[15]

1K 143 2
                                    

Aku bosan! Bosan! Bosan! Sudah tiga hari aku di sini dan dokter masih belum mengizinkan pulang. Apa karena pasien umum, jadi dilama-lamain? Biar Rumah Sakitnya dapat pemasukan lebih banyak? mana menunya cuma bubur, pagi-siang-malam. Emangnya aku bayi.

Untung Dulman bawain aku banyak bacaan, jadi masih ada harapan. Ya, harapan, biar aku nggak gila lantaran cuma makan-tidur seharian. Aku masih sering juga, mengunjungi another world ciptaanku. Bahkan, aku masih sering meng-update isinya. Aku menambahkan tempat kerja yang keren, dinas luar kota bahkan luar negeri, dan pastinya ada sedikit petualangan di sana. Dan, aku membuat tempat khusus untuk Dulman. Tempat itu nggak besar, tapi hangat dan nyaman. Sayang, tempat itu masih rapuh. Aku nggak berani terlalu mengeksplor bagian itu. aku masih takut.

"Man! Ngapain sih? Kok cemas gitu?" tanyaku ketika melihat Dulman mondar-mandir sedari tadi.
Aku harus mengulangi pertanyaan yang sama hingga dua kali, sebelum mendapat respon darinya, dan itu pun hanya, 'Hah? Nggak ngapa-ngapain.' Nggak biasanya dia begitu. Dulman yang kukenal belakangan ini, sosok yang tenang dan penuh perhitungan. Maksudnya bisa baca sikon, bukan perhitungan pelit.

Satu lagi yang aneh. Saat Kezia datang, wajah Dulman semringah. Dia pun langsung menyambut Kezia di ambang pintu. Parahnya lagi, mereka langsung keluar dari ruang rawatku gitu saja. Apa mereka ada hubungan spesial? Kezia tahu dong kebohonganku tentang pertunangan palsu sama Dulman. Daniel gimana? Nggak mungkin Kezia bisa ninggalin Daniel segampang itu. Dia kan cinta mati sama Daniel. Kok jadi makin rumit gini sih hidupku. Apa nggak cukup masalah sample hilang, terus harus mendapati satu lagi temanku yang menikam dari belakang?

Buku di tanganku hanya tinggal beberapa bab lagi. Padahal lagi seru-serunya. Bagian di mana penulis menyajikan klimaks dan penyelesaiannya. Tapi aku nggak bisa lagi konsentrasi pada cerita. Terdengar suara tawa bahagia dari balik dinding kamar.

Aku melihat Dulman bergegas, saat dokter menuju tempatku. Dia mendengarkan setiap kalimat yang meluncur dari sang dokter. Padahal suara mereka cukup besar, tapi kenapa telingaku seperti tuli mendadak. Apa gara-gara pikiran liarku?

Aku menoleh ke Kezia saat dia menyenggol bahuku. Mukanya berubah ketika aku melihatnya tanpa ekspresi dan langsung memalingkan muka.

"Napa lo? Kok gitu sama gue? Lo marah?" tanya Kezia bingung.

Aku diam tak memberi jawaban. Aku pun nggak mau melihat ke arahnya. Dulman menatap bingung melihatku dan Kezia. Dari sudut mata, aku melihat Dulman bermain kode mata dengan Kezia.

“What a perfect life," gumamku geram.

"Saki! Lo kenapa sih? Perasaan tadi pas gue dateng lo biasa aja, kok sekarang begini? Gue salah?" tanya Kezia bingung.

Ya iyalah salah. Pake nanya. Udah punya cowok, masih juga nge-gebet cowok lain.

"Kamu cemburu sama Kezia?" ledek Dulman dengan senyum menghiasi wajahnya.

Kezia menganga. "Lo cemburu sama gue? Emang gue ngapain?" Kezia semakin bingung. Dia mengetuk-ngetuk hidungnya dengan telunjuk, kebiasaannya kalau sedang berpikir. "Yang tadi Laki lo ngajak gue keluar? Ya ampun Saki, gitu aja cemburu! Gue ini temen lo, bahkan gue udah anggap lo sodara gue. Nggak mungkinlah gue lakuin hal yang bikin lo sedih. Gue aja masih kesel dan sebel sama Amara, gara-gara dia ngambil Bayu dari lo. Masa gue lakuin hal yang sama. Please deh, Sis."

Aku masih bergeming.

"Kamu tuh beruntung, punya teman kayak Kezia. Dia mau melakukan apa saja buat bantu kamu," timpal Dulman yang berdiri di ujung tempat tidur.

Sekarang dia berjalan mendekat, bahkan sangat dekat. Dia nyaris menempelkan bibirnya di telingaku, dan bisa merasakan hembusan napasnya di sana. Jantungku berdebar.

