DUAPULUH LIMA

12 2 0
                                    

"Hah? Ada apa gimana?" tanyaku pura-pura bego.

"Gak usah pura-pura bego, Qiza." Chacha ketawa pelan dan aku cuma bisa menghela napas pasrah. Aku sudah tahu mereka pasti menyadari sesuatu.

"Arian memang bukan sekali ini aja perhatian sama kamu, karena kamu sahabat pacarnya. Tapi kita tahu ada yang aneh sama kalian berdua," kata Magi sambil berkacak sebelah pinggang.

"Dia kan emang biasanya gitu, disuruh Merra jagain aku dari mantan gila," sahutku masih berusaha memperdaya mereka berdua.

"Gaga udah punya pacar baru, gitu. Kamu enggak butuh bodigado-gado lagi, Za." Magi mendengus sambil ketawa. Lalu mereka cekikikan pelan sambil berdempetan. Aku yang tadinya menyangka mereka mau mendampratku dan menuduhku sahabat bejat jadi merasa lega.

"Hayooo, kamu sama Arian ada apa, hayooo?" tanya Chacha sambil menusuk-nusuk pinggangku dengan jarinya.

"Engga ada apa-apa, ih, kalian mah!" bantahku berusaha menaikan nada setinggi mungkin dengan desibel suara serendah mungkin, takut Mam nguping.

"Jangan bohong sama kita, Za. Sejak kamu sakit itu, waktu Arian bawain kamu makan, kita mah udah tahu, Arian pasti suka sama kamu." Magi ketawa.

"Lagian apa itu, jagain Alqiza yaaa, ih norak banget si eta mah!" Chacha juga ikutan ketawa ngikik bareng Magi.

Akhirnya aku menceritakan semua yang terjadi setelah Merra pergi. Tapi aku enggak bilang sama mereka kalau Merra menghina mereka dengan sadis. Cukup aku yang tahu kekurangan Merra, jangan sampai orang lain tahu. Biarlah Merra meninggalkan kenangan manis untuk teman-teman di sekolah ini. Aku cuma bilang Arian sebetulnya ingin putus sama Merra karena sudah gak ada rasa, titik.

"Kenapa, sih, Arian gak bilang putus aja langsung gitu sama Merra?" tanya Magi setelah beberapa saat kami terdiam.

"Aku enggak tahu. Kayaknya enggak semudah itu, Gi, putus sama orang. Contohnya aku sama Gaga. Dia udah kasar banget sama aku, tapi aku masih bingung gimana caranya aku mutusin dia. Aku lebih milih aku berubah sikap dan akhirnya pihak sana yang mutusin duluan."

"Iya juga, sih. Matahin hati orang itu susah." Chacha menimpali. "Tapi kan dia sukanya sama kamu, harusnya, kalau dia sayang kamu, dia mikirin juga dong perasaan kamu."

"Nah itu dia, Za. Emang yakin, abis putus sama Merra dia mau pacaran sama kamu? Geus nungguan lila-lila, pekteh heunteu (sudah nunggu lama-lama, taunya enggak). Wah! Peurih!" Magi menimpali dan disambut komentar setuju Chacha.

Selepas shalat maghrib, Chacha dan Magi akhirnya pulang dijemput ayahnya Magi. Walau kalau dari sekolah rumah mereka berlawanan arah, tapi kalau dari rumahku rumah mereka searah. Aku membereskan semua DVD-DVD yang sedari siang kami telaah dan memutuskan akan mempersembahkan film Honey yang released tiga tahun lalu, dibintangi Jessica Alba. Kami juga telah membuat pertanyaan di akhir film untuk dijadikan tugas menulis.

"Za, mandi ya sebelum makan!" seru Mam dari lantai bawah dan aku berseru mengiyakan suruhan Mam.

Di bawah pancuran air, aku memikirkan semua omongan Chacha dan Magi. Selama ini aku mengerti apa yang menjadi kesulitan Arian, susah mutusin orang. Mematahkan hati orang itu enggak segampang membalikkan telapak tangan. Perlu mikir lama, apalagi alasannya memang sudah gak ada perasaan apa-apa. Jahat. Tapi hati orang siapa yang tahu? Menyukai seseorang memang di luar kendali semua orang. Tapi kita memiliki kendali atas sikap kita sendiri, bukan?

"Mendingan kamu ultimatum si Arian, dalam berapa minggu gitu gak putus aja mendingan gak usah deket-deketin kamu lagi. Daripada bikin bingung, ini kayak digantungin. Mau sampai kapan digantung?Udah tiga bulan ini, Za! Emangnya jemuran!"

Terngiang lagi kata-kata Chacha tadi sore, dan aku pun jadi bingung sendiri. Mana yang harus didahulukan? Perasaanku, Arian, atau Merra?

Duh, rumit banget, ya?

Keesokan harinya, sepulang sekolah, aku menuju sekre teater di area sekre di sebelah lapangan basket di wilayang kelas XII. Kami akan mengikuti lomba teater yang akan berkolaborasi dengan ekskul perkusi. Aku adalah salah satu dari tiga penulis naskahnya, jadi kami harus sering-sering kumpul untuk latihan dan menyesuaikan naskah. Kenapa naskahnya sampai ada tiga? Karena kami menceritakan 3 karakter yang berbeda dalam adegan yang berbeda.

Ini adalah salah satu hiburanku juga, karena selain aku bisa kumpul dan latihan teater, aku juga bisa ketemu Arian yang suka banyak urusan di sekre OSIS.

Ketika aku berjalan melewati kantin menuju sekre, aku bisa melihat ada kerumunan orang di sana lebih ramai dari biasanya. Aku pikir, mungkin anak-anak teater memutuskan untuk latihan di halaman depan sekre jadi banyak yang menonton. Apalagi anak-anak perkusi ikut serta meramaikan suasana. Tetapi sewaktu aku mendekat tiba-tiba seseorang muncul dari balik kerumunan.

Orang itu Merra.

Pinky PromiseWhere stories live. Discover now