Quentin [3]

11.9K 1.7K 33
                                    

Quentin kesulitan berkedip saat melihat sendiri Cybil berdiri menjulang di depannya. Apalagi saat perempuan itu mulai menjabarkan tentang organisasi bentukannya. Seingatnya, Quentin tidak pernah bersikap sekonyol ini.

Setelah tahu bahwa neneknya mengenal Cybil, dia tidak ingin membuang waktu. Meski media baru saja mengabarkan berita heboh tentang perceraian perempuan itu. Tadi, dengan gaya sambil lalu karena tak mau Imelda curiga, Quentin mengajukan beberapa pertanyaan tentang We Are The Champion. Siapa sangka, sang nenek malah mengajak Quentin ikut serta menemui Cybil?

"Oma memang mau ngasih donasi. Kamu mau ikut? Siapa tau kamu nantinya juga tergerak ikutan jadi donatur. Kasihan lho Tin, kalau ngeliat orang-orang yang ditolong Cybil."

"Kapan, Oma?" tanya Quentin, gagal menyembunyikan antusiasmenya.

"Hari ini, mumpung lagi nggak ada acara tertentu," balas Imelda mengejutkan. Ya, meski sudah berhenti ikut mengurusi bisnis keluarga Chakabuana sejak Quentin tinggal dengan neneknya, Imelda masih punya banyak kegiatan. Perempuan itu bergabung dengan beberapa organisasi atau klub yang memiliki setumpuk agenda sosial.

"Tapi..." Quentin meragu.

"Apa?"

"Yang punya We Are The Champion kan baru cerai kemarin. Apa nggak masalah kalau kita ke sana?"

Neneknya geleng-geleng kepala. "Orang-orang kayak Cybil nggak punya waktu untuk sentimentil, Tin. Dia harus ngurus banyak orang yang ngalamin nasib buruk."

"Oma sok tau, deh," goda Quentin.

"Serius lho ini. Kalau nggak, Cybil pasti nggak bakalan sukses ngurus We Are The Champion."

Empat jam kemudian, mereka sudah duduk di ruangan Cybil. Quentin menahan diri agar tidak mencubit diri sendiri demi memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi atau berhalusinasi. Cybil memberi efek semengerikan itu untuknya. Padahal, ini kali pertama mereka bertatap muka.

"Kalau masih ada yang kurang jelas, bisa ditanyain, Mas," kata Cybil sopan. Perempuan itu mengangguk dengan senyum tipis di bibirnya.

"Panggil Quentin aja," balas lelaki itu buru-buru. Dia sempat melirik Imelda sekilas. Neneknya sedang membaca brosur yang diambilnya dari atas meja kayu di depan mereka. Brosur yang berisi penjelasan tentang We Are The Champion. "Untuk saat ini sih infonya udah lebih dari cukup."

"Cy, katanya kamu bangun rumah lain untuk nampung anggota baru, ya?" Imelda menyela. Kini, perempuan itu memandang Cybil dengan penuh perhatian. Quentin diam-diam merasa lega dan bersandar di sofa, karena sekarang dia punya kesempatan menjadi pemerhati.

"Nggak juga sih, Bu," ralat Cybil sambil tertawa kecil. "Masih di lokasi yang sama, di Bogor, tapi bangunannya ditambah. Karena memang yang lama udah nggak memadai. Sementara di sisi lain, jumlah anggota yang harus ditampung, makin banyak."

Selanjutnya, Quentin tidak terlalu memperhatikan isi perbincangan neneknya dengan Cybil. Dia hanya memandangi perempuan itu seperti orang bodoh, tidak tertarik melakukan hal lain. Waktu pun terasa seolah terbang. Satu setengah jam berlalu dengan kecepatan mengejutkan.

Sebelum pulang, Cybil sempat memperkenalkan Quentin dan Imelda dengan beberapa stafnya. Perempuan itu juga memberi kartu namanya. Quentin memegang benda itu seolah satu-satunya hal paling berharga di dunia ini. Dia juga buru-buru menyimpan nomor ponsel Cybil yang tertera di sana.

"Saya akan balik ke sini dalam waktu dekat," beri tahunya pada Cybil. "Urusan donasi," imbuh Quentin buru-buru.

"Anda benar-benar tertarik berdonasi?" Pupil mata Cybil yang berwarna hitam itu pun melebar. Diam-diam, Quentin menelan ludah. Perempuan di depannya ini begitu cantik sekaligus terkesan tangguh.

The Sexy Secret [Terbit 19 Januari 2022]Where stories live. Discover now