"Aku suka liat kamu kayak gitu," bisiknya. "Jangan mikir macam-macam. pikirin aja kesehatan kamu, biar cepet pulang. Dengar, kan, kata dokter tadi? Kalau kamu ikutin nasihat dokter, dalam dua hari kamu sudah boleh pulang. Tapi kalau kamu ngeyel, ya pasti makin lama di sini."

Kezia melihatku dengan sorot mata yang mengatakan 'dengerin tuh'. Aku membuang pandangan ke lukisan pesawat yang lepas landas. Kenapa Rumah Sakit milih gambar itu sih? Pesawatnya sih nggak masalah, tapi warna latarnya itu lho, senja. Bikin nggak semangat. Coba warnanya lebih cerah, kan ruangan juga jadi lebih ceria. Kenapa aku jadi bahas lukisan sih? Nggak penting banget deh.

***

Dulman memapahku saat memasuki pelataran kos. Kukira kamarku akan dipenuhi debu, tapi sebaliknya, semuanya rapi dan bersih, dan hey! Siapa yang mengganti spreinya? Nggak mungkin Dulman, kan? Dia nggak punya kunci kosku, kecuali dia ... dia ....

"SAKI! Seneng akhirnya lo keluar dari rumah sakit. Lama banget sampenya, gue udah nungguin dari tadi tau. Gue udah beres-beres kamar, ganti sprei, yang lama udah dikirim ke londri. Tinggal makanan aja yang belum dateng,"  sambut Kezia saat melihatku dan Dulman berdiri di ambang pintu. "Sorry, nggak izin dulu. Lo nggak marah kan? Gue dapet kunci kos dari tas lo," sambung Kezia dengan memamerkan giginya yang rapi.

Ah, lagi-lagi aku berpikiran negatif ke Dulman, nggak kehitung lagi jumlahnya. Aku tuh kenapa sih? Padahal dia baik banget. Dia selalu mau bantu, bahkan sejak kali pertama kami ketemu lagi.

Kezia mengambil alih tempat Dulman. Dia yang sekarang menggandengku masuk, sementara Dulman meletakkan tas besar di bawah meja, lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Dia kelihatan serius dengan benda itu.

Kecemasan kembali memenuhi wajahku. Kezia buru-buru menghiburku. Nggak usah mikirin yang hilang. Semuanya baik-baik saja, katanya.

Baik dari Hongkong? Bagaimana bisa baik? Hal yang paling mungkin adalah mengakui kesalahan di depan si Bos, menerima semua konsekuensinya karena menghilangkan barang yang penting buat dia, terus dengan muka datar Pak Andy bakal bilang, "Saki! Saya nggak mau tahu gimana caranya, pokoknya sample itu harus ada sebelum kamu pergi. Walaupun kamu harus mencari dan menyusul Bu Evy. Tapi kamu sendiri yang menanggung biayanya."

Aku menghela napas berat. Kalimat Kezia bukan menenangkan, justru sebaliknya.

"Bentar ya!" ucapnya sambil berjalan cepat keluar kamar.

Aku melihat Dulman masih sibuk dengan ponselnya. Aku baru saja mau merebahkan diri ke kasur, ketika Kezia teriak dari pintu.

"KEJUTAN!" ucapnya dengan sebuah benda di depan mukanya.
Hampir aku melompat dari tempat tidur, saking senangnya. "Itu. Itu. Itu samplenya, kan?" ucapku terbata-bata. Aku bergegas turun dari tempat tidur dan mau melihatnya lebih jelas.
Kezia menahanku dengan isyarat tangannya. Aku merengut. Kezia mendekat dan duduk di tepi tempat tidur, dengan tubuh yang menghadap ke arahku.

Sebelum aku menyerbu Kezia dengan rentetan pertanyaan, Dulman menyela.

"Aku keluar sebentar ya. Ada urusan mendadak. Nanti aku ke sini lagi secepatnya."

Dia tersenyum sebelum menghilang dari balik pintu. Aku memusatkan diri lagi ke Kezia, dan menuntut penjelasan dengan segera.

"Sebelum gue cerita, janji dulu. Lo nggak akan marah sama siapa pun. Inget! Si-a-pa-pun. Deal?" kata Kezia dengan muka serius.

Aku menggangguk dan jujur, semakin penasaran.

"Pas lo tepar di kantor waktu nyari sample. Gue dan Amara panik. Panik banget. Antara sadar atau nggak, lo manggil-manggil Dulman terus, tapi mata lo merem. Gue udah coba bangunin lo, tapi ngga ada hasil. Gue nggak bisa mikir kalau panik, lo tau, kan?"

Aku mengangguk.

"Amara nyaranin telepon Laki lo. Untung aja, hape lo ngga dipassword, jadi gue gampang nyari nomornya,..."

What? Kezia tahu dong, tentang tunangan bohongan itu? Semua chat Dulman kan belum dihapus. Mampus gue.

Another World [Completed]Where stories live. Discover now