[16]

1.1K 142 3
                                    

Aku menyeringai canggung, berusaha untuk menutupi kengerian yang sebentar lagi diungkap oleh Kezia. Kepalaku berdenyut membayangkan hal itu. Aku bahkan nggak sadar, kalau sekarang Kezia menatapku heran.

"Gue nggak baca chat atau buka-buka yang lain, sumpah! Gue beneran cuma cari nomornya Dulman. Setelah dapet, langsung gue telepon. Lama banget dijawabnya. Pas gue bilang lo pingsan di kantor, Laki lo buru-buru nutup telepon dan langsung jemput ke kantor. Dia yang gendong lo sampe ke mobil, terus langsung bawa ke RS. Abis itu lo tau kan kelanjutannya?"

"Yang gue mau tau, ini barang kenapa bisa sama lo sekarang, Key? Perasaan dari cerita lo nggak ada kaitannya sama ini," aku mulai nggak sabar.

"Lo kan dapet kamar sore, trus abis lo makan dan minum obat, lo tidur tuh. Di situ gue diinterogasi sama Dulman. Dia tanya, lo kenapa kok bisa tepar gitu? Ya gue ceritain dari awal."

"Terus?" selaku.

"Sabar napa!"

"Lagian bukannya to the point, malah muter-muter."

"Lo sama Dulman emang cocok ya! Gue juga kemarin di protes sama dia, gara-gara itu. Tapi kan maksud gue, biar ceritanya urut," ucap Kezia dengan muka sedih yang dibuat-buat.

"Iya. Iya. Lanjutin cepet!"

"Sampe mana tadi?"

"Ye, lo yang cerita, lo yang lupa. Dulman tanyain alesan gue tepar."

"Oiya. Dulman geleng-geleng. Dia bilang lo nggak berubah dari dulu, pikunan. Terus dia nanyain buku lo. Dia minta gue bawain ke RS."

Buku? Dulman ingat kalau aku pelupa, dan aku pakai buku itu untuk jadi memori keduaku. Kalau ada di kantor, berarti isinya yang berkaitan dengan pekerjaan. Pintar juga dia, kepikiran ke sana. Tapi, aku juga sudah menelisik lagi buku itu, dan nggak dapat jawaban.

"Terus ada jawabannya dibuku? Gue aja yang punya ngga nemuin."

"Nah itu dia. Masalahnya lo cuma fokus sama di mana bukan siapa. Itu kata Dulman bukan gue."

"Maksudnya?"

"Kemarinan kita mikirnya, lo lupa tempat naro tuh sample, dan kita nggak kepikiran ada orang yang pinjem barang itu," kata Kezia dengan menegaskan kata pinjam sambil menggerakkan dua jari telunjuk dan tengahnya bersamaan.

"Ada yang ngambil maksud lo? Siapa? Terus gimana cara buktiin hal itu? yang minjam sample ada banyak. Ada Tami-bagian gudang, Pak Mar-Kepala Produksi, dan terakhir Amara. Tapi dia udah balikin ke gue. Terus gue sendiri yang nyimpen di laci sebelum pulang.”

"Cara ngebuktiinnya? Lo inget pas gue nangis-nangis setelah lo keluar dari ruangan Pak Andy untuk ngajuin resign?”

Aku menggangguk.

"Lo nyuruh gue diem, karena ada CCTV kan?"

Aku menggangguk lagi. Aku memaksa otakku untuk berpikir, karena jadi semakin sulit untuk menerka.

"Lo bisa lihat rekaman CCTV? Udah tau pelakunya siapa?"

"Bukan Kezia namanya, kalau urusan sepele gini nggak bisa nanganin," ucapnya jemawa, "tau nggak gimana caranya, biar si Pak Kun mau nunjukin?"

Aku menggeleng. Rese juga si Kezia bentar-bentar nanya. Kan ceritanya jadi kepotong-potong. Nggak lama dia geli sendiri.

"Gue ancem aja dia. Kalau dia nggak mau nunjukin rekamannya, nggak gue kasih kasbon lagi," ucapnya sambil terkekeh.

Kezia diam dan menatapku. Entah apa yang dia tunggu, untuk melanjutkan cerita. Besok?

"Masih inget janji lo, kan? Nggak akan marah sama siapapun?"

"Iya. Cepetan napa sih! Siapa orangnya?"

"Gue!"

Aku dan Kezia menoleh ke arah pintu. Di sana, Amara berdiri dan menyembunyikan separuh badannya. Bagai kena setrum rasanya. Aku nggak percaya apa yang barusan kudengar. Aku memandang Kezia, lalu kembali melihat Amara tanpa ekspresi.

