16.Meet Trouble

3.8K 423 8
                                    


Aku menuliskan daftar to-do list hari ini, rutinitas yang kulakukan setiap pagi ketika sampai di kantor. Sembari mengecek semua daftar kegiatan yang telah tertulis, aku menyalakan laptop. Pagi yang hening mengingat, seperti biasa, hanya ada aku dan Mabeth yang telah datang sebelum pukul delapan pagi. Saat-saat yang harus dimanfaatkan sebelum sebentar lagi Nindon datang dan memecah keheningan pagi.

Baru saja aku memasukkan kata sandi di layar laptop ketika terdengar suara pintu ruang Sales Recruitment. Cepat juga Nindon sudah sampai, gumamku sambil melirik ke arah layar ponsel yang masih menunjukkan 7.45 AM.

"Selamat Pagi Niar Arleta," tegur suara dari belakangku. Bukan suara Nindon.

"Eh, pagi," jawabku ragu sambil memutar posisi dudukku menghadap Ibra, pemecah keheningan pagiku. 

"Sudah terima thai tea semalam ya?"

"Oh, sudah, terima kasih," thai terenak yang pernah kuminum, lanjutku dalam hati.

"Dibalas dong pesan saya kalau begitu," seru pria itu sambil tersenyum.

Aku hanya tersenyum kecil, malas membalasnya. Untuk apa membalas puluhan pesan per hari yang menanyakan kapan kandidat untuk areanya akan terpenuhi. Memangnya kurang kerjaan sekali hari-hariku hanya menjawab pesannya saja. 

Mungkin melihat aura muka ku yang masih saja datar dan enggan membalasnya atau membuka pembicaraan lain, Ibra menyerah. Dia menarik kursi di sebelahku dan mengeluarkan ponselnya. Setelah beberapa detik mencari sesuatu, ia menunjukkan layar ponselnya ke arahku. Aku melihat agendanya terpampang di depan mataku.

"Mumpung tengah bulan, saya sudah buat rencana untuk wawancara. Saya ada waktu kosong di tengah minggu depan dan dua hari di minggu ketiga. Kemudian saya punya beberapa CV yang masuk ke surel, beberapa sudah saya kirimkan. Tapi belum dilihat sepertinya," Ibra memalingkan wajah dari ponselnya dan menatapku lekat. 

Hei, aku punya ratusan surel per hari yang harus dicek. "Oh, mungkin terlewat," ujarku acuh dan kembali memperhatikan agendanya. Terus terang, agenda yang dimilikinya sangat rapi untuk ukuran laki-laki. Yah, bukan maksudnya ikutan memberi stigma pada kaum adam, tapi kan biasanya mereka terkenal berantakan.  Lucky contoh nyatanya. 

Ibra mengangkat bahunya, sepertinya dapat menangkap aura kekesalanku. "Oke, saya juga nggak akan menghabiskan waktu berharga kamu lebih banyak. Hanya memberitahu saja rencana rekrutmen area saya. Bukankah kalau cepat terpenuhi, kamu juga yang mendapat kredit?" tanyanya.

"Mungkin," jawabku sambil lalu. "Saya masih ada beberapa area yang harus dikejar dan user yang baik memang seharusnya berperan aktif dalam proses rekrutmen.  Bukankah kalian yang butuh karyawan?"

"Benar, setuju dengan pernyataan itu," jawab Ibra cepat. "Tapi user yang aktif membantu proses rekrutmen jarang mendapat kredit loh. Kami dianggap sama saja, aktif membantu proses rekrutmen atau tidak."

"Curhat?" tanyaku geli. Tak tahan juga aku mengeluarkan pernyataan itu setelah melihat Ibra seperti kelepasan berbicara. 

"Kenyataan," jawab Ibra kali ini, sama tak acuhnya denganku sebelumnya. Tiba-tiba saja ia bangkit berdiri dan mengembalikan kursi yang baru saja didudukinya ke tempat semula. "Saya harus jalan ke customer. Hubungi saya oke? Kita atur lagi jadwal wawancaranya, atau saya perlu kirim kamu thai tea lagi?"  

"Saya usahakan," hanya itu yang bisa kuucapkan. Tak sanggup berjanji lebih jauh lagi mengingat masih ada area Regional yang juga masih kupegang. Penggantiku belum juga datang. 

"Tolong ya, Niar," kali ini mukanya berubah serius. "Saya sangat perlu tambahan FC karena sudah shortage cukup lama."

Aku terdiam. Ibra telihat sangat serius. Aku memang mendengar target area Metro sangat tinggi, jauh sekali dibandingkan dengan regional. Sehingga, kekurangan satu FC saja pasti menganggu aktivitas penjualan mereka. 

"Oke," jawabku pendek. "Panggil saja Leta," tambahku. Bingung juga kenapa aku peduli sekali dengan nama panggilan yang diberikan Ibra.

"Saya lebih suka Niar. Bukankah artinya bagus? Saya harap seperti namamu, kamu bisa bersikap bijak terhadap pekerjaanmu. Tahu prioritas," pungkas Ibra kemudian meninggalkanku.

Astaga. Dia tahu arti namaku. 

Entah kenapa hanya hal itu yang terlintas di kepalaku, ketika memandangi punggungnya yang  perlahan menghilang di balik pintu.

***

Recruiter Lyfe - (TAMAT)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora