[17]

2.1K 177 23
                                    

Lupakan soal Bayu yang cemen yang dan Dulman yang tiba-tiba nggak jelas juntrungannya. Hari-hariku sudah kembali. Aku mendapatkan satu sahabatku lagi. Sekarang kami kembali bertiga, dan semakin dekat satu sama lain.

Memang masih ada yang mengganjal sejak hari aku pulang dari rumah sakit. Dulman sedikit aneh. Dia jadi pendiam. Bahkan dia nggak pernah balik ke kos. Sampai sekarang, dia juga nggak pernah nelepon atau chat. Jangan tanya kenapa aku nggak duluan yang berusaha menelepon dia! Aku sudah melakukan itu, tapi dia nggak respon sama sekali. Ya sudah, lupakan saja!

Ngomong memang mudah. Sama mudahnya dengan membalik telapak tangan. Di mulut aku memang bilang lupakan, tapi hatiku nggak bisa. Walaupun belum lama ketemu lagi sama Dulman, tapi dia sudah memberi warna lain dalam duniaku. Ah, aku nggak mau bahas tentang cowok-cowok absurd macam mereka sekarang. Hari ini adalah farewell-ku sebelum aku mulai di tempat yang baru.

Sesi pertama, dengan orang-orang kantor. Capek juga keliling buat pamitan ke orang sekantor. Untung cuma dua lantai. Tapi, berhubung aku nyaris kenal semua orang, makanya wajib pamitan ke semua.

"Semoga kamu bisa berprestasi seperti saat di sini, ya, Saki. Oiya, kalau saya atau beberapa teman di sini, masih suka teleponin kamu, untuk tanya-tanya, bisa ya?" tutur Pak Andy.

Perkataannya di telingaku lebih mirip pernyataan dan bukan pertanyaan. Tapi kalau untuk jawab-menjawab aja, kecil itu mah. Aku mengangguk sambil tersenyum, Boleh, Pak.

***

Sesi kedua, di kosanku. Hanya ada aku, Kezia, dan Amara. Kami memesan banyak makanan. Kebanyakan makanan yang berlemak dan tinggi karbo.

"Gue kangen deh, kita kayak gini lagi," ucap Kezia sambil melahap potongan ayam goreng yang entah sudah yang ke berapa.

"Gue juga. Gue makasih banget sama lo berdua, yang masih mau terima gue, setelah apa yang gue lakuin. Terutama ke elo, Sak," timpal Amara. Dia meletakkan potongan pizza yang sedang dipegangnya, lalu mendekat dan memelukku.

Suasana ceria berubah jadi melow, saat Kezia ikut bergabung. Kami bertiga kembali berpelukan, saling meminta maaf, juga saling menguatkan dan menyemangati.

"Udah dong, jangan nangis-nangisan lagi. Kita masih bisa hangout bareng tiap bulan, bahkan tiap minggu. kita juga masih bisa rumpi di grup tiap hari. Yang penting, kalau ada masalah dengan sesama kita, diomongin. Jangan pernah dipendem. Kalau kita punya sahabat yang sebenarnya, kita nggak akan butuh cermin. Karena sabahat kita itu yang akan mengoreksi kita."

"Tumben, bijak bener kata-katanya. Kayak orang tua aja," sahut Kezia.

"Nggak usah ditegesin juga keles," rajukku dengan bibir mengerucut.

"Cie ngambek. Tar keriputnya makin banyak lo!" ledek Kezia.

"Kutu kupret! Bawa-bawa keriput segala. Awas lo ya! Tar gue tarifin kalo lo curhat soal Daniel," balasku.

Tawa kami pecah.

TOK-TOK-TOK

Suara ketukan pintu membuat kami terperanjat. Ketukan pintu itu cukup keras, Kezia nyaris melompat dari tempatnya. Aku bergegas membuka pintu. Kesal juga sih, kenapa ngetuk pintu sampai segitunya.

"Maaf, Neng! Ini ada titipan bunga," ucapnya sambil menyodorkan buket bunga.

"Dari siapa, Pak?"

"Dari Mas Ganteng yang waktu itu, yang ngasihin bungkusan buat Neng Saki juga, inget kaga?"

"Dulman!" Batinku. "Oh, iya. Makasih ya. Eh, Pak, tunggu bentar!" aku bergegas membungkus beberapa makanan, lalu memberikannya. "Buat nemenin ngopi," ucapku.

Another World [Completed]Where stories live. Discover now