LIMABELAS

8 1 0
                                    

Arian

Cium dia.

Itu dua kata pertama yang muncul di otakku waktu aku melihat mata bulat Alqiza yang balas menatapku dalam gelap. Dan itu pula yang kulakukan tanpa aku bisa menahannya. Mana bisa tahan kalau suasana sangat mendukung? Sudah sejak lama aku selalu membayangkan Alqiza yang ada di sisiku, bukan Merra.

Ah, playboy macam apa kau ini, ya kan?

Tapi jangan dulu menyalahkanku atas apa yang terjadi pada otakku, perasaanku, saraf-saraf di seluruh tubuhku. Ini adalah rahasia terbesar yang selalu kusembunyikan baik-baik dan selalu bersikap seakan aku tidak merasakan apa-apa yang beda. Iya. Aku sudah lama ingin putus dari Merra.

Alqiza salah, aku menyukainya bukan dengan cara menginjak Merra agar aku bisa melompat meraih Alqiza. Itu alasan klise orang untuk menyenangkan hati perempuan, dan itu basi. Aku menyukai Merra dengan tulus pada awalnya. Kami satu kelas ketika kelas satu. Dia adalah gadis yang ramah, manis, baik, suka menolong tanpa ragu. Penggemarnya bukan hanya laki-laki, perempuan pun banyak yang menyukainya. Dia cantik luar dan dalam.

Merra yang anggota ekskul teater dan aku yang anggota OSIS semakin sering bertemu karena sekretariat kami yang bersebelahan. Aku bahkan sering melihatnya sedang latihan sendirian di depan sekre sebelum orang-orang berkumpul. Dan Alqiza adalah teman yang selalu menempelnya ke mana-mana.

Merra pernah bercerita kalau dia sangat menyukai seni peran sementara Alqiza suka menulis cerita. Mereka sering berkolaborasi berdua dan beberapa tulisan Alqiza memang banyak dipertimbangkan oleh senior-senior teater mereka. Bahkan dua naskah dari Alqiza sudah pernah dimainkan dan salah satunya memenangkan lomba teater nasional.

Dan dimulailah nama Alqiza perlahan mengisi otakku. Sejak aku mendekati Merra, dia sering sekali menyebut-nyebut Alqiza. Sampai akhirnya kami berpacaran dan Merra mengenalkanku pada Alqiza dari kelas C, sementara kami dari kelas J. Merra bercerita kalau Alqiza selalu salah memilih pacar. Beberapa bulan setelah masuk SMA, Alqiza pacaran dengan seorang berandalan sekolah yang terlihat seperti anak culun. Aku ingat anak itu, aku pernah melihatnya beberapa kali karena dia dari kelas H yang memiliki jadwal olahraga yang sama dengan kelasku dan kelas I. Benar kata Merra, anak itu kelihatan culun dengan kacamata tebal.

"Tapi, dia itu kalau udah buka kacamata serem banget! Dia teman paling dekat dari panglima tempur geng motor!" Merra mulai menceritakan kesialan Alqiza.

"Kamu tahu dari mana?" tanyaku waktu itu.

"Temenku dari SMA R yang bilang, dia pacarnya segeng sama pacar Qiza. Mereka suka ngumpul di SMA S sebelum nyerang sekolah atau geng lain."

"Terus, kenapa kamu gak kasih tau dia?"

"Bingung! Palingan dikasih tau juga gak mau tau. Biasanya cewek mah gitu, kok, Ay! Nanti paling kalau sedih aku hibur aja. Siapa lagi coba yang mau nampung tangisan orang bodoh kaya dia itu? Ya aku!"

Aku mendengus tertawa mendengar ucapan Merra. Tangisan orang bodoh. Tapi kami baru berpacaran beberapa minggu, jadi kuanggap mungkin itu joke internal di antara mereka berdua. Siapa tahu Alqiza juga menyebut Merra seperti itu. Misalnya, cewek otak udang atau apa. Bukankah semakin kasar ejekan maka semakin akrab pertemanan?

Pinky PromiseWhere stories live. Discover now