DUA

25 6 1
                                    

Janji.

Aku janji sama Gaga, aku gak akan ninggalin Gaga. Apapun yang terjadi. Waktu itu memang kebersamaan aku sama Gaga masih indah. Apalagi waktu masa PDKT. Aku jatuh hati sama Gaga karena Gaga orang yang sangat jujur. Dia tampak sangat sayang sama aku. Waktu itu aku baru putus dari Gilang dan malah sekelas sama dia waktu kelas 2, tapi Gaga membuat aku melupakan semua masalah Gilang. Sekelas dengan Gilang enggak lagi membuat aku sakit hati dengan adanya Gaga.

Tapi kenapa Gaga berubah? Aku enggak habis pikir. Empat bulan terakhir Gaga lebih suka marah, malah sering hampir lepas kendali hampir memukul aku. Kalau enggak ada Merra dan Arian, mungkin Gaga bakal berhasil mukul aku. Tapi aku bertahan sama dia, karena aku udah janji.

"Dia sayang banget sama kamu, Za. Makanya dia bisa secemburu itu sama kamu," kata Merra waktu Gaga baru mulai banyak cemburunya. Tapi Merra jadi benci sama Gaga karena Merra menemukan memar di tanganku gara-gara Gaga megangin aku kenceng banget sampai tangan aku merah-biru-ungu.

Aku iri banget sama Merra, ya udah tinggi, cantik, tajir, punya pacar yang baik banget lagi. Mau ngurusin temennya Merra (aku!) padahal bukan urusannya. Mereka memang pasangan serasi. Sama-sama baik banget dan sama-sama menawan. Mereka pacaran dengan cara yang normal. Bukan menjadikan salah satu dari pasangan sandsack.

Tapi aku udah janji sama Gaga. Tapi aku juga udah janji sama Merra.

Malam itu, waktu aku sedang mengerjakan tugas Bahasa Inggris, ketika tiba-tiba HP-ku bunyi heboh. Aku sudah bisa menebak siapa yang sms. Waktu aku sedang mikir apa aku baca dulu apa langsung hapus, tiba-tiba dering HP bunyi lagi. Kali ini telepon. Dari Gaga. Pasti marah karena smsnya lama dibales. Gggrrrrr!

"Halo?" sahutku kesal.

"Qiza." Suaranya memelas.

***

"Belom putus?" Merra mendelikku dengan sadis waktu Gaga baru hengkang dari kelas tepat waktu bell berbunyi. Aku cuma diam, enggak berdaya.

Sepanjang pelajaran Merra bungkam. Pasti dia ngambek. Habis gimana, dong? Gaga nelepon tadi malem, minta maaf sambil nangis. Menagih janjiku. Aku enggak bisa ninggalin Gaga sekarang, bukan waktu yang tepat. Apalagi waktu dia cerita kalau kakaknya baru kena masalah lagi dan dia kena imbasnya.

Kakaknya, ummm... mengalami depresi berat gara-gara enggak lulus kuliah di ITB dan dia enggak daftar kemana-mana lagi selain ITB. Jadi dia cuma bengong di kamar dan enggak kemana-mana. Enggak bisa ngapa-ngapain dan Gaga selalu dijadikan sasaran kekesalan Ibunya karena kecewa anak perempuan satu-satunya yang cantik malah mengalami depresi berat yang bisa sesekali mencoba bunuh diri.

Kalau Kak Vivi kambuh dan ngamuk, Gaga pasti selalu ngurusin Kak Vivi. Ibunya Gaga udah enggak sanggup lagi dan sering sakit-sakitan, sedangkan ayah Gaga sibuk kerja dan lebih sering keluar negeri dibanding di rumah. Keadaan keluarga yang kacau. Itulah alasan Zitta putus sama Gaga. Dan aku enggak mau ngulangin apa yang pernah Zitta lakukan sama Gaga.

Waktu istirahat pertama, Merra langsung pergi tanpa ngajak aku atau Chacha atau Magi keluar untuk jajan. Jadi aku diam di kelas sambil nulis-nulis dan ngobrol sama teman-teman sekelas yang sama-sama enggak keluar.

"Kita main kartuuuuu!" Gilang mengeluarkan satu pak kartu remi dan langsung disambut oleh anak-anak lain. Aku yang memang suka banget main poker sama anak-anak sekelas, langsung ikutan.

Tapi karena yang main lebih dari empat orang, kami malah main setan-setanan. Aku duduk di antara Chacha dan Tria dan mejaku yang dijadikan TKP. Aku sedang mengambil kartu dari tangan Tria yang tinggal sedikit, sambil menjerit-jerit heboh, takut kartu setan yang aku ambil. Ditambah Magi, yang duduk di sebelah Tria malah bikin deg-deg-an. Aku mengambil satu kartu dan ternyata kartu itu tidak ada yang cocok dengan kartu yang kupegang. Dan serentak anak-anak yang lain menjerit-jerit senang.

"Tria nyebeliiinnn!!" aku tertawa sambil membanting-banting kartuku di depan meja Tria. Yang bersangkutan meleletkan lidahnya, tampangnya puas banget.

BRAK!

Kami semua serentak melihat ke pintu kelas. Takut ada guru. Tapi di ambang pintu cuma ada Gaga. Wajahnya merah, marah. Aku terpaku, kaget. Kenapa lagi dia? Datang-datang kok marah-marah, sih?

Pinky PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang