1

60 12 12
                                    

Mata nanar, menatap ke arah halte bus yang mulai ramai dipadati pengguna angkutan umum. Meski berpakaian dekil, wajah sedikit kotor terkena percikan air dari sebuah mobil yang melintasi jalanan becek tempatnya tinggal, ia tidak pantang menyerah. Ada asa pada tiap langkahnya.

"Bunganya, Om, Tante!"

Seorang bocah kecil terseok membawa keranjang berisi berbagai macam jenis bunga mawar. Tanpa alas kaki, melawan panasnya terik mentari mengitari tempat-tempat umum.

Sepotong harapan di setiap harinya, berharap keranjang yang ia bawa akan kosong sebelum bunga-bunga itu menatap ke tanah—layu.

Azalea, gadis kecil berumur 10 tahun. Namanya adalah simbol keagungan dan kelembutan, mengisyaratkan untuk merawat diri sendiri. Seperti pada kenyataan, gadis itu bagaikan hidup sebatang kara.

Orang tua Azalea telah pergi meninggalkannya. Gadis itu tidak tahu persis bagaimana dan kapan mereka tiada. Bahkan, ia tidak tahu siapa orang yang telah melahirkannya ke dunia.

Azalea terus menjajakan bunga demi sesuap nasi dan membantu seorang ibu lumpuh yang telah berbaik hati merawatnya.

Meski gelengan kepala yang Azalea dapatkan, akan tetapi dirinya tak pantang menyerah. Berpindah dari tempat satu ke tempat lain.

Azalea berhenti pada sebuah Sekolah Dasar Negeri daerah setempat. Senyum tipis terukir. Angannya melayang, masuk ke dalam gedung tersebut. Andai aku sekolah? Terselip asa dalam hati, keberuntungan berpihak padanya.

"Maaf, Dek. Kamu dilarang masuk!" ucap seorang satpam saat melihat Azalea mengintip dari celah pintu gerbang.

Azalea menatap sendu. Napasnya naik turun ketakutan. Langkah kecil terayun menjauh dari tempat itu, tapi mata dan hati terpaut pada tempat di mana banyak anak-anak sebayanya bermain dan menuntut ilmu.

"Semoga suatu saat nanti ... aku bisa seperti mereka," gumamnya. Ia tersenyum. Tangan mungil itu membelai bagian atas pagar sekolah sambil melangkah. Menyeret jemarinya perlahan mengikuti langkah kaki.

Jauh, Azalea melewati sebaris ruko yang terlihat ramai. Ia duduk di sebuah trotoar sambil mengusap peluh. Lelah, tapi dirinya tidak boleh menyerah.

Panas, gadis kecil itu meraih sobekan koran kemudian mengipaskan ke tubuh. Semilir angin yang dihasilkan tak dapat menyejukkan perihnya hidup.

"Adek jual bunga?" tanya seorang ibu-ibu cantik pemilik toko kue mengagetkan gadis kecil itu. Tempat tersebut sering ia lalui, tapi belum pernah melihat wajah sang pemilik suara ini.

Azalea mengangguk pelan sambil tersenyum dan menyodorkan keranjangnya pada si ibu.

"Wah, bunga mawarnya indah,  banyak warna lagi. Berapa harga satu tangkainya?" tanya si ibu ramah.

"Hanya lima ribu rupiah, Bu. Tapi, jika sudah menjelang siang, saya menjualnya dengan harga dua ribu rupiah."

Si ibu terkejut. Ia merasa heran, bunga yang biasa dijual dengan patokan harga Rp.15.000-Rp.75.000 itu hanya dijual murah meriah.

"Kamu serius?" tanya si ibu sambil mencium setangkai bunga mawar berwarna merah muda.

Azalea mengangguk samar. Ia enggan berbicara terlalu berlebihan. Selain tak pandai bicara, kerongkongan bocah tersebut terasa kering, sehingga membuatnya terkesan pendiam.

"Saya beli semua, ya?" ucap si ibu memastikan kebenaran harga dari Azalea.

