24. Iya?

9.5K 505 20
                                    

Alvicha menepuk ringan pundak sahabatnya. Ia kemudian duduk di kursi depan meja. Ia menatap sahabatnya bermuka layu. Senyum telah lama menghilang dari wajah cantiknya.

" Kenapa? " Zenda hanya menunjuk dengan dagunya ke arah kertas berwarna biru muda di atas meja. Ia bahkan sama sekali belum membuka plastik perekat yang membungkus kertas. Namun, ia tahu isinya dari halaman depan.

Alvicha segera membuka plastik penutup kertas dan masih membuka. Ia hanya mampu membelalakkan matanya lebar.

" Ha si Gravin gila apa? Setahun dia kata mau usaha. Setahun dia deketin lo, deketin kembar. Terus ini apa? Gak habis pikir gue. "

Zenda memijit pelipisnya pelan. Selama ini ia hanya diam. Ia percaya Gravin akan mengingatnya. Namun, sebelum itu terjadi semua tidak sesuai perkiraannya. Ia telah memberikan kesempatan pada Gravin untuk dekat dengan kedua anak mereka.

" Gak tahu gue Vich. Kepala gue rasanya mau pecah aja. "

" Terus rencana lo sekarang mau apa? "

" Urusan di batalyon tentang status gue sama dia masih suami istri. Tapi ya kalau emang gak ingat gue gak bisa maksa. Biarin ajalah. Dia kan baru mau tunangan kalau misal mau nikah ya mau gak mau harus urus perceraian kan? Biar dia yang putuskan mau gimana Vich. Tapi urusan kembar mereka harus tetap sama gue. "

" Lo yakin sama keputusan lo? "

" Lama gue nunggu dia balik Vich, lama juga nunggu dia ingat. Sakit banget gue tiap ngelihat dia nganterin kembar pakai mobil Verina. Berempat. Berasa gue tu bukan siapa-siapa. Padahal istri sah dia siapa Vich? Gue. Tapi... Gue diam bukan berarti kalah. Gue cuma gak mau maksa. Karena kalau dia belum ingat dan gue maksa akhirnya gak baik juga. "

" Yaudah gue bakal selalu dukung lo Zen. Apapun keputusan lo. "

" Makasih Vich. "

" Mau ke rumah gue. Nenek lagi di rumah gue. Tadi malam pada bakar-bakar. Ore sama Xili juga ada. Kembar bisa main sama mereka. "

😄😄😄

" Wah chef terkenal datang ini. Waduh, " Nenek Alvicha langsung memeluk Zenda. Ia juga mencium pipi Rama dan Ghiffar. Ghiffar yang melihat Xili langsung mengampiri. Ia mengambil kompor tempat Xili bermain masak-masakan. Xili yang kesal melempar semua mainan masak-masakan ke arah Ghiffar. Ghiffar tertawa lebar. Ia dapat menghindar dari lemparan Xili. Xili kemudian mengejar Ghiffar. Mereka berlarian.

" Ghiffar sayang sini nak. Jangan lari-lari, " Ghiffar menghampiri Zenda. Zenda mencubit pipi Ghiffar.

" Hayo tadi jail kan sama Kakak Xili. Bilang apa kalau salah, " Ghiffar menghampiri Xili. Ia mengulurkan tangan yang disambut Xili.

" Ciap. Iffay salah. Maay Xili, "
Xili tersenyum dan mengangguk. Rama sudah duduk diam di sebelah Zenda. Ia tengah memakan kue mendut yang dibungkus daun pisang. Tak lama Ghiffar duduk di sebelahnya dan memgambil bungkusan tapai ketan. Ia membuka paksa daun pisang hijau sehingga tapai ketan yqng agak berair tumpah ke lantai. Di tangan Ghiffar hanya tinggal daun pisang saja.

Zenda menghela napas. Ia akan bangkit dari duduknya sebelum Kakek Alvicha menahannya.

" Sudah nak tidak apa-apa. Biar nanti mbok yang bersihkan. Mbok tolong dibersihkan sebentar ya. "

" Iya. "

" Maaf Ghiffar anaknya agak aktif jadi ya. "

" Tidak apa-apa Zen. Oh ya bagaimana perkembangan s.... "

" Resto kamu Zen? Iya kan nek. "

" Iya. Maksudnya itu. "

" Alhamdulillah baik nek. Selalu meningkat setiap bulan. Doakan saja nek. "

" Aamiin. "

Zenda menyuapi Ghiffar tapai ketan. Ghiffar meminta lagi. Namun, Zenda memberinya kue mendut. Ia bisa memakan sendiri karena tekstur kue mendut padat dan tidak terlalu basah.

" Kayaknya dia suka tapai ya Zen? "

" Iya tapi saya takut kalau kebanyakan perutnya panas. Jadi biar makan ini aja mendut, "
Nenek hanya tersenyum. Ia mengelus punggung tangan Zenda.

😄😄😄

Zenda baru saja kembali dari kamar kembar. Ia duduk di kursi dekat jendela. Menatap bintang gemintang malam. Bunda membuka pintu kamar Zenda. Ia menepuk pelan pundak Zenda.

" Dia masih belum mengingatmu? "

" Belum bun. Bun, abang kan tugas luar lama Bang Zerva. Aku nyusul satu kota sama Bang Zerva gimana? "

" Mau menghindar? "

Air mata yang Zenda tahan kini mengalir. Ia tidak sanggup bahkan untuk berbicara. Isakan kecil terdengar pelan. Bunda memeluknya ia mengusap punggung Zenda.

Drrt drrt drrt

Zenda mengangkat telepon.
" Zen. Sudah tidur ya? "

" Be...lum...bang. "

" Kamu nangis? Gravin belum mengingat kamu dik? "

Bunda merebut ponsel yang ada di tangan Zenda. Zenda akhirnya terduduk di atas ranjang. Ia menyeka air mata dengan telapak tangannya. Huh. Setelah menghela napas panjang ia berjalan ke kamar mandi. Membasuh wajahnya dengan air yang mengalir.

Bunda mengulurkan ponsel ke arah Zenda. Ia memode load speaker.

" Dik. "

" Iya bang. "

" Semangat ya. Abang masih di sini tugas negara. Abang doakan yang terbaik untuk kamu. Salam ya untuk kembar. Kalau mau ke sini gak apa. Nanti abang bantu cari rumah untuk kalian. "

" Makasih bang. Nanti aku kabari lagi mungkin tiga hari lagi ke sana. "

" Kamu kirim pesan saja. Abang tidak setiap waktu bisa pegang ponsel. Nanti abang minta tolong teman di sini carikan kamu rumah. "

" Iya abang. Makasih.

😄😄😄

Zenda sudah mengepak semua barang-barang ke dalam koper. Rama dan Ghiffar sudah berganti baju dengan jaket kulit dan celana jeans. Mereka juga memakai topi hitam dan biru dongker masing-masing.

Penerbangan yang lama membuat Rama dan Ghiffar terlelap. Zenda tidak bisa memejamkan matanya. Ia membaca novel yang baru saja ia beli. Ia bahkan sampai membeli lima judul novel.

😄😄😄

Zenda duduk di kursi penumpang dengan Rama dan Ghiffar. Oren salah satu anak buah Zerva menjemput Zenda ke bandara.

" Mi. "

" Iya Rama kenapa? "

" Mbi sama Ya ketinggalan. "

Zenda baru saja ingat kalau kedua putranya memelihara kelinci. Ia mengusap jidatnya ringan.

" Iya maaf umi lupa sayang. Nanti umi telepon eyang ya biar dikirim. Tapi lama kalau dikirim. Harus dikarantina biar gak sakit Mbi sama Ran. "

" Oke. "

Oren membukakan pintu untuk Zenda. Ketiganya keluar dari mobil. Zerva telah menunggu di teras. Rama dan Ghiffar berlari ke arah Zerva. Zerva merendahkan posisi tubuh agar bisa memeluk kedua ponakan kecilnya.

" Hallo jagoan. Gimana naik pesawatnya hm? "

" Wush wush, " Zenda tertawa bagaimana bisa Ghiffar menjawab seperti itu. Selama di pesawat kedua anaknya terlelap. Ia membangunkan mereka setelah pesawat akan mendarat. Zerva semakin mempererat pelukannya. Ia sangat merindukan ponakan kecilnya.

" Makin manis aja kau dik. Baik kan? "

" Gombal kali si abang mah. Baik alhamdulillah. "

Zerva mencium kening adiknya. Ia terdenyum tulus membuat Zenda juga ikut tersenyum.

Future Pedang Pora (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang