SEMBILAN

9 2 5
                                    

Besoknya aku enggak masuk sekolah setelah semalam pergi ke dokter dan dinyatakan gejala deman berdarah. Dan kemarin sore Merra meneleponku dari Jakarta. Dia minta maaf enggak membalas SMSku karena dia langsung menghubungi Arian dan meminta Arian mengecek keadaanku lalu dia harus kembali dengan kesibukannya disana. Tampaknya dia menyukai peran barunya, aktris film. Lalu dia bercerita tentang Ferdinand! Katanya asli cakepnya kayak di surga! Aku merengek iri dan meminta foto Ferdinand kalau itu enggak memalukan.

Merra menghabiskan satu setengah jam istirahatnya untuk meneleponku dan banyak bercerita. Sebentar lagi mereka akan pergi ke Prancis untuk proses shooting dan dia ribut minta aku bikin daftar oleh-oleh. Anak itu memang aneh, dia yang pergi tapi dia juga yang ribut minta dibikinin list oleh-oleh. Aku sangat yakin, Merra enggak akan pernah berubah walau dia kelak akan menjadi aktris terkenal seperti Dian Sastro sekalipun. Aku sedikit enggak enak hati ketika Merra bilang aku dan Arian harus saling menjaga karena aku adalah sahabat kesayangannya dan Arian adalah pacar tercintanya. Seandainya Merra tahu, bersama dengan Arian adalah hal terakhir yang aku inginkan.

"Janji ya, Za, tolong jagain Arian. Kamu harus kasih tau aku, kalau Arian memang udah bosan pacaran kayak gini sama aku," kata Merra waktu itu.

"Jangan bercanda! Dia cowok baik, dia selalu setia sama kamu!" tukasku.

"Justru karena dia sangat baik, Za. Aku enggak mau dia menderita karena jauh. Kalau dia memang nemu cewek lain disana, aku rela. Tapi kamu harus pastikan cewek itu sayang Arian lebih dari aku sayang dia. Aku udah egois pergi jauh dari dia, sekarang aku ingin dia yang egois. Jadi kasih tau aku kalau dia nemu yang lebih baik, Za. Janji ya?"

"Iya, aku janji." Aku lagi-lagi mengumbar janjiku. Mau bagaimana lagi? Orang-orang di sekitarku memaksaku untuk berjanji!

Lalu hal yang paling mengerikan adalah Arian mampir kerumah sepulang sekolah. Setelah dia mengantarku pulang kemarin, Mam jadi suka sama Arian dan mereka juga ngobrol-ngobrol entah ngobrol apa karena aku langsung diantar ke kamarku di atas. Mam memang doyan banget ngajakin ngobrol teman-temanku yang bertandang ke rumah. Untung Arian harus kembali ke sekolah, kalau enggak aku gak tahu deh, cerita apa yang diumbar Mam tentang aku. Aku enggak GR, Mam itu suka sekali menceritakan masa kecilku yang sangat nakal ke semua temanku.

Jam tiga sore dia sudah ada di depan pagar rumahku, masih memakai seragam. Aku ingin pura-pura tidur, tapi dengan briliannya Kak Fikri bilang aku lagi main game di laptop Pap dan enggak tidur. Sayang sekali si Odong itu enggak kuliah hari ini.Dan aku yakin sekali, setelah obrolan yang kuyakini seru kemarin antara Mam dan Arian, Mam pasti dengan senang hati menyuruh Arian masuk.

"Hei." Arian ragu-ragu memasuki kamarku.

"Hei. Kok kesini?" aku menaruh laptop milik Pap yang kujarah kemarin-kemarin ke meja di samping tempat tidurku.

"Kan nengok kamu lagi sakit. Kata Mama kamu kena gejala DB, ya? Kok bisa sih?" Arian duduk di kursi meja belajar di sebelah ranjangku. "Emang di sekolah banyak nyamuk kali ya?"

"Kali." Aku mengangkat bahu. "Gimana di sekolah?"

Arian sibuk bercerita sementara aku cuma mengangguk-angguk. Dia bilang di kelasku kebetulan lagi gak banyak PR. Dia tanya sama Magi dan Chacha. Ya ampuun dia sampai tanya-tanya segala ke teman-teman sekelasku. Aku bisa gila kalau ini terus berlanjut. Tapi ini pasti bakal terus berlanjut, aku yakin. Aku kan sudah janji sama Merra enggak akan ninggalin Arian sendirian.

Setelah update keadaan sekolah dan Mam yang datang ke kamar bawa minuman segar, ikutan ngobrol-ngobrol sedikit, akhirnya Arian menyatakan aku harus istirahat lagi. Dengan galak yang dibuat-buat dia menyuruhku tidur, jangan mainan HP, jangan baca sambil tiduran, jangan baca di tempat yang gelap. Pokoknya Arian sudah ngalahin bawelnya Mam.

Pinky PromiseWhere stories live. Discover now