Amara berjalan pelan dan tampak ragu. Aku membetulkan posisi dudukku di kasur sambil terus memandangnya. Amara berhenti di tepi tempat tidur, persis di sebelah Kezia. Dia menunduk, nggak berani menatapku. Ada gejolak di dadaku. Sebagian marah. Karena perbuatannya, aku berakhir di Rumah Sakit nyaris seminggu, dan pastinya membuang-buang waktu. Tapi kenapa masih ada bagian diriku yang merasa kasihan melihat Amara seperti sekarang.

"Kenapa?" tanyaku datar.

Aku lihat Amara berusaha menegakkan kepalanya untuk melihatku. Begitu pandangan kami berserobok, aliran deras langsung keluar dari matanya. Dia berlutut di tepi tempat tidur. Nangis.

Suasana jadi hening, hanya isakan Amara yang terdengar. Aku masih memandangnya. Nggak tahu kenapa, aku merasa iba, bukan murka.

"Kenapa, Ra?" tanyaku lagi.

Masih terisak, "Gue mau bales lo. Gue kesel sama lo."

Kesel? Sama gue? Soal apa? Emang gue ngelakuin apa ke lo?"

"Bayu!" ucap Amara dan masih terisak.

"Bayu? Nggak salah? Bukannya gue yang seharusnya kesel sama lo, kalo soal Bayu."

Amara diam. Dia menyeka air mata dengan bajunya. "Lo udah nggak sama Bayu, bahkan lo udah punya Tunangan, tapi kenapa masih juga gangguin Bayu? lo nggak adil, Sak! Nggak adil!"

"Kok lo nyolot?" sela Kezia, "lo kesini buat minta maaf. Lagian ya, siapa yang gangguin Bayu?"

Amara menunduk.

"Ra, denger ya! Gue sama Bayu udah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Gue nggak pernah hubungin Bayu, apalagi setelah lo bilang lo jadian sama dia. Soal kemarin dia nyangkal hubungan sama lo, ya bukan urusan gue. Itu urusan lo berdua."

"Terus kenapa Bayu bisa tiba-tiba ngajak lo balikan, kalo sebelumnya lo nggak pernah kontekan sama dia?"

"Lo tanya sama dia dong! Yang ngajakin ketemuan itu siapa? Gue?" Aku diam, karena kepalaku mulai berdenyut. "Ra, gue sama Bayu tuh udah nggak ada harapan, dan lo tau itu. Gue udah ceritain duduk persoalannya sama lo. Inget?"

Amara masih menunduk. Sesekali dia menegakkan kepalanya, kemudian menunduk lagi. Tak terasa, ujung mataku ikut basah.

"Cuma lo sama Kezia aja yang tau cerita gue seutuhnya. Tentang masa lalu gue, masalah gue. Jujur ya, Ra! Gue kesel banget pas tau lo jadian sama Bayu, setelah gue ribut besar sama dia, dan itu cuma selang seminggu. Kalo lo jadi gue, gimana perasaan lo? Sakit, Ra! Sakit!"

Kezia berpindah tempat. Dia duduk di sampingku dan mengusap punggungku pelan.

"Nggak ada kata balikan di kamus gue. Apalagi sama cowo yang nggak punya pendirian, kayak Bayu. Dia terima gitu aja, apa yang keluarganya tuduhin tentang gue. Padahal berita yang diterima keluarganya Bayu nggak bener. Parahnya lagi, dia nggak pernah nanya kebenarannya sama gue. Dia ngilang gitu aja. Nggak nemuin gue, nggak ngabarin, bahkan dia nggak mau terima telepon dan balas chat gue."

Aku menghela napas panjang, berusaha untuk mengatur ritme jantung yang tiba-tiba memompa lebih cepat. Amara mengangkat kepalanya dan berani menatapku. Sorot matanya penuh penyesalan, setidaknya itu yang kutangkap.

"Saki, gue ... gue salah. Gue,..." Amara tidak melanjutkan kalimatnya, tapi langsung memelukku dan menangis lebih keras.

Aku kangen sama situasi seperti ini. Bukan soal tangis-tangisan, tapi karena gue ngerasa ada orang yang mau diajak berbagi perasaan. Bagusnya lagi, ini di dunia nyata, bukan di dunia khayalanku. Kezia pun ikut menangis. Kami bertiga menangis dan saling berpelukan.

Alunan lagu how deep is your love mengalun dari ponselku. Nama Dulman bertengger di layar. Oiya, aku lupa ke mana perginya dia, tiba-tiba saja menelepon. Aku menggeser ikon berwarna hijau, dan menempelkan benda itu ke telinga. Baru saja mulutku terbuka untuk menyapa, tapi suara sambungan terputus yang terdengar. Tut..tut..tut.

Another World [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang