Chiaroscuro-esque

40 0 0
                                    

Ada cinta, terhimpit benci, tersisip di antara lipatan-lipatan memori, di sisi tergelap hatinya, bukan otaknya.

"Tak ada itu, yang namanya nyawa. Yang ada hanya kesadaran," ujar Si Bajingan.

Aku memanggilnya bajingan bukan karena ia bajingan. Benar, sih, dia bajingan. Tapi dia bajingan yang baik. Ia bajingan yang telah merenggut kesadaranku, membuat siangku jadi seperti mimpi saking seringnya aku melamuni wajahnya ketika ia tak di sini.

Wajahnya seperti malam. Ada banyak bintang yang yang berkedip di antara kegelapan ekspresinya. Tapi secara keseluruhan, ia menenangkan.

Ia terus mengoceh. Aku suka asap rokok yang keluar dari mulutnya. Aku seperti tengah membaca komik, yang setiap kata-katanya menjelma menjadi asap beracun. Sayang, lamunanku ini membuat aku tak mengerti apa yang ia katakan. Tapi itu tak masalah. Aku terbiasa membaca komik berbahasa asing yang tak aku mengerti hanya untuk menikmati gambarnya saja. Tak ada yang salah dengan hal itu. Setiap orang punya caranya masing-masing menikmati seni. Setidaknya, aku mengagumi seni.

Jam-jam terasa seperti menit. Lawan debatnya telah menghilang dan ia kini duduk diam menikmati secangkir susunya. Aneh sekali. Unik, maksudku. Bukannya menikmati kopi, ia malah meminum susu. Susu coklat lagi. Apa rasanya asap rokok berpadu susu? Kalau seandainya aku harus mencari kelemahannya, maka ini bukanlah satu di antaranya. Bukan juga dengkurnya yang kata sahabatnya terdengar sangat mengganggu. Bagiku, dengkurannya seperti lagu nina bobok yang dinyanyikan oleh singa jantan. Pantaskah kata macho aku sematkan untuknya?

Ia menatapku dalam. Gelasnya telah kosong, kini ia malah berniat untuk menguras dompetnya. Ia membayar semua yang telah dihabisi olehnya, oleh teman-temannya, dan semangkuk mie goreng yang aku pesan dan hanya aku cicipi sesendok saja. Segelas air putihnya gratis. Itu pun baru aku teguk sekali.

"Kenapa nggak dimakan? Mubazir, tau," tegurnya.

Aku tak tersenyum. Aku hanya menunduk, menatap mie yang sudah mengering, lalu kembali menatapnya hanya untuk menggeleng. Aku yakin, wajahku sepolos langit biru yang tak berawan. Tanpa ia ketahui, di balik topengku, bibirku terlengkung lebar. Ia menegurku. Ia peduli.

"Aku kenyang. Melihat wajahmu adalah mengisi perutku. Mendengarkan suaramu adalah mengobati dahagaku. Duduk di sampingmu, adalah hujan yang lebat bagi jiwaku yang tak lain adalah hamparan gurun pasir."

Tentu saja aku tak menyuarakan itu. Gila saja. Itu bukan aku yang ia kenal. Aku tak lain hanyalah manusia dingin yang tak beremosi. Tentu saja aku punya. Hanya saja, aku pintar menyembunyikannya. Dan untuknya, aku menggeleng sambil mengucapkan satu kata, "Mienya nggak enak." Masa bodoh dengan perasaan Si Ibuk pedagang.

Bajingan ini adalah hantu. Ia hanya datang di malam hari dan hanya muncul untuk menakut-nakutiku. Di bawah purnama, aku yakin betul ia tak berbayang. Mungkin karena ia begitu dekat denganku. Tubuh kami beradu, hingga membuat bayangan kami menyatu. Momen seperti inilah yang membuat ia menjadi bajingan. Karena dalam ketenanganku, mimpi buruk berbisik di telingaku. Aku akan datang dengan wajahnya, gumamnya, menghancurkan mimpi indahmu mengubah kenangan menenangkan yang telah ia ciptakan susah payah menjadi kepingan kaca yang melukai telapak kakimu di setiap langkah.

Tapi itu rahasiaku. Bukan sesuatu yang harus aku bagi dengannya.

Kepalanya tertunduk. Jenggotnya yang kasar menyentuh pipiku ketika bibirnya mencium daun telingaku. Ada aroma rokok yang aku benci, tetapi tidak kalau itu miliknya, mengelus wajahku dengan lembut tanpa ia sadari. Hantu ini berhasil membuat bulu romaku berdiri.

"Aku benci kamu," bisiknya. Begitu lembut, selembut dentingan piano Rostam yang tak bisa hilang dari pikiranku. Romantis sekali Bajingan ini.

"Aku tahu," ujarku. Ada anggukan tulus dari kepalaku. Aku kehilangan kendali motorik tubuhku sendiri. Bagus. Setidaknya, ia tak dikendalikan oleh emosiku. Terima kasih, rasionalitas.

