lirihku sambil menongolkan kepala.

Kosong. Tidak ada siapa pun. Hanya ada sebuah meja kayu besar yang tak jauh dari pintu. Eh, telingaku mendengar alunan musik.

And I'll remember you
The dreams we could of dreamed
The tears I could have seen
We used to say forever
But I remember you

"Kayaknya kenal nih lagu. Tapi siapa ya? Ah, nggak penting," gumamku.

Aku melangkah masuk, sambil terus bilang permisi, karena pasti ada orang di ruangan ini. Aku berjalan menuju sumber suara, yang rupanya menuntunku sampai di depan lemari kayu yang besar. Ada sebuah pintu yang bisa didorong dari dua sisi, mirip pintu bar di film koboi. Rasanya musik itu berasal dari sana.

"Permis ... si," tuturku terjeda.

Aku yakin mataku sama melototnya dengan sepasang manusia yang ada di depanku sekarang. Mereka melepaskan tautan bibirnya, saat menyadari kehadiranku di situ. Itu lelaki yang berbagi lift denganku, dan itu perempuan yang tadi di dekat lift, yang kayaknya aku kenal. Pikiranku menyelidik.

"Ma.. Maaf, dengan Bapak Erick? Saya Saki, yang ada jadwal wawancara dengan Bapak hari ini," kataku sambil menyodorkan tangan.

Saki, bodoh! Bukannya kabur, malah ngenalin diri. Udah pasti nggak bakal diterima. Lo aja udah ganggu mereka. Pikiranku memaki lagi.

Aku tersenyum canggung saat si perempuan itu menatapku tajam. Dia sepertinya ingin menelanku hidup-hidup.

"Ruangan wawancara, ada di seberang," kata lelaki itu datar, "dan saya, bukan Bapak Erick."

Aku mengangguk, mengisyaratkan permintaan maaf kepada keduanya.

"Lo dengerkan! Bukannya pergi, malah bengong di situ," semprot si wanita berbaju yang kayaknya salah ukuran.

Dengan cepat aku meninggalkan ruangan itu dan mengatur napas serta ritme jantungku sambil bersandar di pintu. "Kenapa hari ini apes amat ya?" sungutku.

Setelah jantung dan napasku kembali normal, aku mengetuk pintu di depanku yang ada tulisan Haluan di depannya. Terdengar suara perempuan yang menyilakan untuk masuk dari dalam. Kutekan tuas pintu dan mendorongnya pelan. Senyum ramah dari seorang perempuan yang sepertinya seumuran denganku, menyambutku.

Aku memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuanku. Dia meminta kelengkapan dokumen, dan aku menyerahkan amplop coklat yang kubawa. Wanita itu memintaku menunggu, sementara dia membawa berkasku ke balik pintu lain yang ada di ruangan itu.

Ukuran ruangan ini tidak lebih besar dari ruangan di depan tadi, tapi lebih rapi dan tidak ada kejadian 'aneh' seperti di sana. Sofa tempatku duduk juga empuk dan nyaman. Meski harus menunggu, rasanya badan tidak akan pegal. Tapi kalau kelamaan juga bisa-bisa aku ketiduran di sini.

Untung saja perempuan itu segera keluar dan menyilakanku untuk masuk.

***

"Baik, Bu Saki. Saya diskusikan dulu dengan beberapa pihak, dan Anda akan diberikan kabar dalam waktu satu minggu," tuturnya.

"Terima kasih, Pak. Saya tunggu kabar baiknya," ucapku sambil mengulurkan tangan, lalu berpamitan.

Aku menganggukan kepala saat melewati perempuan tadi. Aku berjalan cepat di lorong dan langsung menuju lift. Denting kecil terdengar sesaat sebelum pintu lift terbuka. Aku masuk dan langsung menekan tombol angka Satu. Lift meluncur cepat.

Hampir saja aku lupa menukarkan tanda pengunjung dengan kartu identitasku di resepsionis. Usai menyimpan KTP di dompet, kusambar ponsel untuk memesan ojek online. Belum sempat kubuat pesanan, jariku teralihkan untuk melihat notif yang tertera di layar.

Aku keasyikan berbalas pesan hingga terus berjalan dengan mata tertuju pada layar di tanganku. Kegiatanku terhenti saat kepalaku menabrak kaca di pintu utama. Salah satu security mengampiriku dan menanyakan keadaanku.

"Nggak apa-apa, Pak," kataku sambil mengusap kepala.

Ya ampun, Saki! Lo salah minum obat kali ya? Seharian ini nasib lo gini amat. Untung tuh kaca kaga pecah. Coba kalau rusak atau pecah? Berapa duit tuh? Pikiranku kembali ngedumel.

Aku berjalan menjauhi selasar gedung itu. Rasanya tatapan security itu terus mengintai. Aku memutuskan untuk memesan ojeknya di pinggir saja jalan.

Baru saja kubuka aplikasi ojek online,  sebuah mobil hitam berhenti di depanku. Kaca sampingnya perlahan turun.

"Ayo, masuk! Gue anter pulang," kata orang dari balik kemudi.

Aku membungkuk, lalu memicing untuk melihat siapa pengemudinya. Tapi pintu di depanku sudah dibukakan dari dalam.

"Cepetan! Ngga boleh parkir di sini. Tar mobilnya di derek."

Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku menurut dan menghempaskan bokong begitu saja di kursi depan. Tanpa. Menungguku memasang sabuk pengaman, mobil itu langsung melaju.

================================

It's me again. Ngga fast update kayak Nero ya. Tapi tetap doakan konsisten dan rutin sampe kelar.

Jangan lupa vote n komen yaak, biar makin semangat. Maklum masih receh, butuh booster kalian buat nulis. Tapi aku juga terus belajar untuk tetap menulis dan menyelesaikan apa yang aku mulai, dengan atau tanpa sorak sorai. Tapi klo ada, pasti bakal lebih semangat.

Pokoke, happy reading n enjoy!

Salam,
-Sani-

Another World [Completed]Where stories live. Discover now