اِثْنَانِ

4.3K 254 66
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

2. Selamat Tinggal

"Bi, nanti kalau Kak David ke sini tolong berikan." Secarik kertas yang dilipat, Veli ulurkan kepada wanita paruh di depannya. Isinya hanya beberapa kalimat, kalimat perpisahan yang ditulis bersamaan dengan jatuhnya air mata.

"Baik, Non." Bi Asih menerima kertas itu.

Veli memaksakan tersenyum, berusaha tegar untuk menghadapi kerasnya dunia. Dia memeluk orang yang sudah dianggap orang tua kedua dalam hidupnya. Benar, kan? Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Dulu Bi Asih luntang-lantung mencari pekerjaan, sampai mohon-mohon di depan rumah. Saat itu Veli sedang bermain di halaman depan, kasihan melihat wanita berpakaian daster itu. Dia meminta mamahnya menolong wanita itu, dengan cara mempekerjakan di rumahnya. Bi Asih mengabdi sudah hampir enam tahun untuk Veli serta keluarga. Dan hari ini, tibalah perpisahan. Dia harus tinggal di pesantren, sedangkan wanita itu akan kembali ke kampung.

"Jaga diri baik-baik ya, Bi. Jangan pernah lupakan Veli."

Bi Asih tersenyum getir mendengar ucapan anak majikannya. Dia belum siap berpisah, terlebih dengan Veli. Sejak bekerja di sini, anak itu sudah Bi Asih anggap anak sendiri. "Ya tidak mungkin atuh, Non. Mana bisa bibi lupain Non Veli." Veli menyudahi pelukannya, dan Bi Asih langsung menggenggam tangan halus nan putih itu. "Non juga harus jaga diri baik-baik. Jangan sampai tidak makan kalau nggak bibi suruh," ujarnya dibuntuti kekehan kecil.

Kekehan juga keluar dari bibir Veli. Bukan Veli terlalu manja, hanya saja suka lupa waktu makan. Sejak meninggalnya sang mamah, Bi Asih-lah yang menggantikan untuk memyuruh makan. Jelas, terhitung tiga tahun wanita itu memerintah untuk sakadar makan. "Bibi bisa aja. Doain aja nggak seperti itu lagi. Veli pergi sekarang ya, Bi. Assalamuaikum." Usai mencium tangan yang sudah mulai keriput itu, lalu dia pergi dengan semua lukanya. Selamat tinggal semuanya, doakan Veli untuk senantiasa bahagia kapan dan di mana pun.

Jauh dari hiruk piruk kota, gedung menjulang tinggi terganti oleh ratusan pohon homogen di sepanjang sisi jalan raya. Tinggi, indah, juga asri. Veli menyembulkan kepalanya keluar jendela, menikmati pemandangan luar biasa itu. Udara sangat segar, oksigen terasa bersih, angin menyapu wajahnya hingga menerbangkan helaian rambut.

"Veli, itu bahaya," kata Hana mengingatkan dari depan.

Pemandangan itu menulikan Veli. Dia semakin menyembulkan kepalanya keluar, ingin melihat jelas keindahan sekitar. Terlebih gunung menjulang terlihat sangat dekat dari sana.

"Apa yang dikatakan mamahmu benar. Tutup jendelanya!" Suara dingin Hans berhasil membuat gadis itu berdecak. Jika perkataan pria itu diabaikan, dia akan mengulang katanya dengan suara keras.

Bisu. Hening mencengkam suasana. Empat orang di mobil itu punya kesibukan masing-masing. Hans yang fokus ke jalanan, Hana yang memainkan ponsel cerdasnya, Veli sedang membolak-balikan buku tebal milik David di pangkuannya, dan nenek Veli asyik menatap luar jendela.

"Kamu beneran yakin sama kepetusan itu, Veli? Oma sedih harus berpisah sama kamu. Kenapa tidak ikut sama Oma dan papahmu ke Singapura?" Wanita tua itu berujar tanpa melepas pandang dari indahnya pemandangan luar.

"Biarkan saja, Bu. Veli butuh belajar mandiri dan memperbaiki sikap buruknya," balas Hans sambil menatap Veli lewat kaca spion dalam.

Dinamika Hati [SELESAI ✔]Where stories live. Discover now