Bokep Syariah

249 2 0
                                    


Raja tak jadi mati karena Dewi. Perang juga terhenti karena Dewi. Terdengar ajaib padahal Dewi bukanlah ksatria dengan pedang yang tak pernah berkarat atau penyihir yang tahu semua mantra. Ia hanyalah gadis yang bernama Dewi, bukan Dewi yang selayaknya disembah. Gadis biasa yang melangkah sambil terisak, meninggalkan jejak-jejak air mata di sepanjang jalan yang tak bisa dilacak. Pikirannya yang campur aduk naik ke permukaan menjadi nyata dalam bentuk ekspresi wajahnya.

Kedatangan Dewi berhasil menarik perhatian Dodi. Langkahnya yang lembut tak terdeteksi telinga. Tapi ketika ia membuka sandal jepitnya untuk naik ke lantai keramik, suara roknya yang menjadi kaku karena langkahnya yang lebar membuat Dodi refleks mengangkat tangannya. Suara itu mengingatkannya pada upacara bendera ketika Sang Merah Putih dikembangkan lebar-lebar sebelum dinaikkan ke tiang untuk dikibarkan. Sensasi itu memaksanya untuk memberi hormat. Jiwanya sedang terbakar semangat perang. Pion-pion yang siap bertarung langsung gugur, berserakan di atas papan kecil hitam-putih tersapu tangannya.

Pertarungan telah kacau hingga tak ada pemenang kali ini. Reza, musuhnya yang hampir bersujud syukur karena untung baik, langsung cemberut ketika itu terjadi. Kesempatan satu-satunya untuk mengalahkan Dodi si Raja Catur kali ini gagal. Padahal ia sudah menunggu kesempatan itu sangat lama. Ia ingin mengutuk, tapi tak ada yang keluar dari mulutnya. Ia menyadari kehadiran Dewi yang tengah menangis. Tak sopan mengumpat di depan orang yang sedang bersedih.

"Ada apa, Dewi?" tanya Dodi. Suaranya cukup dalam, seperti guntur yang tertelan tanah. Namun kalimat itu diucapkannya dengan sangat lembut, seolah guntur yang takut membangunkan manusia bumi yang tengah terlelap.

Dewi melangkah mendekat sambil menunduk. Ia terlalu malu untuk menjawab langsung dalam jarak yang cukup jauh. Setelah jaraknya hanya beberapa langkah, ia pun menjawab: "Aku mimpi dipatuk sanca."

Tawa hampir saja meletup dari mulut Reza. Beruntung kedua tangannya cepat terangkat hingga letusan tak sopan itu tak pernah terjadi. Sementara itu, Dodi segera bangkit untuk menjemput Dewi supaya duduk di antara mereka. Petarungan antara dua kerajaan di dunia catur itu kini telah terlupakan. Tak penting dibandingkan dengan tangisan Dewi.

Dewi duduk dengan tenang di kursi rotan kosong di antara dua laki-laki itu. Ia menatap Reza dengan segan, lalu mengalihkan tatapannya ke arah Dodi dengan manja. "Aku takut," rengeknya.

"Kenapa takut? Sanca kan tak ada bisanya," ujar Dodi.

Ternyata itu ucapan yang salah. Dewi kembali berdiri dengan cepat sambil merengek. Ia meninggalkan mereka dan masuk ke dalam rumah melewati pintu yang selalu terbuka. Di ruang tamu, tengah duduk Melati bersama Dimas yang sedang menonton tayangan televisi.

Dewi duduk di samping mereka, terabaikan walaupun isakannya cukup kuat. Di celah pintu, terlihat Dodi dan Reza tengah bingung menatap adegan yang terjadi di ruang tamu. Dodi segera berdiri dan bergabung dengan yang lainnya. Baru saja ia hendak membuka mulut, Dimas sudah mencegahnya dengan satu jari di mulutnya sendiri.

Menit yang singkat itu terasa kikuk ketika dihabiskan dengan diam yang terpaksa. Tak ada apa-apa yang terjadi di layar kaca itu selain berita yang tak penting. Tak layak ditonton, pikir Dodi. Saat tayangan iklan datang, barulah Dimas dan Melati menatap Dewi dan serempak berujar, "Kamu tak usah khawatir. Bukan cuma karena sanca tak berbsia, tetapi itu juga cuma mimpi."

Dewi tercengang. Begitu pun dengan Dodi yang duduk di ujung sofa. Di teras, Reza menggaruk kepalanya yang tak gatal, tak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Tapi," Dewi membuka suara. Namun Melati memotongnya.

"Mimpi ular berarti kamu akan menikah. Tak ada yang buruk dari itu."

Dalam Lipatan Origami: Kumpulan Cerita Singkat oleh Kell AllanWhere stories live. Discover now