Lalu ia bergerak ke samping. Aku memperhatikan bayangan kami terpisah sejenak, hanya untuk menyatu lebih erat lagi. Itu hanya sedetik, tetapi sakitnya bertahan cukup lama bagiku. Juga, itu rahasia yang harus sku simpan sendiri. Ia mendekapku kali ini. Begitu lembut. Begitu kencang. Aku bisa merasakan nafsu-membunuhnya ketika ia menjelma menjadi piton yang menggulungkan diri di sekitar tubuhku, seonggok mangsa. Bayangan kami menjadi lebih kecil. Kami menyatu lebih dari sekedar padu. Dan sekali lagi, ia berbisik. Lebih lembut daripada sebelumnya.

"Kamu adalah hal terburuk yang pernah ada di kehidupanku."

Dan hujan pun menetes di pipiku, dari langit yang penuh derita di semesta matanya. Aku lalu berbisik membalas, "Jangan jadi diri sendiri di tempat seperti ini. Walaupun malam ini sepi, tetap saja ini adalah tempat umum. Ayo, cepat pulang. Di sana, dunia kita berbeda. Tuhan dilarang masuk. Tak ada neraka atau surga. Kamu bisa menjadi singa, keledai, atau batu. Terserah. Aku tak peduli. Tapi jangan di sini."

"Tapi aku benci kamu."

Aku mengangguk.

Aku tersenyum.

Untuk kesekian kalinya, aku membalas. "Aku tahu."

Kasur adalah medan perang. Dan masing-masing kami adalah negara yang punya idiologi berlawanan yang berusaha menang tanpa peduli bahwa sebenarnya masing-masing kami akan menerima kekalahan yang sama. Bisa jadi juga, kami adalah dua agama yang tak pernah rukun. Kami tahu, dan kami menikmatinya.

Tubuhnya berkeringat. Ia menang. Tapi, seperti yang kami tahu, ia juga kalah. Kami terbaring, menatap langit-langit yang telah dijajah oleh kompeni laba-laba. Siapa peduli. Aku tak peduli. Tapi ia peduli. Karena aku bisa merasakan bagaimana ia berdecit kesal ketika menyadarinya.

"Aku benci kamu," ujarnya. Ini bukan untukku, tetapi untuk jaring laba-laba itu. Aku tahu karena aku tak merasakan kesedihan ketika ia mengucapkan kalimat itu. Kecuali teman-teman dekatnya, ia benci apa saja. Bahkan ibu dan ayahnya.

Aku berbalik dan memeluknya. "Sekarang, jadilah anak anjing yang manja. Aku nggak akan mengolok-olokmu kalau pun kamu menangis, juga. Aku mengerti. Lagi pula, menangis itu bagus. Bukanya kamu yang bilang bahwa sebenarnya jiwa itu nggak ada? Nah, sama kasusnya dengan kesedihan. Itu cuma pikiran buruk. Dan satu-satunya cara mengusirnya dengan tangisan."

Ia mengangguk perlahan.

"Tangisan hanyalah emosi-emosi buruk yang berbentuk cairan. Fungsinya tak lain untuk memberi rasa nyaman kalau dibuang jauh-jauh." Dan, tanpa isakan, ia pun menangis.

Ia berbalik dan menatapku. Matanya adalah belati runcing yang setiap harinya menusuk hatiku. Mana bisa aku meninggalkan orang seperti ini. Karena di depannya, aku mati berkali-kali, namun dengan begitulah aku bisa hidup berkali-kali. Ia adalah Hantu Bajingan yang selalu datang menghantuiku setiap malam.

"Seandainya kita terlahir di semesta berbeda, aku pasti takkan benci kamu sebenci ini."

Aku lagi-lagi tersenyum.

"Itulah uniknya semesta ini."

Ia selalu bisa membuatku tersenyum. Ketika aku sadar bahwa hanya ada aku dan dia di satu ruangan, tak ada siapa-siapa bahkan hantu, senyumanku bisa terpancar menembus topengku. Untuknya, aku tak pernah mengenakkan topeng. Tidak ketika ia mengucapkan hal-hal seperti ini.

"Bagus. Berfantasilah. Itu baik buat hidupmu yang penuh jebakan ini."

Sedetik kemudian, ia kembali menjadi mesin perang. Ia menjadi manusia serakah yang liar. Tak ada becek sisa hujan di medan perangnya. Ia tak hanya ingin memiliki, menjajah tubuhku, tetapi ia juga berniat untuk merenggut udara yang sedang aku hirup. Apakah aku pernah bilang bahwa ia adalah seorang penjajah di tempat tidur?

Ada nafsu, terhimpit cinta, tersisip di antara lipatan-lipatan benci, di sisi tercerah otaknya, bukan hatinya.

Dalam Lipatan Origami: Kumpulan Cerita Singkat oleh Kell AllanWhere stories live. Discover now