Telur-Telur Pengkhianat

54 1 0
                                    

Selembar dua puluh ribu di tangan dan kepalaku pusing. Aku bingung, hendak ditukar apa demi perut yang kosong ini. Akankah aku berjalan ke luar, menuju ke jalan raya yang ramai dan berisik dan berbelok kanan di mana di sepanjang trotoar ada warteg yang punya banyak pilihan menu tapi rasanya hambar, ataukah belok ke kiri yang terdapat banyak makanan yang lebih beragam, mulai dari masakan sunda, gudeg, pecel ayam hingga masakan padang, tapi harus melewati kerumunan manusia yang memenuhi pangkalan ojek?

Masih terlalu dini. Pukul sembilan, dan aku sudah empat jam terjaga. Ini adalah hari kedua di mana aku terbangun mendahului matahari dan menghabiskan pagi dengan maraton halaman per halaman cerita dari berbagai novel yang sedang aku pinjam. Kubuka lebar-lebar pintu hingga aku bisa duduk bersila di tengah-tengahnya, menghalangi jalan bagi siapa saja yang ingin masuk demi menikmati udara pagi yang menyegarkan. Nyanyian burung-burung mungil berwarna cerah, yang berterbangan bebas dari genteng ke genteng, membuat dunia yang terselip di antara kertas-kertas, dirancang dalam bentuk tulisan, menjadi semakin mudah terdalami. Aku tengah menikmati perjalanan hidup Margio, tokoh yang diciptakan oleh Eka Kurniawan dalam semesta Lelaki Harimau, berimajinasi sebagai bayangan yang tak pernah lepas darinya namun tak juga bisa bersuara. Ketika ayahnya meninggal dan ia pulang dengan wajah ceria sebab berita tersebut, ketika cerita kedua orang tuanya mengalir deras untuk menjelaskan kepribadiannya, saat itulah perutku memberontak untuk berhenti.

Perutku kini terasa seperti pejabat negara dan aku adalah rakyat jelata yang baru saja mencapai umur untuk membuat KTP. Ketika aku mengajukan permohonan yang lengkap dengan syaratnya, aku harus menyuap agar pekerjaan itu bisa selesai. Begitulah, atau aku takkan bisa membaca dengan tenang.

Aku punya hubungan benci-cinta dengan makanan dan rasa lapar. Aku menkmati lapar karena itu membuatku merasa sangat ketat, seolah baru saja selesai olahraga seharian selama seminggu penuh. Namun di saat yang bersamaan, ada dorongan aneh yang membuat aku harus melebarkannya, seolah tak semestinya seketat itu. Dan ketika berhubungan dengan makanan, nasibnya pun sama. Aku tergolong manusia tradisional yang takut mencoba makanan baru hanya tak ingin menyesal ketika rasanya tak sesuai harapan setelah dibeli. Maka, ketika menikmati makanan yang disukai, terkadang rasanya tak pernah cukup hingga perut yang tadinya ketat menjadi bengkak, membuat gerakan jadi benar-benar terbatasi.

Demi perut dan nafsu makan, aku mengalah juga akhirnya. Kuraih jaket yang tergantung di dinding dan kukenakan seadanya, berikut celana pendek selutut sebab tak mungkin aku ke luar berhadapan dengan masyarakat mengenakan celana yang tertutup kaus oblong saja membuat aku seolah tak bercelana sama sekali. Ketika aku melangkah, didorong oleh perut yang terus berbunyi, langkahku terhenti oleh dentuman seru Declan Mckenna, penyanyi muda yang sangat aku idolakan akhir-akhir ini. Lewat spotify, aku menikmati karyanya dan musisi lainnya dengan memainkannya secara acak. Tak tega rasanya harus pergi meninggalkan musiknya demi perut yang manja. "Why do you feel so down?" tanyanya dengan nada yang membikin candu. Perutku, jawabku.

Lagi, kini aku bingung oleh apa yang harus aku beli. Aku tak mungkin menuju ke jalan raya yang jaraknya cuma bebrapa langkah dan belok ke kanan karena tak ada yang tersedia di menu warteg itu yang membuatku bernafsu. Aku juga tak mungkin berbelok ke kiri karena aku tak ingin bertemu dengan seorang tukang parkir yang terlalu ramah dan selalu tersenyum menyapaku, yang membuat aku bingung setiap kali lewat kalau ia tak menyadari kehadiranku, karena tak mungkin aku memanggilnya demi sekedar senyuman ramah tamah, yang biasanya berakhir dengan aku yang terus berjalan seolah manusia paling sombong.

Akhirnya aku tak ke jalan raya sama sekali. Dari gerbang aku berbelok ke kiri, masuk semakin jauh ke dalam gang sepi yang buntu, dan berhenti di depan sebuah warung yang juga tak kalah sepinya. Dan begitulah bagaimana aku berakhir dengan mie instan dan beberapa butir telur ayam.

Ah, telur ayam. Makanan lezat serba guna yang sayangnya penghianat. Kalau aku punya masalah dengan makanan, maka masalahku dengan para telur jauh lebih besar lagi. Bagiku, telur itu sangat nikmat dan bisa digunakan untuk banyak jenis makanan. Dan kalau lapar datang, ia tak perlu repot-repot untu dinikmati. Sayangnya, setiap kali aku menikmatinya, selalu saja ada jerawat yang kembali muncul, entah itu di wajah atau di punggung. Itu membuat aku benar-benar kesal.

Aku dan telur, tak pernah akur. Rasa cintaku pada mereka sebesar rasa benciku. Tapi aku sebagai manusia, yang terkadang dibudak nafsu makan, merasa perlu ke dermatologist hanya demi makhluk-makhluk penghianat ini, mengaharapkan roaccutane demi hubungan kami. Semoga saja, kelak, rasa takut akan efek samping yang katanya cukup besar itu hilang hingga telur-telur ini tak lagi berhianat padaku.

Semoga.

Dalam Lipatan Origami: Kumpulan Cerita Singkat oleh Kell AllanWhere stories live. Discover now