Daun Pengusir Harimau

200 2 0
                                    


Ia tengah hamil tua dengan sorang bayi tergantung di dadanya dan tiga kresek hitam tergenggam di tangan kirinya. Di atas aspal yang mulai berasap karena terik mentari, kaki-kaki yang tak beralas itu terus melangkah seolah sedang melewati hamparan karpet. Ada keceriaan yang lugu di matanya, menandakan usianya yang masih tergolong muda untuk dipanggil sebagai nyonya, walaupun mereka yang tua juga tak pernah berharap dipanggil nyonya karena budaya. Kiri-kanan liar kepalanya bergerak seperti capung, mencari sosok manusia yang bisa diajak berinteraksi. Barulah ketika ia melihat keberadaanku, berdiri di kursi kayu di samping motor yang masih terparkir dengan keadaan mesin menyala, berteduh di bawah pohon kemiri yang rindang, ia tersenyum penuh harap. Dan aku pun didekatinya.

"Diminum sebelum tidur, maka takkan ada lagi mimpi buruk yang menganggu," ujarnya, menawarkan sebuah akar kering yang tak pasti berasal dari tumbuhan apa. Bentuknya mirip singkong tetapi lebih keras dan berbau cukup tajam hingga aku terpaksa bernapas dengan mulut.

Aku menggeleng sambil tersenyum, tak tertarik karena memang beberapa tahun belakang ini aku tak pernah lagi bermimpi, entah itu yang baik atau yang buruk. "Aku belum membutuhkannya," ujarku ramah.

Perempuan itu belum menyerah. Tangan kanannya kembali merogoh kresek yang sama dan mengeluarkan seikat daun yang juga sudah mengering, hanya saja warnanya yang jingga terang membuatnya terlihat seperti hiasan dinding, alih-alih obat. "Dan ini supaya tak ada harimau yang mendekat," jelasnya. Apalagi itu, pikirku, mana ada harimau di tepi kota seperti ini.

Sekali lagi aku menggeleng. Penolakan yang berhasil mengubah ekspresinya menjadi murung. Jelas sekali bagaimana awan mendung mulai menutup ekspresi cerah wajahnya, seolah matahari tak lagi menyukainya.

"Bagaimana kalau obat yang bisa membuat aku mampu berjalan lama seperti kalian," ujarku, seraya menatap kaki-kaki kekar yang hitam legam oleh panas Si Raja Hari. Aku juga tak membutuhkannya, aku kira, tapi aku tak tega melihat Ibu Muda ini kecewa. Hidup pastinya terlalu berat untuknya. Tak ada salahnya aku mencoba untuk meringankan sedikit.

Tanpa aku duga, ia malah tertawa kecil, merasa permintaanku lucu. Mungkin selera humor kami berbeda, tapi aku benar-benar penasaran, apa yang lucu dari ucapanku. Sebelum aku sempat bertanya, ia sudah menggeleng. "Tak ada obat untuk menjadi kuat begini, Orang Asing," ujarnya, terdengar begitu akrab seolah namaku benar-benar Orang Asing. "Tidak ada yang bisa diperjualbelikan, maksudku. Setiap orang memilikinya. Kalau aku, cukup melihat wajah mungil ini, karena ada sihir baik di tatapannya, di setiap tawanya, di setiap hari yang ia lalui, yang membuat perjalanan terasa pendek dan bebatuan melembut seperti kapas. Dan kalau Orang Asing bersikeras membutuhkan dia—" ia melihat wajah bayi yang tangannya mengalungi lehernya kuat seperti rantai, dan tersenyum, "—aku takkan menjualnya. Karena harganya sangat mahal, lebih dari hidup Orang Asing sendiri. Lagi pula, aku butuh sihirnya untuk kembali ke hutan, supaya keluarga kami bisa berkumpul kembali."

Rasanya ada mata air di setiap ujung mataku. Aku tersenyum haru, mengangguk tanpa mampu mengucapkan rasa terima kasih yang begitu besar. Alih-alih, aku mengambil daun ajaib pengusir harimau itu. Karena baru aku sadari, ada harimau yang harus aku usir jauh, tersembunyi tak tersadari hingga ucapan Ibu Muda ini menguak keberadaannya, di sudut gelap hatiku.

"Bakar setengah daun setiap senja, maka malamnya akan aman," jelasnya. Aku mengangguk-angguk paham seolah aku benar akan melakukannya. Padahal aku punya cara tersendiri, menggantungkannya di dinding ruang tamu, hingga mampu bertahan lebih lama daripada membakarnya. Setelah penjelasan yang singkat dan gamblang itu, aku pun bertanya, "berapa?" yang maksudku adalah harganya. Tapi, Ibu Muda itu malah menjawabnya sambil menghitung jumlah daun. "Tiga belas," ujarnya dengan logat yang aneh.

Aku menggeleng sambil menjelaskan apa maksudku yang sebenarnya. Aku meraba saku belakang celanaku, mengambil dompet dan membukanya. Haruskah aku kasih potongan uang dengan nilai paling besar? karena dengan begitu aku bisa merasa pantas mendapatkan pelajaran dari ucapannya. Tapi ternyata aku salah. Lagi-lagi, harimau yang lain terkuak oleh jawaban yang aku terima.

"Kami tak butuh uang," tolaknya seraya melambaikan tangan kanannya cepat. "Tak ada gunanya di hutan. Kami cuma butuh selembar kain, untuk anggota baru keluarga kami." Tangan kanannya yang kekar kini mengelus lembut perutnya yang membuncit.

Aku benar-benar malu. Tindakanku terasa tak pantas untuk ia dapatkan. Ingin aku berikan ia apa yang diinginkannya, tapi aku tak bisa. Aku sedang jauh dari rumahku dan tak ada toko kain yang terlihat sejauh aku memandang. Akhirnya aku memberikan dua lembar uang dengan nilai terbesar dan mengatakan bahwa ia bisa mendapatkan lebih dari tiga lembar kain dengan uang itu.

"Tak usah," tolaknya lagi. Kali ini tangannya tak lagi terlambaikan, namun kepalanya yang ia gelengkan sekali. "Kalau Orang Asing tak punya kain, ambil saja daun kemujinya. Semoga malam saudara terbebas dari auman harimau. Kami masih punya banyak yang bisa dijual."

Dan ketika ia berlalu, menghilang di telan kelokan jalan, hidupku seketika terasa tak nyaman. Lalu aku menengadah ke langit, mencoba melemparkan pertanyaan yang aku tahu takkan bisa aku dapatkan jawabannya selain dari diriku sendiri. "Inikah yang namanya mukjizat?"

Dalam Lipatan Origami: Kumpulan Cerita Singkat oleh Kell AllanWhere stories live. Discover now