Layang-Layang Putus

110 1 0
                                    

Layang-layang putus, kalah atas aduan sang pemilik di ujung benang. Ia yang mulanya gagah, menantang langit dari balik awan; tegar dengan kerangka buluhnya yang sempurna, menantang setiap embusan angin yang menerpanya; kini hanya bisa pasrah, seperti bangkai ikan yang hanyut dalam aliran sungai. Gengsinya telah meninggalkannya, tersangkut di benang lawan yang masih menari menyambut senja.

Seekor burung gereja bertengger di ujung genteng sebuah rumah kosong. Genap sewindu tak dikunjungi manusia. Dadanya busung, menantang mentari seolah ialah sang empunya dunia; kepalanya liar mengawasi hari. Setiap kali ia mendengarkan letupan senjata api, keluar seumpat kutukan dari patuknya. Lalu ia menunduk khusyuk untuk mencuitkan sebuah doa. Kutukan dan doa; nyanyian hari-harinya. Gugur satu yang tak berdosa di sana. Semoga doaku menjadi jalan menuju ke surganya. Begitulah ia bersenandung.

Auman kenderaan terdengar liar, mengisi setiap sudut jalan sambil berlomba dan saling mendahului. Mulut mereka ada di buntut; suara mereka seperti kentut. Di jalan yang tak berujung, mereka melaju menghindari kejaran maut. Kalau beruntung, maka berlangsunglah hari mereka; kalau tidak, maka tersapalah mereka oleh sang maut. Tapi kenderaan-kenderaan itu tak peduli. Mereka hanya makhluk mati yang dikendalikan oleh makhluk rakus. Uang, uang, dan uang. Itulah yang mereka kira ada di ujung sana. Biarlah hari berlalu, kata mereka, yang penting sakuku tak kelaparan.

Kaki-kaki itu berlari. Mereka tak peduli dengan persaingan ketat di atas aspal atau senjata-senjata yang merenggut nyawa. Mereka tak peduli dengan Si Burung gereja Si Penguasa Dunia yang hidup di realitasnya sendiri. Bahasa tubuh mereka memberkati setiap makhluk, merelakan sedikit ruang untuk keberadaan mereka. Lari mereka penuh semangat, menghasilkan keringat yang tumbuh subur penuh dukungan. Ketika kepala mereka ditengadahkan, maka tersenyumlah mereka. Tangan mereka terkembang, siap menyambut layang-layang putus. Di antara lengan itu, ada sesuatu yang lebih daripada gengsi yang mereka tawarkan. Anak-anak itu, dengan tawa mereka yang memberi warna pada dunia, memberikan harapan bagi setiap layang-layang untuk menikmati langit lagi.

Dalam Lipatan Origami: Kumpulan Cerita Singkat oleh Kell AllanWhere stories live. Discover now