TUJUH

15 3 1
                                    

Besoknya kami berdua ke rumah Merra hanya untuk mengambil surat izin tidak masuk sekolah karena Merra harus ke Jakarta. Aku secara singkat menceritakan kejadian tadi malam (minus Arian yang mencubit pipiku) pada Merra dan ketika Merra mengecup kilat pipi Arian yang memar bekas kena tonjok Gaga aku segera memalingkan wajah. Perasaan tidak nyaman terus merasukiku.

Di sekolah aku benar-benar tersiksa. Arian datang ke kelas waktu istirahat, dia mengecek apa aku baik-baik aja, apa Gaga sudah melakukan komunikasi lagi seperti SMS atau bahkan nyamperin aku ke kelas atau belum. Aku sedang malas keluar, jadi aku cuma diam di kelas main kartu lagi dengan teman-teman yang lain. Arian datang lagi, dia memberikan kotak nasi padaku, dan aku harus mau makan. Mati, deh! Jantungku berdebar heboh!

Pulang sekolah, Arian membawaku ke toko buku sebelum pulang. Arian suka baca, sama denganku, jadi kami asyik-asyikan di toko buku dan Arian memborong tiga buku baru sedangkan aku hanya membeli komik Detective Conan terbaru. Jatah beli novelku kalau aku lagi jalan-jalan sama orang tuaku, mereka akan memastikan aku membeli novel yang bermutu.

"Merra enggak bakal masuk selama seminggu. Katanya aku harus jagain kamu terus. Ya ampuuun, dia tuh yah!" kata Arian waktu dia menghentikan mobilnya di depan rumahku.

"Hmmm... gak usah repot-repot kali, Ar," jawabku kaku.

"Ya enggaklah! Kamu tuh udah kayak adik buat Merra. Berarti Adik juga buatku," katanya sambil tersenyum.

Entah kenapa hatiku sakit sekali mendengarnya. Jadi aku cuma tersenyum lemah dan mengucapkan terimakasih dan langsung keluar dari mobil Arian. Aku menatap mobil Arian yang hilang di kejauhan. Perasaanku sekarang sangat aneh pada Arian, dan aku enggak mau ini terus berlanjut.

Aku enggak akan suka sama Arian, janjiku pada diri sendiri.

***

Pagi-pagi sekali aku bangun, siap-siap ke sekolah seperti biasa. Jam enam tepat aku sudah beres sarapan dan duduk manis di bangku teras, menunggu Arian menjemput. Tapi jam enam lewat seperempat Arian belum datang juga. Aku malah jadi ketiduran di bangku teras.

"Hihihihihi..."

Aku terbangun dan mengerjapkan mata. Kaget banget ada yang terkikik di depanku. Aku langsung mundur dan kepalaku membentur kaca jndela rumahku. Suara tawa berubah menjadi terbahak dan dia duduk di sebelahku.

"Sakit?" tanyanya sambil terus ketawa.

"Menurut L?" sahutku sengit sambil mengusap-usap belakang kepalaku yang terbentur keras. Aku sekarang bisa melihat Arian duduk di sebelahku sambil menutup mulutnya, menahan tawa. "Jam berapa sekarang?"

"Jam setengah 7." Arian bangkit sambil mengusap-usap kepalaku. "Yuk, ah! Nanti telat."

"Udah telat kali." Aku cemberut sambil menepis tangan Arian. Aku tertegun melihat ada motor nangkring di depan pagar rumah alih-alih mobil Karimun hitam. "Mobilnya mana?" aku mengikuti Arian keluar gerbang.

"Diservice. Lagian kita cuma berdua ini, atau kamu keberatan kalau pake motor?" Arian menyerahkan helm ­half-face padaku sementara dia mengenakan helm ­full-face sambil menaiki motor.

"Memang kenapa kalau pake motor?" tanyaku sambil memanjat ke atas motor Arian.

"Kali takut debu, takut rambutnya berantakan, takut kepanasan." Arian ketawa sambil membantuku menaiki motornya.

"Kenapa takut? Enggak ngigit." Aku memeluk tasku. "Asal jangan kebut-kebut aja. Lagian kamu aneh, masa kelas 2 SMA udah pake mobil? Memangnya udah punya SIM?"

"Mau motor atau mobil, umur 16 belum punya SIM, Al," sahut Arian sambil meluncur.

"Besok-besok kita pake angkot, deh! Aku takut," sahutku dari belakang, berusaha mengalahkan deru angin di sekitar kami.

"Tenang, aku punya SIM, kok!" Arian ketawa. "Kita gak akan ketangkep polisi."

"Aku bukan takut polisi, aku takut kalau yang nyetirnya anak di bawah umur!" sahutku sambil cemberut, walau aku yakin Arian enggak akan bisa lihat bibirku yang tebel lagi maju.

"Tahun depan aku punya SIM," sahut Arian lagi ketika kami mulai terjebak kepadatan kendaraan di dekat gerbang tol.

"Kalau gitu tahun depan aja kamu jemput aku pake kendaraan sendiri ke sekolah," tegasku lagi.

Arian membuka kaca helmnya dan menoleh padaku. Dia enggak terlihat marah atau terganggu denganku yang terang-terangan gak asyik, sok taat peraturan, sok menasehati, dan lain lagi yang bikin orang lain mungkin bakal berhenti di pinggir jalan dan nyuruh aku turun naik angkot.

"Kalau sama Merra aku harus pake mobil, nanti dia dimarahin orang tuanya," ujar Arian terlihat menyesal dan aku jadi gak enak hati.

SIAPA ELO, ALQIZA?? Pacarnya Arian aja gak sebawel eloo! Nyuruh-nyuruh segala! Emang yakeeen taon depan dia masih mau jemputin eloooo?

Pinky PromiseOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz