تِسْعَةَ عَشَر َtis'ata 'asyara

1.6K 113 0
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم


19. Sebuah Surat

Dua minggu sebelum ujian, ngaji sore ditiadakan. Namun, santri diwajibkan belajar dengan sungguh-sungguh untuk ujian nanti. Hanya saja Alvin tidak menuruti. Ketika teman sekamarnya sibuk menghafal materi, Alvin malah berbaring sambil memainkan rubik.

Dunianya damai ketika dia tidak dikekang oleh kegiatan pesantren yang memuakkan. Ngaji malam yang biasanya bubar pukul sepuluh kini menjadi pukul sembilan. Alvin merasa tenang-tenang saja karena setiap kali menghadapi ujian tidak pernah belajar. Soal menjawab ujian tinggal hitung kancing.

Padahal, ada sesuatu yang berbeda dengan ujian di Darul Ulum Al Baar.

"Vin, kenapa nggak belajar?" Rayyan menatap intens santriwan yang berbaring itu.

"Gue udah pinter, hehe ...."

"Setidaknya kamu baca ulang apa yang ditulis. Daripada nganggur seperti itu. Jangan sia-siakan waktu, mumpung masih muda."

Alvin mengembuskan napas, dia meloncat dari tempat tidurnya. "Alah, justru kalau gue belajar malah waktu gue terbuang sia-sia. Belajar atau enggak, gue bakal bisa jawab soalnya, kok," ucapnya pede sekali.

"Cara jawabnya gimana?" Azmi angkat suara setelah memutar badan 45 derajat untuk melihat Alvin.

"Gue baca basmallah, terus baca surah pendek sambil nunjuk-nunjuk option. Kadang juga ngitung kancing, atau penghapus dijadiin dadu," jawab Alvin santai sambil tertawa. Dasar Alvin, hidupnya seolah hanya permainan saja.

"Ujian di sini esai semua, kamu nggak bakal bisa asal pilih option. Waktunya hanya empat puluh lima menit untuk empat puluh soal. Belum lagi di ruangan itu kamu tidak bisa mencontek. Kiri-kanan-depan-belakang adalah orang tidak kamu kenal. Satu ruangan itu akan ada MI, MTs, dan MA. Kecil kemungkinan kita dapat satu ruang sama teman sekelas," jelas Azmi membuat Alvin menganga tidak percaya.

"Ujian apaan ini?! Kok bisa gitu?" Matanya membulat besar, dia bergerak secepat kilat menuju kursi belajarnya. "Ya kali kagak ada PG. Inimah penyiksaan nih, waaah gila aja ini ujiannya." Alvin mendemo terus-terusan atas ketidak sukaannya dengan ujian di sana. Tangannya mengambil kartu peserta ujian di atas mejanya, di belakangnya ada mata pelajaran ujian beserta jadwalnya. "Ini juga, apa-apaan ini ada pelajaran tajwid segala, sejarah Islam, al--"

"Makanya jangan main-main, Vin! Penuhi hidup dengan ibadah kepada Allah, karena Dia menciptakan jin dan manusia tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada-Nya," nasihat dari Rayyan.

"Emang belajar itu ibadah?" tanya Alvin dengan polosnya.

Rayyan baru membuka mulut untuk menjawabnya, tapi Azmi lebih dulu angkat suara. "Sebelum bertanya, kamu cari jawaban dari pertanyaan kamu dulu. Kalau udah berusaha keras mencari, tapi tidak menemukannya baru boleh bertanya."

"Kalau Kak Rayyan bisa jawab pertanyaannya, ngapain juga gue harus nyari? Buang-buang waktu," cibir Alvin sambil kemudian berlalu keluar kamar. Seperti itulah Alvin, tidak suka jika terus berdebat dengan orang pintar, karena ujung-ujungnya kalah kata. Alvin bungkam dan harus menahan malu. Sebelum itu terjadi, lebih baik memilih pergi.

Terhitung empat bulan Alvin memijak kaki di pesantren ini. Perubahannya hampir tidak ada, berbanding terbalik dengan Veli yang terus meningkat. Padahal keduanya sama-sama masuk pesantren karena sebuah paksaan dari orang tua. Kehidupan masa lalunya sama, terlalu jauh dari Allah. Hanya saja Allah cepat-cepat menurunkan hidayah-Nya kepada Veli dan langsung menggemblengnya lewat teguran maupun ceramah-ceramah dari ustadz atau pun ustadzah.

Dinamika Hati [SELESAI ✔]Where stories live. Discover now