19. Ramadhan Zevino Bamantara dan Ramadhan Ghiffari Bamantara

12.2K 465 0
                                    

" Mba Tia. "

" Iya Far. Kenapa? " Tia yang baru saja dari dapur segera menghampiri Ghiffar. Balita itu sedang duduk lesehan dengan mainan di sekelilingnya.

" Mba umi pulang kapan? Lama? " Ucapnya masih membongkar miniatur.

" Tiga hari lagi. Ini Ghiffar makan dulu. Mau sendiri apa suapin mbak? Mbak mau bangunin Bang Rama dulu. Mba Eli lagi belanja ke mini market. Biar abang makan sekalian. "

" Tiga? Sendiri. Aku aja bangunin abang, mbak, " Ghiffar berdiri dari duduknya. Ia menaruh mainan yang belum selesai ia bongkar dan berlari ke kamar Rama. Ia membuka pintu yang sedikit terbuka. Ia mengelus pipi abangnya.

" Abang bangun. Makan ayo. Sama ayam coklat bang. "

" Engh... " Rama membuka matanya perlahan. Ia menatap adiknya yang tersenyum ke arahnya. Rama berjalan ke kamar mandi dan cuci muka. Ghiffar berlari lagi ke ruang keluarga dan duduk di kursi kecil yang disiapkan untuk ia dan kakaknya jika mau makan. Ia menyuap nasi dan ayam yang sudah disuir-suir oleh Mba Tia agar mudah dimakan.

Tia sudah menyiapkan sepiring nasi dengan ayam suwir untuk Rama di meja. Rama duduk di depan Ghiffar. Matanya kelihatan masih mengantuk. Ia meminum susunya seperempat gelas.

" Mba mau jus wortel, " Rama meletakkan gelas susunya.

" Ya. Ghiffar mau juga gak? " Tia menghampiri kedua bocah kecil itu.

" Gak, " Ghiffar sudah sibuk dengan ayamnya. Tia menemani mereka sampai makanan keduanya habis. Ia membawa piring dan gelas yang telah terpakai ke washtable.

Tring tring tring

Tia merogoh saku bajunya. Tertera nama Bu Gravin. Ada panggilan video. Ia pun duduk kembali ke kursi dekat Rama dan Ghiffar. Ia menyuruh Rama dan Ghiffar mendekat.

" Assalamualaikum umi, " Ucap mereka berdua setelah melihat wajah Zenda. Zenda tersenyum.

" Wa'alaikumussalam. Lagi apa abang sama adik? Udah salat? Udah makan? Udah tidur? "
Mereka mengangguk bersama.

" Umi itu siapa? " Ghiffar memperhatikan orang di belakang Zenda. Zenda menengok. Ia mendapati Irwan rekan bisnisnya.

" Itu paman Irwan teman umi. Mau kenalan sayang sama paman? " Ghiffar mengangguk semangat dan Rama hanya diam. Zenda terlihat berbicara dengan seorang perawakan tegas di belakangnya.

Satu layar dipenuhi wajah Irwan. Ia melambaikan tangan pada dua bocah kecil.

" Hai jagoan. "

" Hallo paman aku Ghiffar. Ih bang geser aku gak kelihatan ini, " Ia menggeser-geser tubuh abangnya. Rama hanya bergeser sedikit. Memberi ruang untuk Ghiffar berbicara. Ia bahkan sudah memegang satu kukis yang ia minta dari Mba Ita dan memakannya. Kukis itu selalu dibuat oleh Zenda di tengah kesibukan yang padat.

" Nih bang, " Ghiffar memberikan ponsel yang masih terdapat wajah Paman Irwan. Kini umi juga duduk di sebelah paman Irwan.

" Umi. "

" Abang lagi makan apa? Sibuk banget kayaknya, " Rama menunjukkan kukis yang tinggal setengah bagian karena telah ia makan separuh.

" Ini paman Irwan sayang. Teman umi. Kenalan dong coba bang. "

" Rama paman, " Jawabnya singkat, padat, dan jelas. Irwan tertawa kecil. Anak wanita di sebelahnya memang unik. Satu dengan keaktifan tinggi dan satu sangat cuek.

" Hallo Rama. Ini paman Irwan. Kamu umur berapa sih lucunya, " Irwan berkata dengan gemas.

" Aku Ramadhan Zevino Bamantara. Umi namanya Zenda Aliksi Adimakayasa dan abi Gravin. Umi sering kerja gak pulang. Kata mbak sibuk. Aku suka kukis, suka jus wortel, gak suka ikan, " Penjelasan Rama sedikit panjang.

