EMPATBELAS

7 1 0
                                    

Ketika kami sudah sampai depan rumahku, aku menghela napas pelan dan berusaha menguatkan diri menjadi wanita pelarian. Setidaknya, jika aku harus jadi pelarian, minimal aku wanita pelarian yang terhormat. Tidak mengemis cintanya dan pergi dengan anggun, tanpa harus bawa perasaan, tanpa dia harus tahu sesungguhnya aku suka sama dia dan hancur berkepeing-keping di dalam karena aku enggak bisa memilikinya.

"Oke, makasih, Ar. Sampai ketemu dua minggu lagi di sekolah," ujarku sambil membuka sabuk pengaman dan tersenyum.

"Al," Arian menahan tanganku dan akhirnya menatapku dan aku harus berusaha tegar kalau dia minta melupakan ciuman tadi. Itu pasti terjadi. Aku gak usah berharap banyak. Aku jangan jadi manusia jahat. Aku harus lupakan semuanya seakan-akan ciuman itu gak pernah kejadian.

"Aku suka kamu."

Eh, atau jangan dilupakan?

Atau ini cuma ulah iseng Arian? Smile! You're on candid camera!

"Ar, kamu pacar sahabatku." Aku menghela napas setelah beberapa detik berlalu dengan garingnya dan aku yakin ini bukan acara TV.

"Tapi aku udah lama suka sama kamu!" ujarnya ngotot.

"Jangan bohong, Ar. Kalau kamu mau bilang ke aku untuk lupain ciuman di bioskop tadi, aku bakal lupain. Aku anggap itu gak pernah terjadi. Kamu cuma kangen sama Merra, kan?" Aku menatapnya sambil berharap dia menjawab enggak, bukan, itu ciuman sungguhan tulus dari dalam hatinya. Dan aku mulai merutuki diriku sendiri, ternyata dari sananya aku memang jahat!

Tetapi aku juga sedih, karena ternyata aku memang berharap Arian enggak sungguh-sungguh mengatakan suka. Karena dengan dia bilang suka, aku malah menyiram rasa yang enggakboleh tumbuh setelah kuberi pupuk kandang!

"Kamu mau lupain?" tanyanya."Aku enggak, Al."

"Ar... jangan aneh-aneh. Aku harus bilang apa ke Merra kalau kamu kayak gini? Aku bakal lupain dan kamu juga harus," ujarku akhirnya. Aku memang berpikiran jahat dengan berharap Arian menciumku dengan tulus, tapi aku enggak bisa benar-benar jahat dan merebutnya dari Merra. "Dan kayaknya kamu gak usah jemput-jemput aku lagi. Kita harus jaga jarak dan kamu harus fokus sama Merra yang lagi jauh."

Aku melepaskan tangan Arian dan kubuka pintu mobilnya dengan cepat. Aku harus segera pergi dari hadapan Arian, karena aku tahu sebentar lagi aku pasti bakalan menangis. Menolak orang yang kamu sukai sangat berat, apalagi alasan menolak itu karena orang itu milik sahabat sendiri. Tapi tangan Arian terlalu kuat untukku, dia cowok tinggi dan besar (walau kurus) jelaslah aku pasti kalah. Dia cuma menatapku dengan napasnya yang terdengar menderu.

"Aku suka kamu udah lama, Al," akunya sambil masih tetap mencengkeram pergelangan tanganku.

"Jangan ngelawak!" Aku segera menepis tangan Arian. "Kamu mau cerita omong kosong kalau kamu sebenernya ngincer aku bukan Merra, tapi kamu enggak pernah bisa deket sama aku gara-gara kita gak pernah sekelas?"

"Seandainya memang gitu ceritanya, enggak akan aku jadian sama Merra. Aku enggak akan menjadikan siapa pun batu loncatan cuma untuk mendapatkan apa yang aku mau," jawab Arian. Dan entah kenapa aku merasa malu, siapa aku gitu ya, sampai berani-beraninya menganggap Arian susah-susah berbohong demi aku? Dan itu cukup memberikan aku kekuatan untuk dengan paksa membuka kunci mobilnya dan kabur masuk ke gerbang rumah.

"Sabar, ini cobaan," bisikku pada diri sendiri. Mungkin ini yang namanya kesetiaan seorang teman sedang diuji.

Pinky PromiseWhere stories live. Discover now