8. The reason to stay

7.5K 814 67
                                    

"Hermione, aku dengar dari Ron kau melukai tanganmu di kelas Ramuan?" Tanya Harry saat mereka berkumpul di Great Hall.

"Apa? Mione kau terluka?" Kini Ginny ikut bertanya.

"Bukan apa-apa. Aku hanya tidak fokus saja." Jawabnya santai.

"Kau selalu teliti sebelumnya Hermione. Apakah ada sesuatu yang terjadi?" Tanya Harry, selalu jadi penebak yang jitu.

"Tidak teman-teman. Mungkin aku lelah karena mengerjakan esai. Lagipula lukanya tidak serius. Lihat, beberapa hari kedepan akan hilang." Jelas Hermione sambil menunjukkan lukanya yang mulai membaik.

Bukan maksud Hermione untuk menutupi penyebab ketidakfokusannya. Ia hanya tidak mau mengakuinya.

Harry, Ron dan Ginny mengangguk mengerti kemudian melanjutkan makan malam mereka. Hermione mendesah lega karena tidak perlu menjelaskan lebih panjang. Ia lalu melirik kearah meja Slytherin dan tidak mendapati Draco berada disana.

'Kemana dia?' Pikirnya penasaran.

Setelah makan malam, Hermione kembali ke asrama ketua murid. Ia khawatir karena Draco belum makan malam. Jangan salah paham, Hermione hanya tidak mau partner Ketua Muridnya sakit. Pasti merepotkan jika harus mengerjakan tugas Ketua Murid sendirian, bukan. Karena itu, Hermione mencari laki-laki itu di kamarnya.

"Malfoy, kau di dalam?" Tanya Hermione sambil mengetuk pintu. Namun tidak ada suara dari dalam sana. Dia tidak mati kan?

Perlahan ia membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. Bukannya tidak sopan, ia hanya sudah terbiasa masuk kamar Ron dan Harry untuk membangunkan pemuda itu.

"Malfoy?" Hermione mengintip ke dalam dan melihat Draco tertidur di ranjangnya dengan baju lengan panjang serba hitam, kontras dengan kulit putih pucat dan rambut pirangnya. Untunglah Draco hanya tertidur.

Hermione hendak kembali, tapi ia menyadari Draco terlihat tidak tenang dalam tidurnya. Entah apa yang menuntunnya, ia melangkahkan kakinya mendekati Draco. Ia dapat melihat dahinya yang mengerut dan bulir peluh muncul di pelipisnya. Bibirnya menggumam sesuatu yang tidak jelas berkali-kali.

"Mother, i'm scared. I can't." Gumamnya lirih diiringi isakan kecil.

Hermione menatap lelaki itu dengan mata berkaca-kaca. Hatinya begitu sedih melihat keadaan Draco saat ini. Ia seperti mengalami mental breakdown yang parah. Dan tidak ada siapapun disisinya untuk membantu.

Hermione juga mengalami hal yang serupa. Tidak sedikit yang mengalami trauma pasca Perang Sihir. Tapi ia lebih beruntung karena Harry, The Weasleys, anggota Orde Phoenix dan teman-teman Laskar Dumbledore selalu ada untuk menguatkan satu sama lain.

Gadis itu memberanikan diri untuk duduk di sisi ranjang. Ia menyentuh pundak Draco dan memanggil nama lelaki itu agar tersadar dari mimpi buruknya.

"Draco, wake up. Itu hanya mimpi." Ucap Hermione.

"No.. please... It hurts." Gumam lelaki itu sambil menggeleng. Hermione tidak tahu kenapa Draco terdengar seperti telah disiksa?

"Draco! Wake up!" Draco tersentak dari mimpinya. Ia memimpikan itu lagi. Nafasnya tersengal dan peluh membasahinya.

Ia teringat masa dimana Voldemort memerintahnya untuk membunuh Dumbledore, kematian Dumbledore di depan matanya, kutukan Crucio yang diberikan padanya lalu teriakan Hermione di Malfoy Manor. Semuanya berputar bagai menghantuinya.

"M-mother? Dimana ibuku? Mereka ingin menangkapku." Ucap Draco panik.

"Hey, it's okay. It's okay. Kau aman sekarang. Semuanya sudah lewat." Draco merasakan tubuhnya ditarik ke dalam pelukan erat dan hangat.
Sentuhan lembut di kepalanya membuat dirinya perlahan tenang.

The End of the NightmareWhere stories live. Discover now