DUA PULUH DELAPAN

8 0 0
                                    

"Iiih, aku ngenalin kalian bukan karna kesian sama kamu yang jomblo. Biru beneran ngeceng, katanya kamu cantik, imut. Pingin kenalan aja. Siapa tahu cocok, jalan terus. Kalau enggak ya enggak apa-apa," sanggah Merra sambil merengek manis."Ya, ya, ya. Siapa tahu kita bisa jadi sodara beneran. Arian juga dukung, lho!"

Aku memandang Arian yang menolak melihatku. Dia malah pura-pura sibuk dengan HPnya. Ternyata memang aku hanya selingan untuknya. Kenapa aku begitu bodoh mau percaya sama semua kata-kata manisnya? Aku percaya sama imejnya sebagai cowok baik, anak teladan, anak pintar, anak OSIS. Ternyata aslinya penipu. Kalau memang dia enggak suka sama Merra yang ternyata serigala berbulu domba, dia apa? Monster berbulu kelinci!

Aku belum sempat menjawab apa-apa karena ketika kami sampai di depan gerbang sekolah, sepupu Merra bangkit dari duduknya di pos satpam. Aku bisa melihat Biru memang tipeku. Tubuhnya kurus tetapi aku bisa melihat otot tangannya yang padat. Kulitnya tidak seterang Arian dan tinggi badannya enggak terlalu jauh beda sama Arian yang kayak tangga, dan aku yakin kalau dia pemain basket, dilihat dari sepatu yang dikenakannya. Dan dia jelas lebih tua.

"Ini Biru, Za. Bi, ini Alqiza. Biru kuliah semester dua di ITB, Za." Merra segera mengenalkan kami. "Dia ini atlet baseball, Za."

Merra ini sangat tahu seleraku. Cowok pintar yang jago olahraga. Tapi saat ini, aku mau berkenalan dengan Biru, bukan karena dia tipeku. Tapi karena kata Merra Arian mendukung. Oke. Mendukung aku? Mendukung calon pacar dikenalin sama cowok lain? Baik.

Kami berjabat tangan dan dia tersenyum dan aku membalas senyumnya. Aku tidak keberatan ketika Merra menyuruhku duduk di samping Biru yang menyetir sementara Merra dan Arian duduk di kursi belakang. Bahkan kami mengobrol macam-macam tanpa memedulikan penumpang di belakang kami.

Kami jalan-jalan di BSM, mampir ke toko aksesoris, makan di pizza hut, lalu ke lantai atas sebelah bioskop untuk main bowling. Aku enggak pernah main bowling, tapi Biru dengan manis mengatakan dia akan mengajariku. Kami berempat bermain bowling dengan seru. Biru mengajariku cara memegang dan menggelindingkan bola.

"Cara lempar bowling itu kayak main softball, Za. Makanya aku suka juga main bowling," kata Biru sambil memperagakan cara melempar.

"Kamu main softball juga memangnya?" tanyaku.

"Kadang. Kalau ada kompetisi slow pitch setiap bulan Ramadhan, klubku selalu ikutan."

Biru mengajariku dengan baik, tapi aku terlalu kecil dan terlalu ringan. Sehingga sesekali aku terseret bola bowlingku sendiri membuat kami ketawa-tawa rame banget. Sesaat aku bisa melupakan kesebalanku pada Arian karena Biru yang selalu menyita perhatianku.

Tapi ketika Arian dan Merra mulai mesra sambil menggelindingkan bola bowling, konsentrasiku pecah. Kakiku terpleset di atas lantai bowling yang licin dengan sepatu khusus yang juga licin. Aku terjatuh berdebam cukup keras, membuat Biru, Merra, dan Arian langsung berlarian menghampiriku. Arian yang sampai duluan.

"Al, kamu gak apa-apa?" tanyanya dengan raut wajah yang terlihat sangat khawatir. Dia meraih tanganku dan menelitinya karena telapak tanganku menggelepak lantai agak terlalu keras sehingga sekarang merah.

Aku menarik tanganku dengan kasar dan ketika Biru menghampiriku, aku membuang muka dari Arian. Selain telapak tanganku, kakiku juga ternyata terkilir. Aku membiarkan Biru mengangkat tubuhku untuk didudukkan di tempat duduk kami. Merra membukakan sepatu bowlingku dan meringis melihat pergelangan kakiku yang mulai merah dan bengkak sedikit.

"Pakai ini, Al." Arian tiba-tiba muncul entah dari mana. Dia menyodorkan satu kantong plastik isi es batu.

Biru menoleh dan mengambil plastik itu dari Arian dan mengompres kakiku segera. Aku tersenyum dan berterimakasih pada Biru tanpa melirik Arian sedikit pun. Akhirnya, tanpa sempat ke mana-mana lagi, kami pulang. Mereka mengantarku pulang duluan ke rumah.

"Gak usah buru-buru, Bi. Arian bisa anter aku pulang, kok." Merra mengedipkan mata padaku dan dia menggandeng Arian keluar pagar rumahku, berjalan berdempetan menjauhi rumahku.

Karena Biru dibawa oleh Merra, juga kuliah di ITB, juga sopan pada orang tuaku, mereka memperbolehkanku duduk di ruang tamu dengan Biru. Menghabiskan sisa malam Minggu dengan batas jam 8 malam. Dan ngobrol dengan Biru memang menyenangkan, dia pintar dan lebih tua. Jelas lebih tahu banyak hal. Dia menceritakan kampusnya, klub baseball-softballnya, Merra, dan banyak hal lagi.

Ketika Biru pulang pada jam 7 malam, aku dibantu si Odong menaiki tangga menuju kamarku. Setelah dia pergi dan aku sendirian di kamar, aku bisa menangis sepuasnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 04 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Pinky PromiseWhere stories live. Discover now