Mata Azalea berbinar. Hatinya gembira karena hari ini ia bisa membeli makanan untuk ibu asuhnya.

"Terima kasih, Bu!" sorak Azalea sambil berlonjak dan mengabaikan rasa hausnya.

Si ibu memberikan selembar uang seratus ribu pada Azalea. Namun, ia hanya termangu, karena tidak bisa menghitung kembaliannya.

Si ibu menautkan alis, ia pun bingung pada Azalea yang wajahnya berubah murung seketika.

"Kenapa, Nak?" tanya si ibu sambil menangkup wajah Azalea.

"Uang ibu terlalu banyak, bagaimana bisa saya mengembalikan sisanya?"

Si ibu tersenyum manis, kemudian mengajak Azalea duduk di toko kuenya sambil minum teh hangat.

"Bawa ini pulang, dan simpanlah uang kembaliannya," ujar si ibu. Ia mengulurkan beberapa bungkus kue cokelat bertabur keju lezat pada Azalea.

Lagi, mata Azalea berbinar. Namun, ia menolak karena si ibu sudah terlalu baik padanya.

"Tidak baik menolak rezeki. Nanti masuk neraka, lho!" Azalea meringis mendengar ucapan si ibu. Tentu saja ia tidak mau masuk neraka.

Tatapan polos itu mampu memesona Bu Juwi. Meski keadaan Azalea terbilang kotor, tapi ia tak memandangnya sebelah mata. Bocah kecil ini tidak layak diperlakukan buruk, menurutnya.

Setelah beberapa menit berlalu, Azalea pamit undur diri dari hadapan Bu Juwi—pulang ke rumah—memberikan kabar gembira pada Ibu perkara bunganya yang tak tersisa diborong oleh seorang ibu baik hati. Tangan mungil itu melambai, seakan berucap selamat tinggal.

"Besok datanglah kemari dengan bunga mawarmu!" teriak Bu Juwi setelah Azalea menjauh. Azalea hanya mengangguk tanpa menoleh.

Gerik lincah Azalea menyusuri gang sempit menuju rumahnya membuat beberapa orang yang berpapasan menyingkir. Selain tidak muat, keranjang bunga bocah tersebut memenuhi celah tempat itu.

Azalea hanya terkikik tatkala seseorang menyentil telinganya.

"Gadis nakal!" ucap pengguna jalan lain sambil menatap Azalea gemas.

Gadis kecil itu berlari sambil berteriak, "Ibuuuu! Aku pulang!"

Keranjang di tangan ia letakkan pada sudut rumah kumuh dekat pembuangan sampah. Tidak terlalu luas, tempat itu lebih pantas bila disebut gubuk.

Sari, sang ibu tersenyum senang melihat Azalea membawa sesuatu di tangan. Wajahnya semringah tak terkira.

"Kamu membawa makanan, Lea? Ibu lapar!" tanya sang ibu yang hanya bisa berbaring di tikar lusuh.

Azalea mengangguk, kemudian menyuapkan kue lezat pemberian Bu Juwi setelah mencuci tangan. Hatinya pedih, menatap raga ringkih di hadapannya. Namun, ia sembunyikan rasa itu agar sang ibu tidak berduka.

"Enak?" tanya Azalea.

Bu Sari mengangguk. Tangannya terulur mengusap pipi Azalea penuh kasih.

"Maafkan Ibu, Sayang," lirihnya sambil menitikkan air mata.

Azalea menggeleng. Lalu ia membaringkan tubuh kurusnya tepat di sebelah sang ibu.

Pikirannya melayang, jauh ke sebuah tempat bernama 'sekolah'. Tempat yang menurutnya sangat menyenangkan.

"Belajar bisa di mana saja, bukan?" bisik hatinya. Ia berharap dapat bermimpi indah malam ini, walau hanya mimpi!

Matanya terpejam, memeluk kesunyian malam. Dingin tidak dirasa, letih dilupa. Lapar? Sesungguhnya Azelea tidak bisa menahan lapar, tapi sang ibu lebih penting dari rasa laparnya.

*****

AzaleaWhere stories live. Discover now