أَرْبَعَةٌ وَعِشْرُوْن َarba'atun wa 'iysruuna

1.7K 114 0
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

24. Salat Subuh Berjamaah di Masjid

Gadis itu terbangun ketika lafadz adzan masuk ke telinganya. Dia kembali memejamkan mata beberapa detik, lalu terbuka lagi sambil melafalkan doa bangun tidur. Di saat kalimat 'mari kita salat' dikumandangkan, barulah dia bergegas ke kamar mandi.

Jeani masih terperangkap di alam mimpi, tapi tidak ada yang membangunkan. Karena gadis itu memang tidak punya kewajiban untuk memunaikan salat. Setelah mempunyai wudhu, Veli bergegas menuju masjid yang tidak jauh dari tempat penginapannya. Kesalahannya satu, tapi fatal sekali. Dia lupa membawa mukena padahal dia tahu bahwa seorang muslimah memang wajib membawa mukena ke mana pun perginya. Jika sudah seperti ini, mau tidak mau Veli harus salat di masjid karena di sana sudah pasti ada mukena.

Baru dua langkah dari pintu, teringat dengan David dan Alvin membuat langkahnya berjalan ke kamar kedua laki-laki itu. Dia tahu bahwa David bukan tipe pejuang subuh, apa salahnya jika dia membangunkan?

"Kak," panggilnya diiringi ketukan tiga kali. "Kak David udah bangun?"

Belum ada respon apa-apa, gadis itu menghela napas lalu berkata lagi. "Ini udah subuh loh. Kak David sama Alvin udah bangun belum?"

Keterbiasaan di pesantren bangun pukul empat karena dibangunkan teman sekamar membuat Alvin lebih dulu bangun daripada David. Laki-laki menguap sambil mengeliat sebelum beranjak dari tempat tidur. Ketika membuka pintu, dia kucek matanya untuk melihat jelas siapa yang mengacaukan tidur nyenyaknya. Ini kan bukan pesantren.

"Eh, Veli?" Alvin masuk lagi untuk mencuci wajah dan merapikan rambut untuk jaga image di depan gadis itu. "Sorry, tadi gue kucel banget. Haha." Ketawanya canggung setelah kembali lagi ke hadapan Veli dengan penampilan lebih rapi. "Ada apa nih? Ini masih subuh, si David juga belum bangun."

"Salat," kata Veli tapi seperti sebuah perintah. Gadis itu berbalik untuk segera meninggalkan Alvin. Namun, dia berhenti melangkah setelah ingat sesuatu. "Salat subuh berjamaah di masjid. Itu ciri-ciri cowok shaleh, ya!"

Tanpa dijelaskan lebih detail, Alvin paham dengan ucapan gadis itu. Dia segera mengambil peci dan bergegas menyusul Veli, tapi sosok David yang masih dibalik selimut memusatkan perhatiannya. Dia berdecak, ada kesal tertahan. "Oi! Bangun subuh! Jadi orang jangan kebo," teriak Alvin tepat di samping telinga David.

Laki-laki yang masih terombang-ambing mimpi terasa diempaskan oleh teriakan itu. Setelah matanya membulat sempurna, dia lempar guling di sampingnya ke wajah Alvin sebagai efek kekagetan. Semua hal indah dalam mimpi menjadi hal buruk dalam hitungan detik ketika dia membuka mata langsung menemukan wajah Alvin yang dijelek-jelekkan dekat dengannya.

"Mau ngapain, lo?!" Dengan modal setengah nyawa, laki-laki itu berdiri masih dengan celana selutut dan kaus putih tanpa lengan. Mata bak elangnya menatap tajam sosok yang berdiri di depannya.

Bukannya takut, Alvin justru memasang cengiran tak berdosa. "Gini ... gue tuh niatnya baik, ya." Alvin menepuk bahu kiri David, lalu menatapnya dengan tatapan lembut. "Ini kan udah subuh, lo kan muslim, harus salat dong, ya? Kalau nggak salat kan dosa."

"Waktunya kan masih lama, nggak usah jam segini kali," bantah David seraya kembali menjatuhkan diri ke tempat tidur.

"Gue aduin ke Veli nanti, ya. Kalau calon imamnya suka males salat subuh. Mati lo, soalnya Veli mana mau milih orang yang jadi imam diri sendiri aja nggak bisa," ejeknya disertai senyum kemenangan.

Mendengar nama gadis itu, David kembali berdiri dengan wajah cemas. "Gue lebih lama kenal sama Veli dibanding lo, otomatis gue lebih tahu banyak tentang dia. Termasuk rasa cintanya sama gue. Dia nggak bakal ninggalin gue gitu aja."

"Jangan kepedean." Alvin tersenyum merendahkan. "Muslimah itu suka pilih-pilih buat milih cowok, kata temen sekamar gue di pesantren, seorang cewek shalehah yang pertama dilihat dari cowok itu dari salatnya. Gue yakin, Veli tipe cewek yang milih cowok kayak begitu. Kalau kelakuan lo begini, jangan ngarep deh."

Mungkin Veli memang berubah, menjadi gadis shalehah yang taat pada agama, tapi David yakin bahwa gadis itu tidak mungkin berani meninggalkannya hanya karena salat. "Gue salat di sini," putus David.

Alvin menggeleng tidak setuju, dia menirukan gaya Veli saat mengatakan, "Salat subuh berjamaah di masjid. Itu ciri-ciri cowok shaleh, ya!"

Dengan segala kekesalan karena sudah dibangunkan tidak manusiawi, ditambah harus salat subuh berjamaah di masjid, David ingin menendang Alvin ke Samudra Pasifik. "Kampret lo, Vin!" umpatnya.

Mungkin hari ini David mengumpat saat ada orang lain mengingatkannya, tapi tidak tahu suatu saat nanti dia akan berterima kasih. Karena hati mudah berubah seiring detik terus berganti.

[[-__-]]

"Veli lama banget, sih," ujar Alvin ketus. Dia menghampiri David yang sedang mengintip. "Vid, masuk, gih. Ajak Veli pulang sekarang ...," rengeknya dengan suara parau dan mata terkantuk-kantuk. "Gue pengin lanjutin tidur, nih."

David seolah menolak suara Alvin masuk telinganya, dia menggubris, malas meladeni. Matanya terus menjelajah ruang masjid yang disekat oleh hijab warna hijau khusus untuk perempuan salat. Tidak tahunya warna dan motif mukena yang Veli pakai menyulitkan David untuk menemukan gadis itu. "Kayaknya lagi wiridan. Tunggu aja dulu, masa kita ninggalin Veli."

Angin subuh yang menusuk membuat Alvin menyembunyikan kedua tangan di ketiaknya, tubuhnya berangsur jatuh ke lantai sampai dia duduk bersila. Kantuk yang tidak kuasa ditahan, akhirnya memudahkan mata tertutup dan kembali lagi melanjutkan mimpi yang sempat tertunda.

"Tapi kayaknya Veli nggak ada. Apa dia udah pulang, ya?" David menghentikan aksi mengintipnya, mata hitam tajam dengan alis tebal itu menunggu jawaban dari Alvin, tapi setelah detik berganti tidak ada respon laki-laki tengil itu. "Vin?" Saat David menoleh, dia tidak menemukan orang yang dicari. Desis kecil dari mulutnya keluar ketika ekor mata menangkap ada orang duduk yang tertidur tak jauh darinya. "Dasar manusia kampret!"

David meyakinkan Alvin tertidur pulas dengan cara melambai-lambaikan tangan di depan wajah laki-laki itu. Ada sapu dann pel tergeletak di ujung selasar dekat tempat wudhu. Senyum jahilnya muncul, sudah sering laki-laki itu menjengkelkannya dan sekarang saatnya balas dendam. Sapu dan pel itu disimpan di pangkuan Alvin, tidak lupa dengan keset yang digunakan untuk menyelimuti bahunya.

David terkekeh pelan. "Sorry, ya, Vin."

Baru saja memakai sandal untuk meninggalkan masjid, dari dalam terdengar teriakan histeris disusul suara-suara perempuan minta tolong. Tanpa berpikir panjang, detik itu juga, David berlari masuk ke masjid bagian perempuan. Para perempuan yang masih memakai mukena itu berkerumum di satu titik.

"Darahnya kena mukena."

"Bawa saja ke rumah saya."

"Iya boleh, kasihan sekali gadis ini."

"Ya udah, ayo kita angkat."

David penasaran dengan kerumunan itu, hatinya tidak enak takut ada apa-apa dengan Veli. Langkahnya mendekat, perlahan terlihat seseorang yang tidak sadarkan diri. Semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat, "Veli," pekiknya kaget saat menemukan gadis itu tidak berdaya.

David segera menyingkirkan beberapa orang, sampai akhirnya dia bisa melihat jelas gadis itu. "Vel, bangun hei," katanya sambil mengangkat kepada gadis itu ke pangkuannya. "Kamu kuat, ok? Bangun sayang. Jangan buat aku panik," bisiknya seraya bersiap menggendong. "Maaf lancang, tapi aku nggak nyentuh kamu kan, Vel? Aku cuma gendong dan masih ada penghalang, jangan marah." David terus berkata seiring dengan langkah cepat tanpa memakai sandal.

[[-__-]]

Dinamika Hati [SELESAI ✔]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