" Namanya bagus. Kenapa gak suka ikan? "

" Kata umi alergi. Gak boleh makan ikan. "

Suara teriakan memanggil nama Rama dan Ghiffar. Ghiffar yang tidur telentang langsung bangun menyeret abangnya yang belum selesai Videocall. Rama mengembalikan ponsel ke Mba Ita dan pergi ke luar rumah. Ada Yaksa yang menunggu dengan sepeda roda tiganya tengah tersenyum lebar.

😎😎😎

Zenda mengucap terima kasih karena Irwan bersedia meladeni kedua putranya.

" Haha gak papa. Anak kamu lucu, " Irwan masih duduk di samping Zenda. Pemuda itu menyesap latte yang ia pesan. Zenda melanjutkan makannya yang tadi tertunda karena menghubungi anak-anaknya.

" Kamu sibuk terus bagaimana dengan kembar Zen? "

" Aku menyempatkan waktu walau hanya sebentar saat luang. Ya mereka lebih banyak waktu sama pengasuh sih. Tapi dari setahun kemarin mereka nempel sama teman suamiku. Mereka sering ngajak kembar main, jalan keluar juga. Malah sekarang mereka udah mulai ikut latihan taekwondo, " Zenda mengelap bibirnya yang terasa agak kotor.

Irwan berdecak kagum. Ia tersenyum penuh arti.

" Mereka pengertian ya. Gak nuntut kamu ini itu. "

" Ya awalnya susah juga. Tapi sejak abang hilang aku gak bisa terus merenung. Renungan gak bisa bikin abang balik. Saat aku ambil keputusan kalau papa mertua sih dukung. Bunda, ayah, sama kakakku sih yang agak gak setuju. Tapi akhirnya ya setuju. "

" Kamu wanita hebat. "

" Haha bisa aja. Oh ya gimana kabar tunangan kamu. Kapan nih nikahnya. Tak tunggu undangan nya loh. Serius ini, "
Wajah Irwan berubah murung. Tapi ia kembali ke mode datar.

" Gak lah. Gak jadi nikah sama dia batal tunangan juga. "

" Sorry, " Ucap Zenda agak bersalah.

Zenda berpamitan pada Irwan setelah ia selesai makan. Suara Rain yang menelepon untuk segera ke tempat berikutnya. Rain adalah asisten serta ketua pengawal pribadinya. Rain telah bekerja kepada Zenda sejak tiga tahun lalu. Kenyataan pahit telah banyak mengubah hidup Zenda. Ia menaiki mobil di samping kemudi dengan Rain yang menjadi sopir.

Zenda menyenderkan kepalanya ke jok mobil. Ia sangat lelah. Malam nanti ia masih ada acara pernikahan anak rekan bisnisnya. Ia harus hadir. Jarak tempat pernikahan dengan tempatnya saat ini memakan waktu dua setengah jam. Ia mengatur jok agar bisa tertidur agak nyaman.

Baru ia akan masuk ke alam mimpi ponselnya berdering. Ia merogoh tasnya. Mencari keberadaan ponselnya lalu mengangkat telepon.

" Assalamualaikum. "

".... "

" Hm? "

".... "

" Serius? Tapi aku masih di luar kota. Gak bisa kalau dua hari lagi ke sana. "

" .... "

" Yaudah. Titip salam aja ya? "

" .... "

" Ya kalau mau sih gapapa. Ajak Tia sama Eli. Oren sama Lio juga biar aman dah. "

" .... "

" Iya. Wa'alaikumsalam. "

😎😎😎

Suara alunan musik bergema. Dekorasi cantik dengan berbagai tanaman hijau dan bunga menghiasi ballroom yang digunakan untuk resepsi. Rain menyerahkan undangan kemudian mengawal Zenda. Penampilan Rain tak jauh beda dengan Zenda. Ia memakai gaun tanpa lengan berwarna biru langit dengan tatanan rambut yang digulung rapi. Ia terlihat anggun. Sekilas orang dapat memandangnya gadis biasa. Namun dibalik gaunnya ia menyimpan senapan, pisau, dan peluru. Ia bisa lepas dari pengawasan di depan ballroom dengan mudah. Ia juga mengenakan anting sebagai alat komunikasi dengan anak buahnya yang berada di luar gedung. Apabila ada keadaan mendesak.

Future Pedang Pora (Tamat)Where stories live. Discover now