سَبْعَةٌ

2.2K 139 7
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم


7. Melepas Rindu

Di sini Veli belajar, tentang kemandirian yang sebenarnya. Usai makan tidak meninggalkan meja begitu saja, setelah membaca doa berama-sama, santriwati harus mencuci piring sendiri. Meski awalnya gadis itu merasa jijik saat mencuci pertama kali, sampai tangannya dibungkus plastik. Sekarang sudah biasa, dia mencuci piring selayaknya santriwati lain.

Keluar dari kantin asrama, gadis itu melabuhkan diri di kursi dari bambu di tepi danau buatan depan kantin. Udara pagi begitu sejuk, meski sisa dingin semalam masih menusuk. Sendiri termenung dengan tatapan kosong, menatap hamparan air jernih di sana. Suasana pondok yang asri memang selalu memanjakan mata.

Dalam suasana seperti ini, kenangan begitu mudah masuk. Membuat gadis itu menghela napas lelah, tangannya menungkup wajah sempurna. Senyum David muncul, membuat Veli juga tersenyum di balik telapak tangan. Pelukan hangat masih terasa sampai saat ini, belaian lembut yang dirindu, genggaman tangan untuk menangkan, juga tawa bersama saat ada hal lucu yang sederhana. Dibelengggu rindu, rasanya tidak kuat untuk bertemu.

"Eh, ini hari Ahad, kan?" Veli segera bangkit dan berlari kecil menuju asrama dengan senyum tak lepas.

Veli dan David belajar satu hal, dari jarak tercipta rindu, dan rindu menciptakan temu supaya tidak hampa. Tidak ada hidup yang menyedihkan, jika kita selalu bersyukur dan mencari hikmah dalam kehidupan. Awal perpisahan memang berat, tapi tidak lagi sekarang.

Sampai di depan kamar 4 asrama Fatimah Az-zahra dia langsung mendorong pintu. Wajah ceria yang terlihat pucat menampilkan senyum. "Assalamuaikum. Tadi ada panggilan untuk Veli, nggak?" tanyanya dengan penuh semangat.

Silla terheran dengan sikap Veli, keningnya mengkerut dan menghampiri gadis itu. "Tidak ada. Memangnya kenapa?"

Veli berseru lemah, ada raut kecewa terpancar dari wajah. Ditatapnya satu per satu teman sekamar dengan mata lelah, sebelum akhirnya duduk di tepi tempat tidur. Boneka panda besar yang dibawanya karena itu pemberian dari David dipeluk erat, menenggelamkan wajah di bulu-bulu halus. Perlahan isak tangis mulai terdengar, membuat ketiga orang teman sekamarnya menghampiri gadis itu. Silla mulai mengusap punggung gadis itu, lalu membawanya dalam pelukan.

Untuk apasih buat janji? Jika pada akhirnya diingkari. Padahal hari ini Veli mau cerita. Selama seminggu ini Veli dihantui takut. Veli perlu bertemu Kakak, untuk sekadar memastikan baik-baik saja, agar Veli nggak takut lagi.

Kak David harusnya tahu, bahwa janji tanpa bukti itu menyakitkan.

Di hari perpisahan satu bulan yang lalu, David berjanji untuk menjenguknya seminggu sekali, setiap hari Ahad. Veli pegang janji itu, karena hanya janji yang menjadi pengharapan. Namun, nyatanya janji itu menghempaskan. Harapan tak sesuai kenyatan adalah luka yang paling menyakitkan.

Mentari yang tadi malu-malu untuk muncul, kini sudah menyinari kamar mereka. Jadwal untuk sekarang hanya perlombaan yang menjadi rutinitas santri, sekadar menciptakan keharmonisan sekaligus melepas penat. Namun, Veli tidak ada semangat mengikutinya. Dia memilih berdiam diri di kamar, duduk di sofa yang ada di kamar itu.

Rasanya malas untuk menjalani hari jika rindu belum tertumpah. Ini udah siang, Kak. Kenapa Kak David belum juga ke sini?

Matanya berusaha terpejam, semoga lewat mimpi di siang hari dapat mengobati rindunya. Apa jangan-jangan Kak David udah lelah?

Sekuat tenaga Veli mengusir pikiran buruk tentang itu. Matanya kembali terbuka, kakinya berjalan mondar-mandir untuk mengusir pikiran yang tidak-tidak. Please, Vel! Jangan berpikiran buruk yang dapat melukai hati. Positif, oke?

Dinamika Hati [SELESAI ✔]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें