Part 1

40.5K 1K 11
                                    

Aku Reyna,  aku gadis biasa berumur 14 tahun. Aku suka novel,  suka cokelat,  suka musik,  dan suka pamanku.

Aku suka cara paman memandangku, cara paman menyentuhku,  dan caranya memanggil namaku.

Mungkin aku gila,  kadang aku berpura-pura tertidur di sofa untuk kemudian digendong pamanku ke kasur.  Kadang juga aku berpura-pura mimpi buruk dan berteriak dalam tidurku agar paman berlari ke kamarku dan menemaniku tidur.

Aku gila,  apalagi saat melihat paman tersenyum. Dia tampan,  berusia 15 tahun di atasku.  Dia sempurna,  seorang pengganti kakak dan ayah untukku.

Sebetulnya aku dan paman sudah lama tidak berjumpa,  kami berjumpa lagi saat paman dipindahtugaskan ke daerah tempatku tinggal.

Paman adalah adik dari mamahku, itu sebabnya kami tinggal serumah. Saat itu jujur saja tidak ada pikiran sampai sejauh sekarang.

Saat itu yang aku tahu,  aku hanya menghormatinya dan bersikap sopan terhadapnya karena dia adik dari mamahku.

Namun,  ketika pertengkaran mamah dan papah mulai memanas.  Aku mulai dekat dengan paman,  ia yang mengambil buku raportku di sekolah,  ia yang mengantarku ke sekolah,  ia juga yang membereskan semua masalahku di sekolah.

Waktu itu aku kelas 3 smp,  aku memiliki banyak masalah. Dihadapkan dengan ujian nasional yang sebentar lagi tiba sekaligus momok perceraian orang tuaku,  aku nekat merokok untuk sekedar membebaskan pikiranku.

Bukan,  bukan hanya merokok.  Aku juga belajar minum alkohol. Dari mulai alkohol dengan kadar 10% sampai bisa melebihi batas 40% untuk anak seusiaku.

Waktu itu aku tertangkap razia, beberapa temanku berhasil meloloskan diri,  namun sialnya karena aku memakai rok,  aku kesulitan untuk berlari.

Paman datang menebusku di rumah tahanan, berkali-kali ia meminta maaf dan membungkuk kepada petugas yang mengintrogasiku beberapa jam sebelumnya.

Ia menarik pergelangan tanganku yang hampir membeku kedinginan di luar ruangan.  Tanpa kata,  ia melepaskan mantelnya dan memakaikannya di tubuhku.

Aku merapat ke dalam mantelnya,  dengan patuh ikut masuk ke Honda Suv nya.

Paman diam saja,  berkali-kali kulirik dan wajahnya sama sekali tidak berubah dari semenjak ia membawaku pergi. Wajahnya kaku,  keras,  marah,  dan sedih.

Aku menunduk,  sebegitu menyedihkannya diriku sampai membuat orang yang selama ini mendukungku bersedih.

Namun egoku selalu ingin menempati posisi pertama,  jadilah aku melepaskan mantel yang ia berikan padaku dan berteriak di dalam mobil seperti gadis sinting.

"Jadi,  kenapa kau membebaskanku ha? Mana kakakmu!  Mana orang yang seharusnya menjemputku?  Aku tidak butuh dirimu!  Kau bukan anjing penjaga milik mamahku!" Aku terengah,  nyaris batuk karena sebelumnya aku tidak pernah menggunakan pita suaraku semaksimal sekarang.

Paman menepikan mobilnya ke kiri jalan,  dia melepaskan sabuk pengamannya dan berbalik memandangku.  Aku tercekat,  wajah paman tidak kalah menyedihkan dengan wajah mamah ketika mamah dan papah selesai bertengkar,  wajah paman sangat amat sedih,  ia menunduk,  menghembuskan nafas yang sangat berat kemudian menarikku ke dalam pelukannya.

"Maaf paman telat menjemputmu,  apa kau sudah makan?" Ia sengaja mengalihkan topik pembicaraan!

Aku meronta dalam pelukannya,  tolong izinkan aku bersikap kasar malam ini.  Aku muak,  muak atas segalanya,  dia pikir karena aku mengaguminya dia akan bisa mengontrolku!  Dia pikir, karena aku memujanya dia dapat bertingkah seolah dia adalah orang tuaku!

Aku tidak suka!  Aku benci ketika dia berusaha keras menjadi pengganti orang tuaku,  aku merasa tersiksa ketika lagi-lagi tatapan kasihan yang ia beri kepadaku. Padahal sebelumnya aku menyukai caranya memandangku,  namun sepertinya aku sudah tidak tahan.

Jadi,  dengan segala kesintingan dan sisa sedikit kewarasan yang kupunya,  aku menggigit tangannya dan berhasil meloloskan diri dari pelukannya.

Aku merangkak naik ke atas pangkuannya dan melumat bibirnya,  menggesekan tubuhku di atas tubuhnya dan menggigit bibirnya dengan kemampuan gadis berusia 14 tahun.

Kupikir paman akan melemparku keluar mobil,  namun ternyata dia justru menekan tengkukku lebih dalam dan memasukan lidahnya ke dalam mulutku,  ia menjilati semuanya,  rasaku ada di dalam mulutnya. 

Seakan waktu berhenti,  ternyata selain gila aku menyadari bahwa aku bodoh. Karena aku bodoh,  aku terus-menerus menggesekan tubuhku di atas pangkuan paman sampai sesuatu yang menonjol di selangkangannya berhasil membuatku berdesir nikmat.

***

Marcus Uncle (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang