Touché

122 1 0
                                    


Tawa kami renyah, menghiasi obrolan kami yang garing. Berbagai hal yang rasanya sepele kami murtadkan menjadi luar biasa. Di mata kami, bahkan seorang pengemis bisa menjadi raja. Lalu gerimis turun. Ia tersenyum seraya menunduk ke tanah. Tanah pun butuh istirahat, ujarnya, letih dipanas-pasi melulu.

Aku menunduk, mengikuti arah penglihatannya dan menemukan sebuah tanaman liar kecil yang mulai berbunga. Rintik dari ujung genteng membuatnya bergoyang seperti tengah menari. Ada sepasang kepik yang tengah memadu kasih di sana, di salah satu daunnya. Mereka tak peduli dengan hujan. Cinta mereka terlalu besar untuk diabaikan, aku kira. Mungkin mereka takut akan kepunahan, ujar temanku lagi. Tapi itu konyol, ujarku. Bukan apa yang mereka lakukan, tetapi apa yang mereka takutkan. Manusia tak pernah memburu kepik seperti singa atau beruang. Tak ada tantangan dalam memburu atau memusnahkan mereka. Jadi mereka takkan punah. Lain cerita kalau nanti ada meteor yang hendak mendarat ke bumi. Itu pun takkan benar-benar memunahkan mereka.

Ia mengangguk-angguk setuju. Ya, ujarnya. Meteor gagal memunahkan dinosaurus. Lalu matanya teralihkan ke rumah tetangga, yang di terasnya tergantung beberapa kandang dari bambu, penjara untuk dinosaurus-dinosaurus mungil yang indah. Salah satunya adalah Kutilang, dinosaurus yang bersuara merdu.

Temanku kembali tertawa. Kerenyahannya kini telah pudar tertelan nyanyian gerimis dan angin yang mulai bertiup heboh. Terserahlah. Yang penting jangan ganggu mereka yang sedang bercinta, ujarnya. Ya. Aku setuju. Dan aku pun mengalihkan pandanganku. Tapi aku tak menemukan sesuatu yang menarik untuk dipandangi ataupun diejek.

Aku harap bulan maduku dengan isteriku kelak seindah mereka, ujar temanku lagi. Ternyata dia masih memandang sepasang mahkluk yang sedang bercinta itu. Tenang, tanpa ada pikiran. Menenangkan dengan angin yang terus bertiup membisikkan kehangatan. Lalu ia menatapku dan berbisik, "Aku sudah tak sabar bertemu dengan jodohku dan menikah."

Langsung kuamini keinginannya dan kuberkahi ia dengan doa—walaupun aku tak percaya pada doa. Ia tak peduli siapa yang berdoa. Yang penting apa doanya, ujarnya. Manusia yang baik. Aku jadi benar-benar ingin berdoa ada banyak manusia yang sepertinya. Dan lebih dari sekedar berdoa, aku ingin itu terkabulkan. Semoga saja Tuhan benar-benar ada.

"Indah, bukan?"

Aku ketinggalan trek. "Apa?"

"Berkeluarga. Menciptakan dunia baru di dalam dunia. Semua orang pasti menginginkannya."

Aku mengangkat kedua bahuku. Ingin aku bantah pendapatnya, tetapi aku membatalkannya. Dia sedang kasmaran pada imajinasinya. Biarkan saja. Orang kasmaran biasanya dibenci oleh logika. Nanti saja kalau logikanya telah kembali, aku ungkapkan apa isi pikiranku. Pikiran-pikiran hitam yang lebih kelam daripada malam. Biar tahu rasa dia.

"Kapan rencanamu?" tanyanya lagi.

Pertanyaan yang aneh sekaigus bisa ditebak. Ia mengenalku cukup dekat untuk bisa menjawab pertanyaan itu. Dan ia menanyai rencanaku karena ia ingin ditanyai tentang rencananya. Tapi aku pura-pura tak mengerti. Bukan karena aku ingin terlihat bodoh, tetapi aku tak ingin membahas tentang apa yang ia rencanakan. Itu rencananya, biarlah hanya jadi miliknya. Dan untuk itu, aku pun memberikannya jawaban yang tak pernah ia harapkan.

"Aku takkan menikah."

Matanya yang sendu, dan bibirnya yang terlengkung ramah, kini berubah seketika. Keterkejutannya sama seperti ketika ia menyadari bahwa ada manusia yang tak mempercayai keberadaan Hantu—dan Tuhan. Kenapa, tanyanya. Pertanyaan yang terkesan tergesa-gesa dari orang yang sangat santai.

"Negara tak mengizinkan."

Wajah tegangnya kini melemah. Ia kini adalah es yang terpapar sinar matahari. Dan sesaat kemudian, ia mulai terkikik.

"Touché," ujarnya.

Kami tertawa. Tawa yang renyah di bawah nyanyian gerimis. Obrolan kami sedikit garing. Tapi camilan kami lebih garing lagi.

Dalam Lipatan Origami: Kumpulan Cerita Singkat oleh Kell AllanWhere stories live. Discover now