ENAM

11 3 0
                                    

Aku berlari lagi ke kamar dan langsung mengirim sms pada Merra. Laporan. Dua detik setelah smsku sampai, telepon wireless rumah yang di ruang keluarga berbunyi. Aku tergopoh-gopoh mengangkat telepon sebelum si usil Odong yang angkat (dia naksir Merra).

"Qiza! Jangan biarin dia masuk! Usir!" kata Merra tanpa basa-basi.

"Gak mungkin, Ra! Nanti Mam bilang apa." Aku berbisik pelan.

"Kalau gitu minta tolong sama Arian! Biar dia aja yang usir Gaga. Aku telepon dia dulu."

KLIK!

Telepon diputus. Aku langsung mengintip lagi di balkon sambil menggenggam HP, menunggu kabar. Tapi Hp-ku tak kunjung berbunyi. Sebagai gantinya, aku melihat lampu motor di ujung jalan, melaju kencang dan berhenti tepat di depan mobil Gaga. Setelah lampu motor mati, aku bisa melihat Arian turun dari motor mengenakan celana pendek dengan kaos putih.

"Ngapain malem-malem gini di sini, Ga?" sapa Arian santai.

"Pertanyaan itu berlaku juga buat kamu," sahut Gaga dingin.

"Aku lagi lewat aja. Rumahku kan enggak jauh-jauh amat dari sini," jawab Arian masih terdengar ramah.

Aku langsung berbalik dan menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Aku bisa melihat wajah keheranan Mam, Pap dan Kak Fikri yang sedang asyik nonton, ketika aku berlari ke ruang tamu dan mengintip dalam kegelapan. Dari sini aku enggak bisa mendengar obrolan mereka. Tapi aku bisa melihat kalau Gaga dan Arian dalam posisi siap tempur.

Aku bingung. Aku enggak boleh mencelakakan Arian, tapi aku takut sama Gaga. Tapi kalau aku enggak keluar, Gaga bakal terus ada di sana dan bakalan ada perkelahian. Aku enggak mungkin membiarkan Arian membelaku kalau caranya seperti itu.

Gaga sudah siap melayangkan tinjunya ke wajah Arian. Aku langsung buru-buru membuka kunci pintu ruang tamuku. Menghambur keluar dan pemandangan diluar sudah menjadi kebalikannya. Gaga yang sekarang hampir kena bogem Arian. Aku memekik kaget dan itu mengalihkan perhatian Arian, Gaga langsung menojok Arian telak di pipi. Sama seperti waktu Gaga menonjokku.

Aku menjerit panik dan seketika saja orang tuaku dan Kak Fikri menghambur keluar. Aku berlari membuka pagar sementara Gaga ketakutan melihat orang tuaku, masuk mobil dan langsung tancap gas. Kabur.

"Arian!" aku berusaha mengangkat Arian bangun. Arian malah ketawa pelan dengan bibirnya yang berdarah. "Kok ketawa?" protesku.

"Kamu enggak akan kuat angkat aku," katanya serak.

Kak Fikri dan Pap langsung membantu Arian berdiri. Mam melihat ke titik nyala lampu mobil Gaga yang berbelok dengan cepat sambil menggeleng-geleng cemas.

"Kamu anaknya Pak Landi dari Blok H, yah?" tanya Pap setelah melihat Arian dengan jelas di bawah lampu jalan depan rumahku.

"Iya, Oom. Saya Arian. Tadi saya lewat liat ada orang mencurigakan di depan rumah Oom..."

"Itu tadi Gaga ya, Za?" potong Mam. "Kenapa Gaga diusir?"

"Memang itu Gaga, Tante. Gaga ngejar-ngejar Alqiza terus, Alqiza jadi takut. Makanya saya usir Gaga. Tapi dia malah nonjok saya." Arian mengangguk sopan.

"Lho? Bukannya Gaga pacar kamu, Za?" tanya Kak Fikri heran.

"Udah putus..." sahutku pelan sekali.

"Udah putus lama, Kak. Tapi Gaga ngejar-ngejar. Makanya saya bantuin Alqiza ngusir Gaga, atas permintaan Merra." Arian menjawab Kak Fikri dengan lancar.

Aku mengangguk membenarkan dan semua keluargaku akhirnya menyuruh Arian masuk, soalnya bibir Arian berdarah dan harus diobati dulu sebelum dia pulang. Kalau enggak, bisa-bisa Pak Landi bakal ngamuk anaknya jadi babak belur begini sepulang dari rumahku.

Setelah selesai, aku mengantarnya ke motor. Aku sudah hampir meneteskan airmata ketika dia memundurkan motornya keluar pagar. Arian tiba-tiba berhenti.

"Kok nangis?" tanyanya heran.

"Habis, aku terlalu banyak melibatkan orang. Padahal masalah sepele kayak gini. Merra sama kamu jadi ikut susah." Suaraku bergetar, menahan tangis.

"Hahahaha." Arian ketawa lepas sambil menyalakan motornya. "Kalau gitu, kamu harus janji, pacar berikutnya jangan salah pilih, ya!"

Arian mencubit pipiku pelan sambil tersenyum dan meluncur pergi dengan santai dengan motornya. Aku bengong. Terpaku. Aku mengusap pipiku yang tadi disentuh Arian dan sebelah lagi memeriksa detak jantungku. Berdebar keras. Aku masih diam di depan pagar, perutku tidak enak. Aku segera masuk ketika suara Pap memanggilku dari dalam.

Aku tidak mengerti kenapa jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.

Pinky PromiseDove le storie prendono vita. Scoprilo ora