《17》

23.8K 6.7K 2.3K
                                    

WARNING!

YANG GAK SUKA ADEGAN SADIS WALAUPUN GAK SADIS BANGET HARAP MENYINGKIR!

----------------------------------------



"LO GIMANA SIH, KENAPA DIA MASIH HIDUP, HAH?!"

Lucas di dorong ke tembok, kerah bajunya dicengkram erat, dirinya bahkan sampai tercekik karenanya.

Sudut bibirnya berdarah, luka lebam di wajahnya semakin menjadi-jadi akibat pukulan bertubi-tubi yang dilayangkan kepadanya.

"LO NGERJAIN TUGAS LO DENGAN BENER BISA GAK, SIH?! GUE MAU DIA MATI! TAPI LO LIAT, DIA MASIH HIDUP!"

"GUE GAK TAU KALO DIA MASIH HIDUP BANGSAT!"



BUGH!


BUAGH!


"BERANI BANGET YA LO NGOMONG GITU KE GUE!"

Lucas hanya bisa pasrah ketika dirinya dibanting, ditendang, dan dipukuli terus menerus oleh orang di depannya.


BUGH!


"Uhuk!" Lucas terbatuk setelah pukulan terakhir di dadanya.

Bukan batuk biasa, melainkan ada gumpalan darah yang keluar dari mulutnya.

Lucas meringis sambil mencengkram erat dadanya. Dengan sempoyongan dia berdiri, setelah itu dia membalas pukulan orang di depannya dengan kencang hingga terjatuh.

"Sialan," umpat orang itu, lalu balas memukul Lucas.

Diam-diam, Lucas mengeluarkan pisau lipat yang selalu dia bawa kemana-mana.

Tanpa aba-aba, dia menyerang orang tersebut dengan brutal, sambil mencoba menusuk orang di depannya.

Sontak orang itu langsung menendang tangan Lucas hingga pisaunya terlempar. Dan yang dia lakukan selanjutnya adalah mengeluarkan pisau dari balik jaketnya.

"Haha, psikopat bodoh. Gue lebih cerdas dari lo."



JLEB!



Mata Lucas membulat. Mulutnya refleks mengeluarkan teriakan. Namun sayang, nggak ada orang di sekitarnya.

Si pelaku menyeringai puas, lalu memperdalam tusukannya pada dada Lucas.

"Ini akibatnya kalo lo gak ngelakuin tugas lo dengan baik," ucap orang itu.

Rupanya dia belum puas.

Dia kembali menusuk Lucas berkali-kali hingga darahnya menyiprat ke wajahnya.

Lucas terdiam, mulutnya tak sanggup mengeluarkan suara sedikit pun. Akhirnya, dia membiarkan tubuhnya ambruk ke tanah dengan darah dimana-mana.

"Masih hidup juga lo."

Tanpa rasa bersalah, orang itu menggorok leher Lucas, membuat luka lebar disana. Tangannya juga bergerak menyoyak perut Lucas hingga memperlihatkan organ dalamnya.

Melihat Lucas sudah tak bernyawa, orang itu tertawa. Pisau dia arahkan ke wajah Lucas.

Setelah itu, dia mencongkel matanya, dan membuangnya ke sembarang arah.






















































Jihoon bingung, dari tadi dia nyariin Woojin kemana-mana. Pas dia ke kamarnya tadi, nggak ada orang.

Belakangan ini Woojin memang suka pergi tanpa memberi tahu dirinya. Apalagi perginya selalu malam hari.

Dia khawatir. Selain karena Woojin adalah saudara kembarnya, ada hal lain yang dia takutkan kalau Woojin pergi sendirian.

Bisa dibilang Jihoon protektif kepada Woojin. Tapi itu juga untuk kebaikan Woojin sendiri.

Dia cuma nggak mau Woojin kenapa-napa atau berbuat apa-apa.

