أَرْبَعَةَ عَشَرَ 'arba'ata 'asyara

1.6K 113 6
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم ِ

14. Membungkus Luka

Gadis berwajah pucat itu terbangun dan langsung mengambil ponsel di atas nakas. Ini sudah lewat jam pulang sekolah, tapi David belum mengunjunginya. Mungkin laki-laki itu sedang dalam perjalanan.

Setengah jam berlalu, 14:55PM angka yang ditunjukkan layar untuk memberitahu waktu. Biasanya juga setengah jam setelah jam pulang sekolah, David sudah sampai di rumah sakit. Inilah sifat egois Veli, ingin selalu dimengerti. Mungkin saja David ada urusan lain yang lebih penting, hingga laki-laki itu memilih untuk menyelesaikannya lebih dulu. Namun, Veli tetaplah Veli yang ingin selalu diprioritaskan.

Dia spam chat David, tapi hanya ceklis dua abu. "Kak David ke mana sih?" geramnya sambil menekan ikon telepon. Hanya suara dering yang mengisi telinganya, dan akhirnya diangkat juga.

Gemuruh suara langsung bersautan di telepon. Membuatnya berdecak kesal. "Kakak di mana? Kok berisik banget?"

"Maaf, ya. Kalau ada perlu, nanti telepon lagi."

Suara perempuan! Seketika napasnya memburu, tenggorokannya tercekat, ada ribuan beban yang menghantam dadanya. Tanpa menunggu lama, dia memutuskan teleponnya secara sepihak. Tenang, please! Sekuat tenaga dia berusaha menahan air di kelopaknya.

Veli tidak habis pikir. Untuk apa laki-laki itu baik padanya jika pada akhirnya menyakiti? Dia memang sudah curiga dengan semua ini. Hanya saja kemarin-kemarin tidak ada bukti untuk memarahi. Dan setelah bukti telah dapati, tapi logikanya dikalahkan oleh hati. Untuk apa dia marah?

David sudah baik padanya. Dari dulu sampai sekarang. Lagi pula, Veli cukup sadar diri dengan kondisi. Memang sudah seharusnya David menemukan kebahagian dari perempuan lain.

Seorang dokter masuk, dia tersenyum ketika melihat pasiennya terduduk sedang scrool down. Wajah tegas itu didominasi lelah. Jas kebanggaannya yang masih menempel di tubuh disingkap pelan. "Veli, bagaimana keadaannya?" tanyanya lembut.

"Baik," jawab Veli seraya mematikan ponsel. "Oh iya, Veli harus segera ke pesantren, Om. Bentar lagi ujian di madrasah dan pesantren."

Tora, dokter yang menangani Veli sekaligus seorang Papah dari pacarnya. Pria yang telah menginjak kepala empat itu sengaja menemui gadis tersebut karena ada hal yang ingin dibicarakan. Menyangkut anaknya. "Tunggu sampai hari ulang tahun David, ya. Lagi pula besok kamu harus kemotrapi."

Kepalanya digelengkan. Ketika hati sudah kecewa, menghindar adalah solusi yang tepat supaya tidak memunculkan rasa benci. "Tapi Veli harus ke pesantren." Gadis itu memasang senyum palsu. Bagaimana bisa mengeluarkan senyum tulus jika hatinya sedang terluka.

"Ulang tahunnya tiga hari lagi loh. Apa kamu tidak ingin melihatnya bahagia untuk sehari saja? Anak saya telah berkorban banyak untuk kamu, apakah hadir di pesta ulang tahunnya sebuah hal yang tidak berarti bagimu?"

Iya, David terlalu banyak berkorban. Namun, kecewa itu membuat terluka.

"Veli udah terlalu lama di sini. Bagaimana kalau pihak pesantren menghubungi dan menanyakan keadaan Veli kepada Papah?" Veli harus mempunyai alasan kuat untuk bisa keluar dari rumah sakit. Karena dia tidak ingin bertemu dengan David. Untuk ikhlas melepas laki-laki itu perlu waktu, tidak segampang lisan berucap. Veli tidak akan marah kepada David maupun perempuan tadi, justru dia berharap perempuan itu bisa menggantikan posisinya di saat dia pergi. Pertama kalinya, Veli merasa putus asa.

Dinamika Hati [SELESAI ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang