11. Daniel dan Jia

6.7K 487 1
                                    

Happy reading!

------------

Pagi-pagi sekali Jia sudah mengenakan pakaian serba hitam. Ia tetap berniat mengunjungi makam orangtuanya meski terlihat acak-acakan seperti tidak memedulikan penampilan. Rambut panjangnya bahkan digelung asal-asalan. Matanya terlihat sembap dan samar-samar terlihat warna hitam di bawah mata akibat tidak bisa tidur hampir sepanjang malam.

Jia tidak peduli dengan jam yang masih menunjukkan pukul 06.03. Masih terlalu pagi untuk pergi. Jia juga tidak peduli dengan keberadaan Daniel yang menatapnya intens. Sejak tadi pria itu tak bergeming dari tempatnya dan terus memperhatikan kegiatan Jia yang dianggap terburu-buru.

“Bukankah masih terlalu pagi untuk pergi?” Daniel yang masih bersandar di kepala ranjang bertanya.

“Jangan menghalangiku. Aku tidak butuh persetujuanmu untuk melakukan apa pun yang kumau.”

Bukannya marah, Daniel justru tampak lega karena Jia akhirnya bersedia bicara. “Aku tidak berniat menghalangimu. Aku hanya mengatakan kalau ini masih terlalu pagi. Lagi pula apa kau tahu di mana makam mereka?”

“Aku akan tahu setelah bertanya pada paman. Kau harusnya sadar diri, Alpha. Semua ini kesalahanmu! Aku kehilangan orangtuaku karenamu. Kau memaksakan kehendak dengan mengurungku dan tidak memperbolehkan kukembali. Kau lihat sekarang apa yang terjadi?” balas Jia, diiringi dengan tatapan sedih yang mengarah langsung kepada lawan bicara.

“Pria tua itu mungkin masih sibuk dengan urusan lain. Apakah kau tidak berpikir akan mengganggunya?” Daniel berusaha menahan diri agar tidak terpancing oleh perkataan Jia yang bisa membuatnya bersikap kasar di saat tak diinginkan.

“Aku tidak memintanya mengantarku. Aku bisa pergi sendiri setelah bertanya di mana makam ayah dan ibu.”

Daniel menghela napas pasrah. Mau seperti apa pun ia bicara, mate-nya tetap keras kepala. Ia kemudian bangkit dan berjalan menghampiri Jia yang berdiri di tengah ruangan. “Baik. Tunggu aku. Kita pergi bersama.”

Daniel lantas segera mengarah ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

“Aku tidak memintamu pergi bersamaku.”

Namun langkahnya terhenti tepat di depan pintu. Tanpa berbalik ia mendengarkan Jia yang kembali bicara.

“Kau takut aku akan mengatakan kepada orang-orang tentang siapa dirimu?”

Daniel berbalik, menatap tajam Jia yang juga menatapnya. “Memberi tahu orang-orang sama saja mengorbankan mereka. Apa kau lupa?”

Jia tidak lupa sama sekali. Hanya saja ia yakin Daniel tidak akan tahu jika ia mengatakannya secara diam-diam.

“Dan aku tidak takut. Aku lebih mengkhawatirkanmu.”

“Kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Ini bukan wilayahmu. Ini bukan kastil. Aku tidak akan tersesat jika pergi sendiri. Dan juga, tidak ada serigala buas yang akan menerkamku.”

Kedua tangan Daniel mengepal. Rahangnya mengeras. Petanda bahwa ia berada dalam tahap emosi. Apalagi ia memang sudah kesal sejak kemarin. Tetapi melihat Jia yang sebetulnya sedang lemah, ia mengurungkan niat untuk melawan balik ataupun memaki.

“Tetap tunggu aku! Jangan pergi lebih dulu seperti seorang istri yang kabur meninggalkan suaminya,” ujar Daniel penuh penekanan disertai tatapan tajam. Sebab hanya itu yang bisa ia katakan saat ini, dan ia berharap Jia mau menurut tanpa bantahan.

***

Dua hari berlalu begitu saja. Jia masih dalam suasana hati terburuknya. Pakaian yang dipakai berantakan dan wajahnya terlihat pucat. Ia masih betah dengan segala pikiran yang berkecamuk. Berdiri melamun menghadap jendela layaknya orang yang tidak punya kerjaan.

TERRITORY OF A WEREWOLF : Fate as Luna [TAMAT]Where stories live. Discover now