Dia takut kalau Woojin berbuat hal yang nggak dia duga. Dia cuma takut hal itu.

Ya, walaupun Woojin udah besar dan bisa jaga diri sendiri, Jihoon tetap takut. Karena belum sepenuhnya Woojin dapat menjaga diri.

Jihoon udah dikasih amanah sama orang tuanya untuk menjaga Woojin. Dia nggak mau ngecewain orang tuanya yang udah meninggal dua tahun yang lalu.

Iya, jadi mereka cuma tinggal berdua dengan sisa warisan kedua orang tuanya, tanpa bantuan keluarga yang lain.

Tapi, walaupun sudah ada warisan yang bisa mencukupi kehidupannya selama beberapa tahun ke depan, Jihoon bekerja.

Dia nggak mau bergantung terus pada warisan kedua orang tuanya, oleh karena itu dia bekerja bekerja di warung kecil dekat sekolahnya. Walaupun cuma bantu mengantar pesanan dan memasak, Jihoon seneng karena bisa dapat uang sendiri.

Asal kalian tau, dia juga melakukan itu untuk Woojin.

Jihoon nggak mau, kejadian dulu terulang. Dia nggak mau berusan dengan polisi lagi.

Dia nggak mau.

"Astaga, lo kemana, sih?" Gumam Jihoon gelisah.

Kakinya terus melangkah menyusuri jalan, membiarkan udara dingin menyelimutinya.

Kepalanya menoleh kesana kemari mencari Woojin.

Tapi, nggak ada orang yang lewat.

Dia jadi takut Woojin kenapa-napa.

"Aish, kalo ketemu awas aja. Udah tau gue khawatir sama dia, tapi malah ngilang gak tau kemana."

Jihoon terus menggerutu. Dia tuh khawatir banget sama Woojin.

Sekarang lagi jamannya kasus pembunuhan. Dia nggak mau kembarannya itu jadi korban.

Atau mungkin malah jadi pelakunya?

"Hoon, hilangin pemikiran buruk lo tentang Woojin. Dia udah nggak kayak dulu lagi."

Jihoon mempercepat langkahnya. Kakinya membawanya berbelok ke gang kecil di kanannya.

Tiba-tiba dia berhenti. Badannya mematung, hidungnya mengendus bau yang ada.

Bau anyir.

"Anjir, siapa yang bocor disini, sih?"

Bukannya pergi, Jihoon malah lanjut melangkah. Dia penasaran sama apa yang ada di dalam gang itu.

Karena, firasatnya mengatakan kalau ada sesuatu yang terjadi disana.

"Kok baunya makin nyengat, sih? Ini ada apaan, ya?"

Jihoon mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. Matanya menyipit untuk memperjelas pengelihatannya karena gang tersebut cukup gelap.

Baunya semakin menyengat. Firasatnya juga semakin buruk.

Jihoon meneguk salivanya tegang, dia takut ada hantu atau semacamnya disana.

Tapi tanpa sengaja dia malah jatuh.

"Aduh, kenapa malah jatoh, sih?! Ini juga apaan lagi basah-basah," gerutunya.

Jihoon memegang apa yang membasahi pakaiannya, lalu dia mengendusnya.

Dirinya langsung membeku. "K-kok bau darah?"

Jihoon memberanikan diri untuk menoleh ke belakang, ke arah sesuatu yang menyandungnya. Senter ponsel dia nyalakan dan dia arahkan kesana.

"L-LOH, L-LUCAS?!"

Ponsel Jihoon langsung jatuh. Tangan Jihoon gemetar. Namun, tanpa sengaja senter ponselnya menyorot sesuatu.

Sebuah sapu tangan putih yang sangat dia kenal.

Sapu tangan Park Woojin.

Jihoon langsung menggeleng. "Gak, gak mungkin. Gak mungkin dia lagi yang bunuh."

[2] E-mail | 00Line ft. 99Line ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang