Part 9

24.9K 685 41
                                    

"Kapan kamu berhenti merokok, Rey." ucap Arthur, kami ada di balkon lantai atas rumahnya. Arthur tidak bertanya, ini lebih tepat ke arah peringatan dibanding pertanyaan.

"Nggak akan pernah berhenti kayanya. Rasanya nyaman saat asap yang kuhisap aku keluarin lagi Art," jawabku, kembali menghembuskan asap rokok di udara.

Nyaman sekali berada di teras balkon persis di depan kamar Arthur pada malam hari, Nat sedang ada di bawah untuk membawakan kami camilan dan minuman. Pertemanan kami memang sedekat ini, aku sering diundang ke rumah mereka untuk bermain. Kami main apapun, dari mulai monopoli sampai main PS di kamar Arthur.

Sebenernya aku tahu tujuan kakak-beradik ini adalah untuk membuat kebiasaanku kumpul dengan teman-teman yang kata mereka adalah membawa pengaruh buruk itu berkurang. Dan terbukti, mereka berhasil membuatku jarang minum alkohol lagi, namun yang kusuka dari Arthur dan Nat adalah, mereka tidak pernah menuntut aku untuk berhenti minum atau merokok.

Mereka hanya minta aku untuk mengurangi, bahkan mereka juga tidak melarang aku untuk berteman dengan teman-teman lamaku. Yang sekali lagi membawa pengaruh buruk versi mereka. Mereka hanya mau berteman denganku, menjadi penjaga dan sebisa mungkin membuatku nyaman.

Entah mengapa rasanya aku sangat tidak pantas untuk mendapatkan berkah seindah ini. Memiliki Arthur dan Nat di hidupku merupakan sebuah bonus, mungkin Tuhan tahu betapa aku sangat butuh orang-orang seperti mereka. Maka Tuhan mengirimkan kakak-beradik ini untuk diriku.

"Jadi, kamu nggak masalah tentang aku yang kuliah di kota?" kali ini Arthur bertanya sambil memainkan rambutku yang tergerai, kebiasaannya yang menyenangkan. Aku suka saat Arthur menarik-narik lembut rambutku atau saat Arthur menyibakkan anak-anak rambutku yang membandel.

"Tentu aja, aku selalu dukung semua yang terbaik buat kamu, Art." kataku menenangkan, aku tahu yang ia khawatirkan adalah diriku. Ia takut aku kembali menjadi gadis gila yang keluar masuk kantor polisi, ia takut aku menjadi tidak terkontrol. Andai dia tahu bahwa sebab utama kegilaan di hidupku adalah karena aku yang mencintai pamanku sendiri. Apakah Arthur masih mau berteman denganku?

Sial! Lagi-lagi aku mengingat Paman Marcus. Sial! Sial! Sial!

"Rey, kenapa?"

"Ha? Apa?"

"Lagi, kamu bengong. Kamu lagi banyak pikiran. Mamah belum pulang?" Arthur memegang bahuku, menghadapkan wajah kami saling berhadapan. Ia menatap mataku, aku suka mata Arthur yang kecoklatan, rasanya hangat. Berbeda dengan mata hitam kelam milik Paman Marcus yang terasa begitu banyak rahasia yang ia sembunyikan.

Karena lagi-lagi aku membayangkan Paman Marcus, maka aku memutuskan untuk lebih fokus menatap mata dan wajah Arthur. Aku harusnya fokus, Arthur sahabat baikku, dan sekarang ia sedang bingung mengenai keputusannya untuk berkuliah di kota, beberapa kebingungannya sudah dipastikan karena aku. Maka aku tidak mau menjadi sebab Arthur menyia-nyiakan masa depannya.

"Iya, mamah belum pulang. Entahlah, dia bilang ada perpanjangan hari kerjanya di kota. Masalah kuliah kamu itu, aku beneran serius nggak masalah, Art. Aku dukung kamu, aku nggak mau kamu bimbang dan ragu sama masa depan kamu cuma gara-gara kamu khawatir sama aku. Itu bakalan buat aku sakit banget kalo beneran aku jadi penyebab kamu nggak ambil kesempatan bagus buat masa depan kamu, Art." Aku baru sadar bahwa ada tahi lalat kecil di sebelah kanan bawah mata Arthur. Bintik kecil ini nggak pernah aku sadari karena kami memang tidak pernah saling menatap sedekat ini.

Arthur, kamu orang baik. Aku seneng banget kalau kamu bisa bahagia.

"Aku tahu, oke aku bakalan kuliah di kota dan nggak akan ubah keputusan itu. Tapi kamu harus janji sama aku kalo kita bakalan sering kasih kabar."

Marcus Uncle (END)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin