Rumah

94 1 0
                                    

Dengan pisau berkarat, kupotong hatiku, kubagikan menjadi dua bagian, satu untuk kusimpan dan satu untuk dirinya, sebagai tanda bahwa aku serius atas keinginanku ditahan dalam penjaranya. Perih rasanya mengundang air mata, menetes hingga menyatu dengan aliran darah. Dia, dengan senyuman enggan, menerima potongan hatiku, segan dengan darah yang tak berhenti mengalir, dan geli dari detak yang tak berhenti berdetik lebih cepat dari pada jam, sesuatu yang ajaib. Kuelus pipinya, lembut dan basah oleh darah yang muncrat ke telapak tanganku ketika pemotongan, memberi jejak empat garis seolah aku adalah harimau yang baru saja mencakar pipinya karena lapar, padahal aku hanya kucing yang sedang berahi.

"Tak ada yang aneh," ujarku, menenangkannya dengan bisikan ke keningnya. Aku tak butuh berbisik pada telinganya sebab aku yakin ia mendengarkanku dengan hatinya yang utuh, yang lebih peka daripada gendang di telinganya. "Selama ia ada di tanganmu, ia akan terus berdetak. Bahkan ketika aku mati. Sebab ia, cinta ini, hidup selama kau tetap hidup. Untuk itu, kau jangan mati, tidak sebelum diriku, sebab begitulah cintaku bisa tetap hidup, yang memberi warna pada hidupku. Bersamamu."

Senyumannya mulai terasa wajar, tulus dan penuh cinta. Ia mulai mengerti, menunduk untuk mencium keningku dan memeluk tubuhku sejenak sebelum permisi. Ia pergi, dengan titik-titik darah yang meninggalkan jejak, yang kubiarkan mengering hingga tersapu waktu, tanpa sedikit pun merasa perlu berbalik. Aku bangga padanya. Sebab ia tahu aku akan baik-baik saja. Tentu. Karena dialah penjaga hatiku. Dan bersamanya, hatiku, diriku, jiwaku, selalu tenang dan merasa di rumah.

Dalam Lipatan Origami: Kumpulan Cerita Singkat oleh Kell AllanWhere stories live. Discover now