DUABELAS

7 2 0
                                    

Sesaat setelah mall itu buka, kami langsung ke lantai paling atas dan membeli tiket Harry Potter and The Goblet of Fire yang belum lama ini keluar. Sesungguhnya aku dan Arian sudah pernah nonton, tapi karena enggak ada pilihan lain kami lebih baik menonton film yang sudah pasti seru.

"Filmnya masih lama, Al. Masih sejaman lagi," kata Arian sambil mengantongi tiket nontonnya ke dalam saku jaketnya.

"Biasanya kamu ngapain kalau nunggu film?" "Biasanya kamu nunggu dimana?"

Kami saling bertatapan dan ketawa, enggak sempat main flip-flop karena seketika juga kami menjawab, "Toko buku!"

Aku dan Arian akhirnya turun menuju toko buku yang ada di sana, ingin ketawa juga karena ternyata datang seketika setelah mall buka itu membuat mall seperti milik sendiri. Untungnya aku tadi pagi mandi dan keramas sebelum pergi ke rumah Merra, jadi walau pun aku gak seoke Merra, minimal aku gak bau ketek atau bau jigong atau punya rambut berminyak yang Amerika pun bakalan tertarik pada rambutku.

Dan Arian memang kece banget, padahal dia cuma pake jeans belel, sepatu sekolah, dan sweater, rambutnya pun terlihat gak terlalu teratur. Selama jalan-jalan keliling-keliling beberapa saat, aku bisa merasakan tatapan mbak-mbak penjaga toko buku dan toko-toko yang kami lewati, semuanya menatap Arian lebih lama dua atau tiga detik. Aku merasa tatapan mereka seperti; "Ini cowok ganteng lagi ngajak jalan-jalan cumi."

"Kamu suka baca buku apa?" Arian tiba-tiba memecahkan lamunanku akan dirinya.

"Apa aja yang ada hurufnya," jawabku tanpa mikir, dan tolol. Arian ketawa. Setidaknya buat Arian aku bukan orang tolol, tapi orang lucu. Mendingan mana?

"Kamu baca ini, dong?" Arian menunjuk satu tumpuk buku dari tumpukan bertuliskan best seller dengan genre cinta-cintaan dan judul yang menyayat-nyayat jiwa.Perpisahan di Rabu Kelabu, Jarak Antara Aku, Dirimu, dan Dirinya. Uuuuh, gak kuat!

"Aku enggak baca yang gituan," sahutku sambil meraih satu buku dan meneliti bagian belakangnya.

"Kenapa? Gak level?" Arian ikut mengambil satu judul lain dan membaca sinopsisnya.

"Bukan," aku menghela napas dan menyimpan kembali buku itu. "Aku gak suka yang populer."

Atas jawabanku itu Arian langsung ketawa ngakak sambil menyimpan kembali buku ke tumpukkannya. Aku mungkin seharusnya berpikir ulang soal cita-citaku di masa depan, aku gak usah cita-cita jadi penulis, aku kenalan sama Komeng aja siapa tahu diajakin main di acara apalah gitu.

"Kamu itu ya, anaknya hipster banget! Coba, kutanya deh, kamu suka Harry Potter, kan?" tanya Arian.

"Ya suka, dong! Kamu kira kenapa kita harus nonton Harry Potter hari ini?" jawabku semangat.

"Kamu paling suka siapa di buku itu?" tanyanya lagi.

"Aku suka sama Snape," jawabku langsung. Gak usah mikir panjang untuk urusan itu.

"Kenapa? Dia kan jahat."

"Enggak. Aku mikirnya, kalau aku jadi guru yang harus ngadepin anak-anak nakal sejenis si Harry ya memang bikin setres," jawabku sambil berjalan-jalan di lorong-lorong buku.

"Pas dia ngebunuh Dumbledore?"

"Nah, itu aku kaget. Padahal biasanya yang mencurigakan dari awal memang enggak mungkin pelakunya. Kamu inget kasus di buku pertama? Mereka bertiga nyangkanya si Snape pelakunya, padahal Profesor culun.

Kamu harus baca Agatha Christie, di bukunya yang Cards on the Table dia tulis; Pendapat umum mengatakan bahwa sebuah cerita detektif itu seperti pacuan kuda. Pilihan orang banyak adalah kebalikan dari unggulan di pacuan itu sendiri. Jadi, besar kemungkinan pemenangnya adalah orang yang sama sekali tidak diduga. Itu tandanya, orang-orang pada umumnya bakalan mikir kayak gitu. Jadi, bisa jadi kebalikannya. Orang yang terlihat sangat jahat di awal, bisa aja sesungguhnya dia gak jahat. Pasti ada alasan kenapa dia sampai bunuh Dumbledore."

Aku terlalu semangat pidato sampai aku enggak sadar ternyata aku terlalu banyak ngoceh, bisa dilihat dari tatapan Arian yang sepertinya sudah mau ketawa sedari tadi. Mungkin karena emang dia cowok baik dan aku ngomong kayak guru lagi ngajarin muridnya, dia terima-terima aja. Tapi aku kaget ketika dia malah tersenyum dan mengabil salah satu buku yang entah apa dari rak di sebelahnya (karena selama aku ngomong ternyata membuat kami terus berjalan melewati lorong-lorong buku tanpa memerhatikan kami berjalan ke seksi buku mana).

"Kamu memang orang yang enggak umum," gumamnya pelan tapi cukup jelas untuk aku bisa menangkap apa yang dia bilang.

Aku,yang sudah mulai melupakan kegugupanku dan kesalah tingkahanku gara-gara mengoceh tentang novel yang paling aku suka sejak aku mulai bisa baca, malah kembali berdebar-debar karena kata-kata Arian tadi.

Pinky PromiseWhere stories live. Discover now