Galaksi Tetangga

53 0 0
                                    

Ketika sains dan sihir menyatu, maka dunia mulai perlahan-lahan menjelma menjadi surga, atau neraka—tergantung bagaimana watak orang-orangnya. Tapi bagi Toni, itu tak penting. Surga, neraka, siapa peduli? Ia hanyalah seorang remaja dengan pikiran sederhana. Ia memandang ke depan beberapa langkah, mengingat hari-harinya yang berlalu tanpa berlebihan, dan tak lupa untuk menikmati kesekarangannya. Maka, ketika waktu memberinya kesempatan, ia pun dengan cepat menengadahkan tangannya seraya kepalanya tertunduk berterima kasih.

Sebulan telah berlalu sejak ia menerima sebuah lampu tua dari pamannya yang berkunjung ke Mekkah untuk memetik gelar haji. Ukurannya yang cukup kecil tapi dengan ukiran yang rumit membuatnya terpukau. Ia berterima kasih dengan senyuman terlebarnya, membuat pamannya ingin memberinya hal yang sama untuk kedua kalinya. Tapi ia merasa cukup. "Tak perlulah Paman kembali ke Arab sana hanya karena khawatir lampu ini tak berteman. Ini benda mati, semati kakek yang sudah melebur menjadi bumi, bukan anak kucing, jadi sendiri tak masalah baginya."

Lampu itu ia taruh di atas meja belajar yang tak pernah ia gunakan selain sebagai pajangan benda-benda yang ia sukai. Ia meletakkannya tepat di antara miniatur Menara Eiffel yang setinggi sepuluh centimeter, dan gelas kecil untuk rumah ikan cupang biru langitnya yang sudah lima bulan ia pelihara. Dengan sangat teliti, ia menggosokkan permukaan lampu itu setiap ia melihat ada debu yang mencoba untuk mengotorinya. Setiap kali jarinya meraba permukaan logam itu, ia mengkhayalkan sesosok jin keluar dari sana dan menuruti semua perintahnya. Tapi itu tak pernah terjadi, tidak semua yang ia bayangkan.

Malam itu bulan bersinar terang, purnama pertama di musim kemarau, membuat pantulan cahaya dari jendelanya jatuh tepat ke permukaan lampu. Ia terhenyak menyaksikan lampu itu menjelma menjadi makhluk yang bernyawa. Tanpa ia benar-benar sadari, ia bangun dari tempat tidurnya dan menggosok tiga kali dengan sangat khusyuk. Begitulah bagaimana ia akhirnya bertemu dengan sesosok jin yang ternyata besarnya tak lebih dari setelapak tangannya.

"Katakan tiga permintaanmu untuk aku kabulkan," ujar jin mungil itu. Suaranya yang cempreng membuat keterpukauan Toni berganti menjadi kikikan geli. Ini memang bukan lelucon, pikirnya, tapi tetap saja lucu.

Jin itu menatapnya dengan tajam, seolah mampu membaca pikirannya. Itu membuat Toni benar-benar terdiam. Ia adalah jin, siapa tahu dia memang bisa membaca pikiranku, pikrinya. Tapi Jin tak pernah bersuara, baik untuk membuktikan bahwa itu benar atau tidak. Alih-alih, ia melipat kedua tangannya yang berwarna biru langit lekat ke dadanya, yang sejenak membaut Toni berpikir ia adalah jelmaan dari ikan cupang yang ada di sampingnya. Ia menunggu, seolah ada batas waktu atas permintaannya.

"Beri aku waktu dua puluh empat jam, supaya aku tak menyesali permintaanku," ujar Toni.

Malam esoknya Toni masih tak berhenti memikirkan itu. Ia duduk di balkon dengan kaos yang panjang sepaha hingga membuat ia hampir terlihat tak bercelana. Pantatnya menekan sofa sementara kakinya terlentang seperti jembatan menuju ke pagar balkon. Di jempol kaki kirinya, duduk bersila Jin Mungil yang menunggunya dengan sabar. Toni masih menatap langit.

"Pertama, berikan aku sebuah teleskop ajaib hingga aku mampu melihat planet yang miliaran tahun cahaya hingga terlihat seperti tiga meter jauhnya."

Sebuah binokular segenggaman-tangannya pun muncul tepat di atas meja, berwarna hitam sepekat malam dengan lensa yang berkilauan seolah ada ratusan bintang terkurung di dalamnya. Toni menatap benda itu dengan ragu lalu melirik jin. Ia ingin mempertanyakan keampuhan benda tersebut tapi segan, hingga ia pun mulai tersenyum penuh terima kasih seperti biasanya dan mencobanya.

Betapa kagetnya Toni ketika ia menatap bulan, yang ia lihat terasa begitu dekat dan nyata seolah ia memang berada di sana. Lalu ia mulai beranjak ke meteor, ke planet yang tak ia ketahui pastinya, entah itu mars atau venus, dan menemukan berbagai jenis galaksi yang bahkan namanya saja tak ia ketahui. Ia melepaskan binokular itu sejenak hanya untuk memamerkan matanya yang berkilauan kepada Jin Mungil dan kembali menikmati pandangannya.

Tangan Toni mulai iseng, meraba-raba binokularnya hingga ia bisa mengubah jarak pandangnya. Satu sentuhan jarinya saja, yang tak ia ketahui apa yang baru saja ia sentuh, membuat pemandangannya langsung berbeda. Ia menemukan sebuah planet yang mirip bumi di galaksi yang begitu jauh. Ia lalu menurunkan binokularnya lagi dan dengan cepat berujar, "permintaan keduaku adalah, kamu harus menjawab setiap pertanyaanku tentang semua ini dengan benar, kapan pun, di mana pun."

Jin Mungil mengangguk pasrah.

"Sekarang, katakan, seberapa jauh planet yang sedang aku lihat ini dan apa namanya, serta adakah makhluk seperti manusia di sana?"

"Tiga juta tahun cahaya," jawab Jin Mungil dengan suara cemprengnya. "Planet itu dinamakan Grosu oleh penduduknya, yang kebetulan adalah humonoid."

Toni masih tak percaya, menyaksikan pepohonan yang terlihat ajaib dengan warna yang tak biasa, hewan-hewan yang mengerikan dengan bentuk yang sulit dipercaya, serta lautan yang terlihat indah dengan warna kuning keemasan. Ketika ia memindahkan binokularnya ke kiri, maka tampaklah seorang remaja pria, dengan anatomi yang sangat mirip dengan manusia selain warna kulit hijau tauanya yang membuatnya terlihat sedang terkena penyakit aneh, dan rambutnya yang mekar seperti bunga asoka, berwarna putih seperti susu, tengah mengapung di tengah lautan. Ia berenang melawan ombak begitu lincahnya seolah air ada di bawah kendalinya. Ajaib, seolah merasa sedang diperhatikan, pria itu berhenti hanya untuk melirik tepat ke arah mata Toni dan tersenyum. Senyuman teramah yang pernah ia lihat. Lalu tangannya terangkat, dilambaikan tepat ke arahnya.

"Ia melihatku," ujar Toni, panik. Ia langsung menurunkan binokularnya untuk kabur dari adegan tersebut. Di depannya, Jin Mungil menggeleng. "Coba lihat lagi," ujarnya.

Toni menurut. Ketika binokular itu terangkat, ia menyaksikan pria itu sudah kembali berenang dengan tiga kawannya yang juga punya kulit yang berwarna sama. Dan ketika menyaksikan itu, Toni pun merasa sedih.

"Aku menyesal telah menemukan mereka," ujarnya. Binokular itu kini tergeletak di meja seolah tak berguna sama sekali. "Tiga juta tahun cahaya telah berlalu, dan tentunya mereka sekarang sudah kembali ke asalnya, menjadi bagian dari alam semesta. Itu terdengar sangat damai, tetapi membuat aku sedih. Karena sesaat, aku berkeinginan untuk bertemu dengannya dan menceritakan tentang Bumi ini kepadanya. Tapi itu mustahil."

"Tak ada yang mustahil," ujar Jin Mungil itu. Ia tertunduk damai, seolah memperhitungkan apa yang inigin ia katakan. "Bukankah masih ada satu permohonan tersisa?"

Mata Toni kembali menyala, seperti singa yang merasakan kehadiran mangsa. Ia yang penuh perhitungan kini mulai sedikit lepas kendali. Satu pertanyaan terlemparkan. "Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk membawa aku ke sana?"

"Aku bisa ke sana dalam hitungan menit. Tapi dengan tubuh manusia sebagai beban, aku butuh waktu lebih kurang lima tahun, dengan beberapa kali singgah di beberapa galaksi untuk memastikan tubuhmu aman.."

"Jadi, sepuluh tahun untuk waktu perjalanan," gumam Toni. "Lalu, sehari di sana, berapa lama waktu di sini?"

"Satu bulan setengah."

Toni mengangguk-angguk tak pasti. Matanya menerawang sementara pikirannya sibuk. Lalu ia berdiir tegap, membuat Jin Mungil terlonjak kaget dari kakinya, dan mengangguk.

"Jadi, untuk diantar ke sana dan kembali pulang dalam keadaan aman, apakah dihitung sebagai satu permintaan?"

Jin Mungil mengangguk cepat. Ia begitu pelit kata, seolah mulutnya terlalu rapuh buat bahasa manusia. Tapi di ujung bibirnya ada lengkungan kecil, tertular dari senyuman lebar milik Toni. Mata mereka saling tatap tajam seperti sedang bersalaman menggunakan sebuah pemahaman yang sama.

"Lalu, apa yang akan kita temukan? Pastinya planet itu sudah tak sama lagi seperti yang aku lihat tadi."

"Tentu saja tidak," ujar Jin Mungil, "tapi, siapa tahu apa yang menunggumu di sana?"

Toni menarik napas dalam. Ia mengamini ucapan Jin Mungil. Lalu, dengan kilauan kekanak-kanakan di matanya, dan semangat seorang pejuang dalam gerakan tubuhnya, ia menjelma menjadi manusia-batu yang begitu yakin dengan pendapatnya sendiri. Ia kini sudah mencicipi buah keingintahuan, membuatnya sejenak lupa akan resiko-resiko yang mesti ia tanggung.

Kedua tangannya terkepal membatu. "Kalau begitu, petualangan kita dimulai dari sekarang."

Dalam Lipatan Origami: Kumpulan Cerita Singkat oleh Kell AllanWhere stories live. Discover now