Hujan

913 7 0
                                    



"The rain wasn't rain. It was bullets."

— Justin Trudeau

Sirine berdering, seperti berteriak tepat di lubang telinga. Puluhan pesawat tempur berterbangan di bawah langit biru, mengotori putihnya awan seolah hujan akan turun. Kota kini dihiasi ledakan. Bom. Bangunan yang awalnya angkuh, tinggi meraih langit, kini runtuh tak berdaya. Debu mengepul. Jalanan dipenuhi reruntuhan dan manusia yang ketakutan. Jeritan dan tangisan tak lagi bisa dibedakan. Ekspresi-ekspresi ketakutan membeku di wajah-wajah mayat. Beruntung mereka yang mukanya tertimbun beton. Ketakutan tersembunyi dengan baik. Matilah dengan gagah berani, walau itu cuma dugaan.

Kemalangan itu, kehancuran itu, kiamat-kiamat kecil bagi setiap individu, terperangkap dalam kotak kecil beraliran listrik. Sihir teknologi yang menghipnotis manusia. "Untung itu hanya terjadi di film," ujar Toni, tepat setelah film itu selesai. Bersama teman-temannya yang lain, mereka berdiri dan pamit pulang, meninggalkan Hasan yang masih bersila dalam diam.

"Kalau sudah, matikan televisinya," ujar ibunya. Suaranya nyaring, terdengar jelas ke ruang tamu walau tubuhnya berada di dapur. Hasan menurut. Dia mematikan kotak ajaib itu dan kembali termenung. Ketika ibunya datang, membawa semangkuk sup untuk anaknya, Hasan langsung menangis. Air matanya begitu deras terjatuh, hingga tetesan-tetesannya dengan cepat membasahi celananya.

"Bu, Ayah kapan pulang?" tanyanya. "Hasan rindu ayah."

Sup itu kini ditaruh di atas meja. Ibu tak lagi bernafsu untuk menawarkannya pada Hasan. Anaknya itu kini menyerah dalam pelukannya, membiarkan air matanya mengalir semakin liar.

"Doakan saja pada Tuhan, semoga dia cepat-cepat ada di sini bersama kita lagi. Tuhan tahu yang terbaik untuk umatnya."

Hasan menengadah. Tangisnya terhenti. "Semoga Ayah tidak ketakuan di sana."

Sang ibu tersenyum. Satu anggukan, dia mengamini perkataan anaknya. Anggukan kedua, tangisnya terpancing. "Ayahmu tak pernah takut, nak. Dia tak boleh takut."

"Ayahmu sedang berjuang, nak," tambah Ibu. "Di negara yang sangat asing. Saking asingnya, ada musim perang di sana. Dan kala mendung, hujan akan turun. Bukan air, tapi peluru. Tapi ayahmu pasti akan baik-baik saja. Ibu yakin. Karena ibu tahu, ayahmu membawa payung anti peluru bersamanya. Payung yang terbuat dari sebauh janji. Janjinya padamu. Pada kita. Bahwa dia akan pulang dan memeluk kita seperti dulu. Jadi, kamu tak perlu khawatir."

Pipi Hasan kembali dibanjiri air mata. Tapi kini ada senyuman yang mengambang. Terlihat di sana sebuah kebanggaan. Sebauh keyakinan yang menjadi harapan. Sebuah rindu dalam balutan cinta.

Dalam Lipatan Origami: Kumpulan Cerita Singkat oleh Kell AllanWhere stories live. Discover now