Kidung Bulan

60 0 0
                                    

Katanya ketika purnama, Bulan sebenarnya sedang bernyanyi. Tapi kidung yang disenandungkan bukanlah sanjungan untuk malam yang damai, melainkan sebuah cerita tentang apa yang sedang ia saksikan. Karena di setiap jalan yang panjang, yang di bawah cahaya bulan menjelma menjadi setapak berkilauan, akan selalu ada manusia yang melangkah membelah malam. Dan setiap manusia itu selalu berteman, walaupun tak pernah mereka sadari. Tak hanya bayangan, yang merupakan sisi siluet mereka yang tak pernah bersuara, tetapi juga arwah-arwah yang tak berhenti mengekor. Selalu ada hantu di setiap ujung tumit manusia.

Angin menerpa lembut, seperti kekasih yang rindu setelah bertahun-tahun ditinggal pergi, mendekap dengan pelukan erat, mengelus kulit dengan aura dinginnya hingga bulu roma ikut berdiri menari. Siulan burung hantu bersahut-sahutan. Kenapa mereka disebut burung hantu? Kiranya tak hanya karena kemampuan mereka memutar kepala atau penguasaan mereka atas malam, tetapi ternyata mereka memang benar berteman dekat dengan para hantu. Setidaknya, begitulah yang tersirat dalam nyanyian rembulan. Jawaban pasti kenapa banyak yang mengira mereka sangat bijaksana, karena selalu ada hantu yang memberikan mereka berita yang sulit dijangkau manusia. Karena hantu adalah makhluk tua, dan para leluhur telah bersaksi lebih banyak daripada yang muda.

Di musim durian, ketika aroma buahnya menebar ke setiap hidung hingga nafsu makan menjadi semakin bertambah, puluhan manusia langsung berlarian untuk mengisi pondok di ladang mereka, menjaga setiap buahnya agar bisa runtuh tepat di depan mata, tak sudi ada yang mencuri walau hanya setangkai, bahkan tak boleh seekor tupai. Mereka rela terbaring tak berkasur atau berselimutkan sarung, tidur ayam, berharap mendengarkan suara benda jatuh, dan selalu siaga lari ketika itu terjadi. Buah durian adalah emas bagi mereka, karena tak banyak yang menanam pohonnya, tetapi banyak yang berkeinginan untuk mencicipi.

Suadi juga mengerti hal itu. Ia tahu sedikit tentang cara mengambil keuntungan dari keadaan. Alasan yang sama membuatnya meninggalkan rumahnya di kampung beserta dua anak gadis dan sang mertua. Karena ia berharap buah durian mampu menolong hidupnya, walaupun untuk beberapa minggu ia terpaksa menjauh dari keramaian dan bertemankan pepohonan serta suara jangkrik yang sangat berisik. Untung ada Murni si istri yang setia beserta Kino sang putra yang mengikutinya mengisi pondok, hingga hari-harinya di hutan tak begitu sepi, walaupun hanya dia yang berjaga lama di malam harinya.

Satu hal lagi yang membuat Suadi senang bukan main adalah kejutan yang akan dia beri kepada Kino di pagi harinya. Tumpukan durian yang runtuh semalaman adalah badut bagi anaknya yang masih belum mengenal logika. Ia akan tertawa riang dengan ekspresi penuh nafsu, dan meminta satu buah yang paling besar untuk ia cicipi. Sebuah durian ternyata lebih dari cukup untuk mereka bertiga, sebagai lauk nasi untuk sarapan mereka yang seadanya atau sebagai camilan di siang yang tenang.

Ketika siang tiba, Suadi meninggalkan ladang dalam jagaan istrinya yang sibuk menanam bawang atau mencari buah jengkol yang runtuh karena sudah tua. Ia akan berangkat membawa sepasang jeriken menuju sungai terdekat untuk bekal minum malamnya. Ada sungai yang mengalir jernih tak jauh dari ladangnya, tempat yang disenangi Kino, tetapi keterjalan jalan menuju ke sana membuat ia enggan untuk membawa putranya. Setelah dua benda itu penuh oleh air, ia kembali ke pondoknya dan menyalinnya ke sebuah ember besar yang ditempatkan di bawah pondok, dan kembali lagi untuk dua kali jalan hingga embernya penuh.

Baru saja jeriken itu ia kosongkan dan bersiap untuk kembali, ia terhenti oleh tangisan putranya. Segera ia bergegas ke sumber suara, melemparkan jeriken karena itu tak lagi penting, demi anaknya yang terdengar histeris. Ia berpapasan dengan istrinya yang juga ikut berlari ke sumber suara, yang ternyata sibuk mencari rebung untuk dibawa pulang dan untuk beberapa waktu lupa memperhatikan anaknya. Mereka menemukan Kino tengah terbaring beberapa langkah dari sebuah durian muda kecil yang setengahnya telah bolong bekas kikisan tupai. Ada goresan luka di lengan kanan Kino, yang membuat ia kesakitan. Sepasang suami istri itu pun langsung menolong anak mereka, membawanya ke bawah pondok untuk dibersihkan dan dibalut dengan kain. Suadi bersyukur mengingat ukuran durian yang masih segenggaman tangannya dan jatuh tak menimpa kepala anaknya.

Dalam Lipatan Origami: Kumpulan Cerita Singkat oleh Kell AllanWhere stories live. Discover now