Bloom.

4.3K 819 79
                                    

Jeongin pernah membaca beberapa cerita yang agak cringe tentang cinta. Ia paham bahwa hal tersebut sebenarnya nyata, dan hal tersebut akan terjadi padanya juga. Laki-laki bermarga Yang itu tak menghindarinya, walaupun terkadang ia geli membayangkannya.

Tapi Jeongin tidak pernah terlibat dalam sebuah kisah cinta yang berbeda. Beberapa kali, memang dia memiliki teman sekamar yang berbeda. Mereka suka pelangi, sementara Jeongin tidak. Terlebih keluarganya, mereka sangat amat menolak pelangi indah tersebut. Oleh karena itu, beberapa kali Jeongin mendekati adik tingkatnya yang menggemaskan, atau justru galak seperti temannya, Hyejoo.

Aneh saja rasanya, akhir-akhir ini dia jarang menghabiskan waktu dengan Hyejoo. Rubah itu lebih sering menghabiskan waktunya dengan teman sekamarnya yang jelas-jelas ia tahu bahwa Hwang Hyunjin, adalah salah satu warna dari pelangi itu. Sebenarnya bukan menghabiskan waktu, hanya makan siang bersama, bertemu di kantin, dan kembali ke asrama.

“Lo kemana aja, sih? Kok ngilang tiba-tiba kaya pena di meja gue aja.” Ucap Hyejoo begitu melihat Jeongin berjalan di kantin sembari menyesap susu kotaknya.

“Lah lo sendiri juga jarang keliatan.” Balas Jeongin.

Hyejoo menghela nafasnya, “Pulang, gue. Ada urusan keluarga di rumah.” Jawabnya. Ia kembali memfokuskan matanya ke arah laptop sembari sesekali mencomot makaroni goreng di hadapannya.

Hyunjin datang, menghampiri sepasang sahabat itu sembari memperhatikan Jeongin. “Masih ada kelas lagi?” Tanya Hyunjin kepada pemuda di hadapannya.

Perempuan berambut hitam legam itu pura-pura tak melihatnya, namun ia menyimak percakapan tersebut dengan intens.

“Enggak. Emangnya kenapa?” Jeongin menghadap ke arah Hyunjinㅡsedikit mendongak karena pria itu berdiri sementara ia duduk.

Hyunjin menarik tangannya, “Sushi Aeon ayo?” Ajaknya.

Jeongin mana mau menolak, hanya saja Hyejoo di sana memerah wajahnya. Entahlah, Hyejoo tak mau berpikiran macam-macam. Ia malah fokus kepada wajah Hyunjin. Ada ya, orang se-sempurna itu?



••••




Hyunjin tertawa, menatap Jeongin yang sudah menghabiskan sushi ke-5 miliknya. Yang ditatap seolah tak peduli dan fokus pada makanannya. Toh, yang bayar juga Hyunjin. Lebih baik Jeongin makan kenyang-kenyang daripada mengurus tatapan tak jelas Hyunjin yang kalau ia menatap balik, jantungnya akan berdebar tak jelas.

“Pelan-pelan astaga, Jeong.” Hyunjin memberikan tisu kepada laki-laki di hadapannya, ia melihat jelas bekas kecap asin di sudut bibir mungil itu.

Jeongin mengangguk saja, lalu membersihkan noda tersebut dan meminum teh melati dipadu dengan es di hadapannya. “Kasur gue udah kering belom ya, Jin?” Tanyanya.

Tadi malam, saat mereka kembali dari cafè kampus, hujan tiba-tiba turun. Dan satu hal yang Hyunjin ingat yaitu, jendela mereka yang terbuka. Namun kenyataannya lebih parah. Tepat di atap bagian ranjang Jeongin, bocor. Air membasahi ranjang milik laki-laki berbehel tersebut. Jadilah semalam Hyunjin mengalah untuk tidur di lantai, dan Jeongin tidur di ranjangnya.

“Seharusnya sih, udah. Hari ini panas soalnya. Udah? Ayo pulang, sekalian beresin kamar.” Ajak Hyunjin.

Setelah itu Jeongin mengangguk, ia melenggang begitu saja menuju mobil sementara Hyunjin membayar. Setan kecil, memang. Namun Hyunjin tidak marah, dia dengan senang hati membayar semua sushi tadi.

Di dalam mobil, Jeongin sibuk memutar radio sementara Hyunjin fokus pada jalanan malam yang lumayan ramai. “Jin, nanti kasurnya dempetin aja, mau, gak?” Tanyanya sembari menatap laki-laki di sebelahnya.

Yang diberi pertanyaan mengangguk saja, “Ya boleh aja. Biar space kamarnya jadi agak luas.” Balasnya sembari melirik Jeongin.

“Hehehe. Anyway, sorry. Di hari pertama gue udah sinis sama lo. Makasih, loh, lo masih mau temenan sama gue.” Ucap Jeongin sembari menyenderkan tubuhnya.

“Santai. Udah biasa kok, gue.”

Dan entah mengapa, hati Jeongin terasa sedikit kacau mendengar kalimat tersebut. Terbesit sebuah rasa bersalah di dalamnya. Jauh di dalam dirinya, Jeongin menghargai orang-orang dengan orientasi seksual yang berbeda. Namun, keluarganya mendidiknya untuk menjadi ‘keras’ terhadap hal yang bagi mereka tidak seharusnya ada di dunia. Walaupun hal tersebut bukanlah penyakit menular.

Menjadi bagian dari pelangi memang salah, keluarga Jeongin mendukung dengan kuat pernyataan tersebut. Hanya saja mereka salah, berteman dengan salah satu dari warna pelangi, bukanlah hal yang berdosa.

ㅡㅡ

Anyway, if you don't mind with crack ship,
kindly check my new work, juseyo~

SEE SAW.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang