Part 15 (Arthur)

16.4K 593 38
                                    

"Rey! Reyna buka pintunya!" aku sudah mengetuk kaca mobil hampir selama hidupku, jantungku bertalu, entah bagaimana pikiran buruk terus bersarang di kepalaku, ini membuatku gila karena pikiran buruk itu sungguh salah.

Aku sungguh sinting jika menggambarkan semua pikiran sialan ini. Reyna dan pamannya memang terlihat tak biasa, hubungan mereka sangat dekat jika dibandingkan  dengan hubungan seorang keponakan dan paman.

Tapi aku bisa apa? Jika hanya memikirkannya saja rasanya seperti tercekik. Aku percaya Rey, aku percaya pada gadisku. Gadis tersesat yang pertama kali kutemui saat sedang merokok di gerbang belakang sekolah.

Gadis tersesat yang tatapannya menahanku untuk lebih lama memperhatikan wajahnya. Reyna adalah porselen, kewajibankulah untuk menjaganya tetap ada di sisiku sampai ia bisa tumbuh lebih kuat dan sadar bahwa ada aku yang bisa melengkapi hidupnya.

Aku memutuskan semua hal ini saat pertama kali Rey jatuh di depan rumahku, hari itu untungnya kesiap kagetku tak terdengar karena pekikan suara Nath yang melihat Rey jatuh tepat menubrukku membuatnya terkikik.

Pikiran pertamaku adalah, ah gadis tersesat ini bisa tertawa, lebih tepatnya terkikik. Dan, dia wangi.

Pikiran keduaku adalah Reyna sangat cantik, dengan rambut hitam lembut membingkai wajah manisnya. Ia memandang wajahku dari atas, wajah kami sangat dekat karena kami jatuh dengan posisi bertindihan.

Dan pikiran ketigaku adalah, aku jatuh cinta pada gadis tersesat ini.

Ternyata benar, hanya dibutuhkan waktu 3 detik pertama untuk membuat seseorang benar-benar jatuh cinta.

"Bangun kalian! haha kenapa sih Rey, pelan-pelan dong jalannya. Ini Arthur, abangku." Nath mengganggu posisi kami, tapi aku tak mau mengakui itu.

Aku membantu Rey berdiri, setelahnya ia tersenyum. Bukan, lebih tepatnya cengengesan dan satu kakinya menekuk ke belakang, mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya di lantai rumahku.

"Sorii.. Aku Reyna." ujarnya gugup, mengulurkan tangannya yang kecil.

***

Sudah 20 menit aku mengetuk tanpa respon. Kuputuskan untuk duduk di beton parkiran daripada menarik banyak perhatian orang-orang. Aku duduk menunggu, sudah berkali-kali pula aku menelfon Rey, hasilnya tanpa jawaban, hanya membuatku bertambah gelisah.

Mataku berair, aku tak mau mengakui bahwa aku menangis karena terlalu menyakitkan menyaksikan gambaran yang ada di kepalaku. Aku memang bodoh, tidak bisa melakukan apapun di saat semua pikiran konyol ini bersarang, mereka hantu di tidurku, berbentuk Reyna dengan tangan pamannya melingkari tubuh mungilnya.

Tiba-tiba aku mual, aku muntah di balik beton, memuntahkan semua makanan yang kumakan siang tadi sambil menunggu gadisku bangun.

Tanpa sadar, ingatan hari itu muncul. Saat aku, Nath dan Reyna berkumpul untuk merayakan kesembuhan Rey dari demam panjangnya.

Kami main monopoli dan menonton serial horor, Nath pamit pergi ke kamarnya untuk tidur siang. Hanya tinggal aku dan Rey di kamarku, Rey naik ke tempat tidur setelah kepergian Nath, ia menarik guling dan memejamkan matanya sebelum menguap dan benar-benar tidur.

Siang itu aku melihat tujuan hidupku tepat ada di depan, matanya terpejam dan suara dengkuran halusnya mengiringi rahasiaku yang ikut tidur tepat di sampingnya.

Dalam tidur, Rey mengernyit kemudian tersenyum. Kemudian ia mengernyit lagi, tapi tak lama kembali tersenyum, Rey mengernyit lagi dan akhirnya sesenggukan. Tangannya menggapai ke depan, aku menangkapnya, memegangnya erat dan membawanya ke bibirku.

Aku menciumi punggung tangannya, berusaha menenangkan gadisku dari entah mimpi apa yang ia alami. Rey kembali tersenyum, guling yang sebelumnya ia peluk sudah ia hempaskan ke bawah kakinya. Sebagai ganti, ia memeluk tubuhku erat, wajahnya ada di leherku dan di tengah tidurnya, ia mengendus bauku, menggigit kecil kulit leherku.

Saat itu aku mati-matian menahan nafas. Gerak nafas Rey menghantam kewarasanku. Aku mengelus rambutnya yang tergerai, kembali menenangkan gadisku jika ternyata ia masih bermimpi buruk.

Tapi Reyna yang tertidur masih bergerak. Kali ini ia menciumi leherku, berkali-kali sampai membuat tubuhku merinding. Aku harus berusaha menjauhkan wajahnya dari leherku untuk mendapatkan kembali kewarasan.

Tapi sayangnya aku salah, justru dengan menjauhkan wajahnya, aku bisa melihat wajahnya yang cemberut dalam tidur, bibirnya mengerucut dan gumamannya membuatku ingin lebih tahu, apa sebenarnya yang sedang ia mimpikan.

Apakah aku ada dalam mimpinya? Jika iya, bukankah tidak salah jika aku memberinya sedikit respon? Sedikit saja, untuk menenangkan jiwaku yang membara.

Aku menempelkan bibirku pada bibirnya yang hangat. Ini adalah ciuman pertama kami, tidak akan berlebihan jika kubilang bahwa kami terasa pas. Reyna tersenyum, aku bisa merasakan dari gerakan bibirnya yang melengkung.

Malu-malu ia menjulurkan lidahnya, aku menangkupnya, membelitnya dengan lidahku yang mendamba.

Padahal aku berniat untuk menenangkan jiwaku yang membara, tapi ternyata apinya semakin berkobar. Kami berciuman, intensitasnya bukan main-main, Reyna menempelkan tubuhnya di tubuhku, menggesekan badan mungilnya di tubuhku yang mengeras.

Aku tak sadar bahwa ketika ingatan itu muncul, badanku secara otomatis tertunduk sedih. Hanya ingatan itu yang kupegang selama ini, sebelum ciuman resmi kami di balkon tempo hari, aku sungguh tak punya pegangan untuk terus bertahan menggenggam gadisku.

Tangan lembut Reyna memegang lenganku, ia berjongkok di antara kakiku, wajahnya merah, matanya bengkak.

"Art, ayo kita pulang."

***

Catatan :

Hallo, aku memutuskan untuk membuat akun instagram untuk teman-teman yang ingin menghubungiku. Kalian bisa hujat aku di sana untuk yang ingin menghujat, atau bisa tagih part selanjutnya juga di sana, atauuu bisa juga curhat tentang kehidupan dewasa kalian, ingat yaaa... Belajar seks education itu perlu :*

Follow aku di Instagram @shintyachoi_

Sampai jumpa di part selanjutnya!
Maapkan ya kalau alur ceritaku sangat amat lambat hehe.. Luvv!!

Marcus Uncle (END)Where stories live. Discover now